“KH. Shaleh Darat merupakan sosok ulama yang memiliki andil besar dalam penyebaran Islam di Pantai Utara Jawa, khususnnya di Semarang. Ayahnya yaitu KH. Umar, adalah ulama terkemuka yang dipercaya Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa melawan Belanda di wilayah pesisir utara Jawa”
Oleh: Budi
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wash-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn”.
Kelahiran
Muhammad Shalih ibn Umar as-Samarani atau yang lebih akrab disapa dengan panggilan KH. Sholeh Darat lahir pada sekitar tahun 1820 /1235 H di Dukuh Kedung Jumbleng, Desa Ngroto Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara.
Nama Darat yang dipakai oleh KH. Sholeh berawal dari kehidupannya yang tinggal di kawasan dekat pantai utara Semarang yakni, tempat berlabuhnya (mendarat) orang-orang dari luar Jawa. Kini, nama Darat tetap lestari dan dijadikan prasasti nama kampung, Nipah Darat dan Darat Tirto. Saat ini kampung Darat masuk dalam wilayah Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara.
Wafat
KH. Saleh Darat wafat di Semarang pada hari Jum’at Wage 28 Ramadan 1321 H atau pada 18 Desember 1903 dalam usia 83 tahun. Beliau dimakamkan di pemakaman umum Bergota Semarang.
Setelah beliau meninggal dunia, setiap tanggal 10 Syawal, masyarakat dari berbagai penjuru kota berziarah untuk menghadiri haul beliau.
Keluarga
Selama hayatnya, KH. Sholeh Darat pernah menikah tiga kali. Pernikahannya yang pertama adalah ketika ia masih berada di Makkah. Tidak jelas siapa nama istrinya. Dari pernikahannya yang pertama ini, ia dikarunia seorang anak yang diberi nama Ibrahim. Tatkala KH. Sholeh Darat pulang ke Jawa, istrinya telah meninggal dunia dan Ibrahim tidak ikut serta ke Jawa. Ibrahim ini tidak mempunyai keturunan. Untuk mengenang anaknya (Ibrahim) yang pertama ini, Kiai Shalih Darat menggunakan nama Abu Ibrahim dalam halaman sampul kitab tafsirnya, Faidh al-Rahman.
Pernikahannya yang kedua dengan Sofiyah, puteri KH. Murtadha teman karib bapaknya, Kiai Umar, setelah ia kembali di Semarang. Dari pernikahannya ini, mereka dikarunia dua orang putra, Yahya dan Khalil. Dari kedua putranya ini, telah melahirkan beberapa anak dan keturunan yang bisa dijumpai hingga kini. Sedangkan pernikahannya yang ketiga dengan Aminah, putri Bupati Bulus, Purworejo, keturunan Arab.
Dari pernikahannya ini, mereka dikaruniai anak. Salah satu keturunannya adalah Siti Zahrah. Siti Zahrah dijodohkan dengan KH. Dahlan santri KH. Sholeh Darat dari Tremas, Pacitan. Dari pernikahannya ini melahirkan dua orang anak, masing masing Rahmad dan Aisyah. KH. Dahlan meninggal di Makkah, kemudian Siti Zahrah dijodohkan dengan KH. Amir, juga santri sendiri asal Pekalongan. Pernikahannya yang kedua Siti Zahrah tidak melahirkan keturunan.
Pendidikan
Sebagaimana anak seorang Kiai, masa kecil dan remaja KH. Sholeh Darat dilewatinya dengan belajar al-Qur’an dan ilmu agama. Sebelum meninggalkan tanah airnya, ada beberapa guru yang dikunjunginya guna menimba ilmu agama, diantaranya:
- KH. M. Syahid.
Untuk pertama kalinya KH. Sholeh Darat menuntut ilmu dari Kiai M. Syahid, seorang ulama yang memiliki Pesantren Waturoyo, Margoyoso Kajen, Pati. Pesantren tersebut hingga kini masih berdiri. KH. M. Syahid adalah cucu KH. Mutamakkin yang hidup semasa Paku Buwono II (1727-1749M). kepada KH. M. Syahid ini, KH. Sholeh Darat belajar beberapa kitab fiqih. Di antaranya adalah kitab Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Minhaj al-Qawwim, Syarh al-Khatib, Fath al-Wahab dan lain-lain.
- KH. Raden Haji Muhammad Shaleh bin Asnawi, Kudus.
Kepadanya KH. Sholeh Darat belajar Tafsir al-Jalalain karya Imam Suyuti.
- KH. Ishak Damaran, Semarang.
Kepadanya KH. Sholeh Darat belajar Nahwu dan Sharaf.
- KH. Abu Abdillah Muhammad bin Hadi Buquni, seorang Mufti di Semarang.
Kepadanya KH. Sholeh Darat ilmu falak.
- KH. Ahmad Bafaqih Ba’alawi, Semarang.
Kepadanya KH. Sholeh Darat belajar kitab Jauhar al-Tauhid karya Syekh Ibrahim al-Laqqani dan Minhaj al-Abidin karya imam Ghazali.
- Syekh Abdul Ghani Bima, Semarang.
Kepadanya KH. Sholeh Darat belajar kitab Masail al-Sittin karya Abu Abbas Ahmad al-Mishri. Yaitu sebuah kitab yang berisi ajaran-ajaran dasar Islam yang sangat populer di Jawa pada abad ke-19 M.
- Mbah Ahmad (Muhammad) Alim Bulus Gebang Purworejo
Kepadanya KH. Sholeh Darat mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tasawuf dan tafsir al-Qur’an. Oleh Mbah Ahmad (Muhammad) Alim ini, Kiai Shaleh Darat diperbantukan kepada Zain al-Alim (putra Mbah Ahmad Alim), untuk mengasuh sebuah pesantren di Dukuh Salatiyang, Desa Maron, Kecamatan Loano, Purworejo
Melihat keragaman kitab-kitab yang diperoleh oleh KH. Sholeh Darat dari beberapa gurunya, menunjukkan betapa kemampuan dan keahlian KH. Sholeh Darat di bidang ilmu agama.
Murid-Murid
Berkat kedalaman ilmu yang dimiliki oleh KH. Sholeh Darat, beliau telah berhasil mencetak murid-muridnya menjadi tokoh, ulama, kiai, dan para pendiri pondok pesantren. Murid-murid beliau diantaranya:
- KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU)
- KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhamadiyah),
- KH. R. Ahmad Dahlan Tremas, seorang Ahli Falak (w. 1329 H)
- KH. Amir Pekalongan (w. 1357 H) yang juga menantu Kiai Shaleh Darat
- KH. Idris (nama aslinya Slamet) Solo
- KH. Sya’ban bin Hasan Semarang yang menulis artikel “Qabul al-‘Ataya ‘an Jawabi ma Shadara li Syaikh Abi Yahya, untuk mengoreksi salah satu dari salah satu bagian dari kitab Majmu’at al-Syari’ah karya Kiai Shaleh Darat.
- KH. Abdul Hamid Kendal
- KH. Tahir, penerus pondok pesantren Mangkang Wetan, Semarang
- KH. Sahli kauman Semarang
- KH. Dimyati Tremas
- KH. Chalil Rembang
- KH. Munawir Krapyak Yogyakarta
- KH. Dalhar Watucongol Muntilan Magelang
- KH. Yasin Rembang
- KH. Ridwan Ibnu Mujahid Semarang
- KH. Abdus Shamad Surakarta
- KH. Yasir Areng Rembang
- RA Kartini Jepara.
Pemikiran
KH. Sholeh Darat dikenal sebagai pemikir di bidang ilmu kalam. Ia adalah pendukung paham teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah. Pembelaannya terhadap paham ini jelas kelihatan dalam bukunya, Tarjamah Sabil al-’Abid ‘ala Jauhar at-Tauhid. Dalam buku ini, ia mengemukakan penafsirannya terhadap sabda Rasulullah SAW mengenai terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan sepeninggal beliau, dan hanya satu golongan yang selamat.
Menurut KH. Sholeh Darat, yang dimaksud Nabi Muhammad SAW dengan golongan yang selamat adalah mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, yaitu melaksanakan pokok-pokok kepercayaan Ahlussunah Waljamaah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.
KH. Sholeh Darat juga selalu menekankan kepada para muridnya untuk giat menuntut ilmu. Beliau berkata “Inti sari al-Qur’an adalah dorongan kepada umat manusia agar mempergunakan akalnya untuk memenuhi tuntutan hidupnya di dunia dan akhirat”.
Dalam Kitab tarjamah Sabil al-‘Abid ‘Ala Jauharah al-Tauhid, KH. Sholeh Darat menasehati bahwa, orang yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan sama sekali dalam keimanannya, akan jatuh pada paham dan pemahaman yang sesat.
Misalnya, paham kebatinan menegaskan bahwa amal yang diterima oleh Allah Ta ’ãla adalah amaliyah hati yang diparalelkan dengan paham manunggaling kawulo Gusti-nya Syekh Siti Jenar dan berakhir tragis pada perilaku taklid buta. Iman orang taklid tidak sah menurut ulama muhaqqiqin, demikian tegasnya.
Lebih jauh diperingatkan juga, agar masyarakat awam tak terpesona oleh kelakuan orang yang mengaku memiliki ilmu hakekat tapi meninggalkan amalan-amalan syariat lainnya, seperti sholat dan amalan fardhu lainnya. Kemaksiatan berbungkus kebaikan tetap saja namanya kebatilan, demikian inti petuah religius beliau.
Sebagai ulama yang berpikiran maju, ia senantiasa menekankan perlunya ikhtiar dan kerja keras, setelah itu baru bertawakal, menyerahkan semuanya pada Allah. Ia sangat sedih jika ada orang yang tidak mau bekerja keras karena memandang segala nasibnya telah ditakdirkan oleh Allah SWT. Ia juga tidak setuju dengan teori kebebasan manusia yang menempatkan manusia sebagai pencipta hakiki atas segala perbuatan. Tradisi berpikir kritis dan mengajarkan ilmu agama ini terus dikembangkan hingga akhir hayatnya.
Diculik Pulang oleh Mbah Hadi Girikusumo
Ketinggian ilmu KH. Sholeh Darat tidak hanya bisa dilihat dari karya-karya monumental dan keberhasilan para santrinya menjadi para kiai besar tetapi juga bisa dilihat dari pengakuan penguasa Mekkah saat KH. Sholeh Darat Darat bermukim di Mekkah. Ia dipilih menjadi salah seorang pengajar di Mekkah. Di sinilah KH. Sholeh Darat bertemu dengan Mbah Hadi Girikusumo pendiri pondok pesantren Ki Ageng Girikusumo, Mranggen, Demak, Jawa Tengah. Ia merupakan figur yang sangat berperan dalam menghadirkan KH. Sholeh Darat ke bumi Semarang.
Melihat kehebatan KH. Sholeh Darat, Mbah Hadi Girikusumo merasa terpanggil untuk mengajaknya pulang bersama-sama ke tanah air untuk mengembangkan Islam dan mengajar umat Islam di Jawa yang masih awam.
Namun karena KH. Sholeh Darat sudah diikat oleh penguasa Mekkah untuk menjadi pengajar di Mekkah, sehingga ajakan pulang itu ditolak. Namun Mbah Hadi nekat, KH. Sholeh Darat diculik, di ajak pulang. Agar tidak ketahuan, saat mau naik kapal untuk pulang ke Jawa, KH. Sholeh Darat dimasukkan ke dalam peti bersama barang bawaannya. Namun di tengah jalan ketahuan, jika Mbah Hadi menculik salah seorang ulama di Masjid Mekkah. Akhirnya pada saat kapal merapat di pelabuhan Singapura, Mbah Hadi ditangkap.
Jika ingin bebas maka harus mengganti dengan sejumlah uang sebagai denda. Para murid Mbah Hadi yang berada di Singapura mengetahui bila gurunya sedang menghadapi masalah besar, akhirnya membantu menyelesaikan masalah tersebut dengan mengumpulkan dana iuran untuk menebus kesalahan Mbah Hadi dan menebus uang ganti kepada penguasa Mekkah atas kepergian KH. Sholeh Darat. Akhirnya, Mbah Hadi dan KH. Sholeh Darat berhasil melanjutkan perjalanan dan berhasil mendarat ke Jawa.
Mbah Hadi langsung kembali ke Girikusumo, sedangkan KH. Sholeh Darat menetap di Semarang, mendirikan pesantren dan mencetak kader-kader pelanjut perjuangan Islam.
Mendirikan Pesantren
Karir KH. Sholeh Darat diawali sebagai guru yang diperbantukan di pesantren Salatiyang yang terletak di Desa Maron, Kecamatan Loano, Purworejo. Pesantren ini didirikan sekitar abad 18 oleh tiga orang sufi, masing-masing KH. Ahmad (Muhammad) Alim, KH. Muhammad Alim (putra Mbah KH. Ahmad Alim), dan KH. Zain al Alim (Muhammad Zein, juga putra Mbah Kiai Ahmad Alim).
Dalam perkembangan selanjutnya pesantren ini dipercayakan kepada KH. Zain al Alim. Sementara Mbah KH. Ahmad (Muhammad) Alim mengasuh sebuah pesantren, belakangan bernama al-Iman, di desa Bulus, Kecamatan Gebang.
Adapun KH. Muhamad Alim (putra Mbah Kiai Ahmad Alim) mengembangkan pesantrennya juga di Desa Maron, yang kini dikenal dengan pesantren al-Anwar. Jadi kedudukan KH. Sholeh Darat adalah sebagai pengajar yang membantu Kiai Zain al Alim (Muhammad Zein).
Pesantren Salatiyang sendiri lebih menfokuskan pada bidang penghafalan al-Qur’an, di samping mengajar kitab kuning. Di sinilah besar kemungkinannya, KH. Sholeh Darat diperbantukan untuk mengajar kitab kuning, seperti fiqh, tafsir dan nahwu Sharaf, kepada para santri yang sedang menghafal al-Qur’an.
Di antara santri jebolan Salatiyang adalah Kiai Baihaqi (Magelang). Kiai Ma’aif, Wonosobo, Kiai Muttaqin, Lampung Tengah, Kiai Hidayat (Ciamis), KH. Fathulah (Indramayu), dan lain sebagainya.
Tidak jelas, berapa lama KH. Sholeh Darat mengajar di pesantren Salatiyang. Sejarah hanya mencatat, bahwa pada sekitar 1870-an KH. Sholeh Darat mendirikan sebuah pesantren baru di Darat, Semarang.
Hitungan angka ini didasarkan pada kitabnya, al-Hikam, Yang ditulis rampung dengan menggunakan Bahasa Arab Pegon pada tahun 1289 H/1871 M. Pesantren Darat merupakan pesanten tertua kedua di Semarang setelah pesantren Dondong, Mangkang Wetan, Semarang yang didirikan oleh Kiai Syada’ dan Kiai Darda’, dua mantan prajurit Diponegoro. Di pesantren ini pula KH. Sholeh Darat pernah menimba ilmu sebelum pergi ke Mekkah.
Selama mengasuh pesanten, KH. Sholeh Darat dikenal kurang begitu memperhatikan kelembagaan pesantren. Karena faktor inilah, pesantren Darat hilang tanpa bekas sepeninggalan KH. Sholeh Darat, pada 1903 M. konon bersamaan meninggalnya KH. Sholeh Darat, salah seorang santri seniornya, KH. Idris dari Solo, telah memboyong sejumlah santri dari Pesantren Darat ini ke Solo. KH. Idris inilah yang kemudian menghidupkan kembali pondok pesantren Jamsaren, yang pernah didirikan oleh KH. Jamsari.
Ada versi lain yang menyebutkan bahwa pesantren yang didirikan oleh KH. Sholeh Darat bukanlah pesantren dalam arti sebenarnya, di mana ada bangunan fisik yang mendukung. Pesantren Darat hanyalah majelis pengajian dengan kajian bermutu yang diikuti oleh parasantri kalong. Ini mungkin terjadi, mengingat kedekatan pesantren Darat dengan pesantren Mangkang, dimana KH. Sholeh Darat pernah belajar di sana, bisa mempengaruhi tingkat ketawadlu’an kiai senior.
Karomah
KH. Shaleh Darat merupakan sosok ulama yang memiliki andil besar dalam penyebaran Islam di Pantai Utara Jawa, khususnnya di Semarang. Ayahnya yaitu KH. Umar, adalah ulama terkemuka yang dipercaya Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa melawan Belanda di wilayah pesisir utara Jawa.
Setelah mendapat bekal ilmu agama dari ayahnya, Shaleh kecil mulai mengembara, belajar dari satu ulama ke ulama lain. Tercatat KH Syahid Waturaja (belajar kitab fiqih, seperti Fath al-Qarib, Fath Al Mu’in, Minhaj al-Qawim, dan Syarb al-Khatib).Berlanjut kepada Ahmad Bafaqih Balawi demi mengkritisi kajian Jauharah at-Tauhid buah karya Syaikh Ibrahim al-Laqani dan Minhaj al-Abidin ka rya Al-Ghazali.
Masih di kota lumpia, Semarang, Kitab Masa’il as-Sittin karya Abu al-Abbas Ahmad al-Misri, sebuah depiksi tentang ajaran dasar Islam populer di Jawa sekitar abad ke-19 dicernanya dengan tuntas dari Syaikh Abdul al-Ghani.
Tak pernah puas, haus ilmu, itulah sifat setiap ulama. Demikian pula beliau, nyantri kepada Kiai Syada’ dan Kiai Murtadla pun dijalaninya yang kemudian menjadikannya sebagai menantu. Setelah menikah, Shaleh Darat merantau ke Makkah, di tanah haram, dia berguru kepada ulama-ulama besar, antara lain Syekh Muhammad al-Muqri, Syekh Muhammad ibn Sulaiman Hasbullah al-Makki, Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan, Syekh Ahmad Nahrawi.
Salah satu muridnya yang terkenal tetapi bukan dari kalangan ulama adalah Raden Ajeng Kartini. Karena RA Kartini inilah Mbah Shaleh Darat menjadi pelopor penerjemahan Alquran ke Bahasa Jawa. Menurut catatan cucu Kiai Shaleh Darat, RA Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngajinya memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Alquran.
Kemudian ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Shaleh Darat.
Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah. RA Kartini menjadi amat tertarik dengan Mbah Shaleh Darat. Dalam sebuah pertemuan RA Kartini meminta agar Alquran diterjemahkan karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya.
Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Alquran. Mbah Shaleh Darat melanggar larangan ini. Beliau menerjemahkan Alquran dengan ditulis dalam huruf arab gundul (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah.
Kitab tafsir dan terjemahan Alquran ini diberi nama Kitab Faid Ar-Rahman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah dengan R.M. Joyodiningrat, seroang Bupati Rembang.
Sebagai Wali Allah, Mbah Shaleh Darat juga dikenal memiliki karamah. Makamnya pun menjadi tujuan ziarah banyak orang. Salah seorang wali terkenal yang suka mengunjungi makamnya adalah Gus Miek (Hamim Jazuli).
Dikisahkan bahwa suatu ketika Mbah Shaleh Darat sedang berjalan kaki menuju Semarang. Kemudian lewatlah tentara Belanda berkendara mobil. Begitu mobil mereka menyalip Mbah Shaleh, tiba-tiba mogok. Mobil itu baru bisa berjalan lagi setelah tentara Belanda memberi tumpangan kepada Mbah Shaleh Darat.
Di lain waktu, karena mengetahui pengaruh Mbah Shaleh Darat yang besar, pemerintah Belanda mencoba menyogok Mbah Shaleh Darat. Maka diutuslah seseorang untuk menghadiahkann banyak uang kepada Mbah Shaleh, dengan harapan Mbah Shaleh Darat mau berkompromi dengan penjajah Belanda.
Mengetahui hal ini Mbah Shaleh Darat marah, dan tiba-tiba dia mengubah bongkahan batu menjadi emas di hadapan utusan Belanda itu. Namun kemudian Mbah Shaleh Darat menyesal telah memperlihatkan karomahnya di depan orang. Beliau dikabarkan banyak menangis jika mengingat kejadian ini hingga akhir hayatnya.
Teman-Teman Seperguruan
Semasa belajar di Makkah, KH. Sholeh Darat banyak bersentuhan dengan ulama-ulama Indonesia yang belajar di sana. Di antara para ulama yang sezaman dengannya adalah:
- Syekh Nawawi al-Bantani
- Syekh Ahmad Khatib
Ia seorang ulama asal Minangkabau. Lahir pada 6 Dzulhijjah 1276 (26 Mei 1860 M) dan wafat di Makkah pada 9 Jumadil Awwal (1916 M). Dalam sejarahnya, dua tokoh pendiri NU dan Muhamadiyyah KH. Hasyim As’ari dan KH. Ahmad Dahlan pernah menjadi murid Ahmad Khatib. Tercatat ada sekitar 49 karya yang pernah ditulisnya. Di antaranya kiitab Al-Nafahat dan Al-Jawahir fi A’mal a-Jaibiyyat.
- KH. Mahfuzh a-Tirmasi
Ia adalah kakak dari Kiai Dimyati. Selama di Mekkah, ia juga berguru kepada Ahmad Zaini Dahlan. Ia wafat tahun 1338 H (1918 M).
- KH. Khalil Bangkalan, Madura
Ia adalah salah seorang teman dekat Kiai Shaleh Darat. Namanya cukup terkenal di kalangan para Kiai pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. ia belajar di Mekkah sekitar pada tahun 1860 dan wafat pada tahun 1923.
Karya-Karya
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, banyak ulama Indonesia yang menghasilkan karya tulis besar. Tidak sedikt dari karya-karya mereka yang ditulis dengan bahasa Arab. Setelah Kiai Ahmad Rifa’I dari Kalisalak (1786-1875 M) yang banyak menulis kitab yang berbahasa Jawa, tampaknya KH. Sholeh Darat adalah satu-satunya kiai akhir abad ke-19 yang karya tulis keagamaanya berbahasa Jawa.
Adapun karya-karya KH. Sholeh Darat yang sebagiannya merupakan terjemahan, berjumlah tidak kuang dari 13 buah, yaitu:
- Majmu’at Syari’at al-Kafiyat li al-Awam. Kitab ini khusus membahas persoalan fiqih yang ditulis dengan bahasa Jawa dengan huruf Arab Pegon.
- Munjiyat Metik Sangking Ihya’ Ulum al-Din al-Ghazali. Sebuah kitab yang merupakan petikan dari kitab Ihya’ Ulum al-Din juz 3 dan 4.
- Al-Hikam karya Ahmad bin Athailah. Kitab ini merupakan terjemahan dalam bahasa Jawa.
- Lathaif al-Thaharah. Kitab ini berisi tentang hakikat dan rahasia shalat, puasa dan keutamaan bulan muharram, Rajab dan Sya’ban. Kitab ini ditulis dengan bahasa Jawa.
- Manasik al-Haj. Kitab ini berisi tuntunan atau tatacara ibadah haji.
- Pasolatan. Kitab ini berisi hal-hal yang berhubungan dengan shalat (tuntunan shalat) lima waktu, kitab ini ditulis dengan bahasa Jawa dengan Huruf Arab pegon.
- Sabilu ‘Abid terjemahan Jauhar al-Tauhid, karya Ibrahim Laqqani. Kitab ini merupakan terjemahan berbahasa Jawa.
- Minhaj al-Atkiya’. Kitab ini berisi tuntunan bagi orang orang yang bertaqwa atau cara-cara mendekatkan diri kepada Allah SWT.
- Al-Mursyid al-Wajiz. Kitab ini berisi tentang ilmu-ilmu al-Quran dan ilmu Tajwid.
- Hadits al-Mi’raj
- Syarh Maulid al-Burdah
- Faidh al-Rahman. Kitab ini ditulis pada 5 Rajab 1309 H/1891M. kitab ini diterbitkan di Singapura.
- Asnar al-Shalah
Hampir semua karya KH. Sholeh Darat ditulis dalam bahasa Jawa dan menggunakan huruf Arab (Pegon atau Jawi); hanya sebahagian kecil yang ditulis dalam bahasa Arab. Dari 13 kitab karya KH. Sholeh Darat berhasil dikumpulkan. Sebagian kitab tersebut dicetak di Bombay (India) dan Singapura. Hingga kini, keturunan KH. Sholeh Darat terus melakukan pencarian dan penelusuran kitab-kitab tersebut ke masing-masing keluarga keturunan KH. Sholeh Darat di Jepara, Kendal, bahkan sampai ke negara-negara Timur Tengah.
___________
Source: Laduni