Ferdinand Marcos, kerap dituding orang paling korup sedunia. Selama 21 tahun berkuasa di Filipina, dia mengeruk Rp 120 triliun. Ternyata lebih kecil dibanding korupsi BLBI Rp 138,4 triliun. Sayang, BLBI menguap begitu saja.
Berbeda dengan Marcos yang akhirnya dibuang dari negaranya –bahkan sejak meninggal 1989, jasadnya baru bisa masuk Filipina 1993– para koruptor BLBI bernasib lebih baik.
Ada yang dihukum sangat ringan, dibebaskan, hingga melarikan diri ke luar negeri. Bahkan ada yang sama sekali tidak dituntut dan mungkin tetap hidup tenang di negeri ini.
Di Hari Antikorupsi (9/12/2013) ini, ada baiknya kita memeriksa kembali kasus BLBI, kasus korupsi dengan jumlah nominal terbesar sepanjang sejarah modern Indonesia.
BLBI atau Bantuan Likuiditas Bank Indonesia adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia (BI) kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter pada 1998 di Indonesia.
Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada Desember 1998, BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.
Setelah diaudit BPK, disimpulkan bahwa penggunaan dana tersebut telah diselewengkan. Negara dirugikan Rp 138,4 triliun.
Masalahnya, baru beberapa orang yang telah disidang terkait kasus BLBI ini. Sebut saja Hendra Rahardja (mantan Presiden Komisaris PT Bank Harapan Sentosa) yang divonis hukuman penjara seumur hidup. Eko Adi Putranto (mantan Komisaris PT BHS) divonis 20 tahun penjara oleh majelis hakim PN Jakarta Pusat, pada 22 Maret 2002. Dan Sherny Konjongian (mantan Direktur Kredit PT BHS) divonis 20 tahun penjara.
Kemudian Bambang Sutrisno (mantan Wakil Komisaris Utama Bank Surya) dan Adrian Kiki Aryawan (mantan Direktur Utama Bank Surya) yang divonis seumur hidup.
Bahkan ada yang divonis bebas. Contohnya Samadikun Hartono, mantan Komisaris Utama PT Bank Modern. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis bebas mantan Komisaris Utama PT Bank Modern itu dari dakwaan terlibat dalam kasus BLBI.
Dia dinilai telah bertanggung jawab dengan cara menyelesaikan dana BLBI dengan Bank Indonesia. Sebelumnya, Samadikun dituntut satu tahun penjara dan denda Rp 20 juta. Jaksa menilai, Hartono telah merugikan negara sebesar Rp 169 miliar
Sejarah korupsi agaknya memang tidak ada matinya di negeri ini. Sangat panjang dan melelahkan. Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok), jejaknya terendus mulai dari zamannya raja-raja.
Literatur sejarah Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno –Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten, dll– mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai motif memperkaya diri, menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut.
Setelah zaman kerajaan berganti era kolonial, korupsi tetap ada. Lihat saja bagaimana kegalauan Eduard Douwes Dekker. Lelaki asal Belanda yang dikenal dengan nama pena Multatuli (dari bahasa latin yang artinya: banyak yang aku sudah derita) ini tak mampu melawan pemerasan yang dilakukan Bupati Lebak, Banten, terhadap rakyatnya.
Ia memilih menyingkir dari Hindia-Belanda dan kembali ke negeri asalnya. Kemudian mengurung diri di sebuah kamar hotel di Brussel. Di sanalah ia menciptakan mahakarya “Max Havelaar” (1860), sebuah novel satir yang berisi kritikan di era penjajahan Belanda.
Kata korupsi memang tidak satu kali pun digunakan dalam novel Max Havelaar yang telah ditulis hampir satu setengah abad yang lalu. Tapi buku itu adalah kisah tentang penguasa yang korup, baik yang kulit putih maupun yang kulit langsat.
Kini, kasus BLBI agaknya sangat laik untuk dibuka kembali. Tentu jika pemegang kekuasaan di negeri ini menganggap Hari Antikorupsi tak sekedar slogan. Semoga saja.(NEFOSNEWS.COM)
Sumber :nefosnews.com