Home / Agama / Kajian / Bila Telah Memandang Hakikat Allah, Kebaikan dan Keburukan Pun Lenyap

Bila Telah Memandang Hakikat Allah, Kebaikan dan Keburukan Pun Lenyap

“Sikap meremehkan orang lain, menghina, demikian juga hidup penuh kesulitan dan merana ditimbulkan dari kita tak melihat Allah dalam kehidupan ini.”

Oleh: H. Derajat*

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.

“Ilmu Rahasia Menembus Tujuh Lapis Langit dan Bertemu Allah di Manapun Engkau Berada, Tiada Sampai Kepadanya Kecuali Orang yang Dirahmati Allah Saja”

Sahabatku, Kekasihku, mengapa engkau gelisah, mengapa beban hidup mu terasa berat, mengapa engkau kecewa dan merasa tidak berbahagia? Itu semua karena kita tidak pernah merasakan, tidak melihat dan tidak pernah tahu bahwa ada sebuah kekuatan tak terhingga dalam hidup kita yaitu Allah SWT sesuai dengan firmanNya:

اَلَآ اِنَّ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ قَدْ يَعْلَمُ مَآ اَنْتُمْ عَلَيْهِۗ وَيَوْمَ يُرْجَعُوْنَ اِلَيْهِ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوْاۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ ۞

“Ketahuilah (bahwa) sesungguhnya milik Allahlah apa yang di langit dan di bumi. Dia benar-benar mengetahui keadaan kamu sekarang dan (benar-benar mengetahui pula) hari (ketika mereka) dikembalikan kepada-Nya, lalu Dia menerangkan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nur [24]: 64)

Suatu saat kami ditanya tentang hakikat kebaikan dan keburukan apabila sumber kekuatan hidup semua datangnya dari Allah baik kekuatan untuk beribadah maupun bermaksiat, maka jawabanku bahwa adab itu lebih tinggi daripada ilmu sudah sepantasnya pendamlah jauh-jauh pendapat itu dan kembalilah pada ayat Al Qur’an:

مَآ اَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ ۖ وَمَآ اَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَّفْسِكَ ۗ وَاَرْسَلْنٰكَ لِلنَّاسِ رَسُوْلًا ۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ شَهِيْدًا ۞

Mâ ashâbaka min ḫasanatin fa minallâhi wa mâ ashâbaka min sayyi’atin fa min nafsik, wa arsalnâka lin-nâsi rasûlâ, wa kafâ billâhi syahîdâ

“Kebaikan (nikmat) apa pun yang kamu peroleh (berasal) dari Allah, sedangkan keburukan (bencana) apa pun yang menimpamu itu disebabkan oleh (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutus engkau (Nabi Muhammad) menjadi Rasul kepada (seluruh) manusia. Cukuplah Allah sebagai saksi.” (QS. An-Nisa [4]: 79)

Sahabat kami Abah Setu KH. Ir. Asep Setiawan mengatakan:

Lebih lanjut dapat aku jelaskan khusus untuk mu wahai sahabatku bahwa menyadari, merasakan dan mengimani akan tajalliNya Allah dalam hidup ini akan membawa kita pada kekuatan tak terhingga, kekuatan yang membawa kita pada kebahagiaan yang tak terputus sepanjang masa.

Berikut akan aku terangkan dengan singkat kunci kebahagiaan dunia dan akhirat.

Tajalli adalah suatu keadaan di mana Allah menyatakan wujudNya (bermanifestasi) kepada seorang hamba tatkala seorang hamba mengalami kondisi spiritual (fana’ dan baqa’ billah).

Pembagian tajalli ketika fana’ menurut Kitab Insan Al-Kamil karya Imam Abdul Karim Al-Jilli adalah sebagai berikut:

Tingkat Ke-1: Tajalli Af‘al

تَجَلِّى سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي أَفْعَالِهِ عِبَارَةٌ عَنْ مَشْهَدٍ يَرَى فِيْهِ الْعَبْدُ جَرْيَانَ الْقُدْرَةِ فِي الْأَشْيَآءِ فَيَشْهَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مَحْرَكُهَا وَمَسْكَنُهَا يَنْفِي الْفِعْلَ عَنِ الْعَبْدِ وَاِثْبَاتِهِ لِلْحَقِّ

“Tajallinya Allah Ta’ala dalam Af’al-Nya, ialah ibarat penglihatan dimana seorang hamba Allah melihat padanya berlaku Qudrat Allah pada sesuatu. Ketika itu, ia melihat Tuhan, maka tiadalah fi’il (perbuatan) lagi bagi hamba. Gerak dan diam serta itsbat (ketetapan) adalah bagi Allah semata.”

Jadi, Tajalli Af’al ialah nafinya atau lenyapnya fi’il (perbuatan) daripada seseorang hamba dan itsbatnya yang ada ialah Fi’il Allah semata. Sebagaimana firman Allah;

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ ۞

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. As-Saaffat [37]: 96)

لَا فَاعِلَ إِلَّا اللهُ

“Tiada fa’il (pelaku perbuatan) kecuali Allah”

Tingkat Ke-2: Tajalli Asma’

مَنْ تَجَلَّى لَهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنْ حَيْثُ اسْمُهُ الظَّاهِرُ فَكَشَفَ لَهُ عَنْ سِرِّ ظُهُوْرِ النُّوْرِ الْإِلَهِى فِي كَثَائِفِ الْمُحَدِّثَاتِ لِيَكُوْنَ طَرِيْقًا إِلَى مَعْرِفَةِ أَنَّ اللهَ هُوَ الظَّاهِرُ، فَعِنْدَ ذَلِكَ تَجَلَّى لَهُ بِأَنَّهُ الظَّاهِرُ، فَبَطَنَ الْعَبْدُ بِبُطُوْنِ فَنَاءِ الْخَلْقِ فِي ظُهُوْرِ وُجُوْدِ الْحَقِّ .

“Siapapun baginya Tajalli Allah Ta’ala dari segi Asma-Nya yang disebut, maka terbukalah baginya dari nampaknya Nur Ilahi dalam keadaan biasa, maksudnya adalah agar ia mendapatkan jalan kepada Makrifat, bahwa sesungguhnya Allah adalah Yang Nyata (terlihat). Maka pada saat itu Tajallilah Allah baginya, karena sesungguhnya Allah adalah Adz-Dzhahir. Dan ketika itu bertempatlah hamba pada tempat yang bathin (tidak tampak) karena fana’/leburnya sifat-sifat kebaharuannya ketika nampaknya Wujud Al-Haqqu Ta’ala yang Qadim.”

Jadi, Tajalli Asma’ adalah fana’nya hamba daripada dirinya sendiri dan bebasnya hamba dari genggaman sifat-sifat kebaharuan dan lepasnya ikatan dari dirinya atau tubuh kasarnya. Ketika itu, ia fana’ dalam Baqa’nya Allah karena sucinya ia dari sifat-sifat kebaharuan. Bahwa sesungguhnya Tajalli Asma’ sebenarnya tiada yang dilihat kecuali Dzatus Sharfi dan bukannya melihat Asma’. Dalam hal ini bisa diambil perumpamaan sebagai berikut:

وَلَمَّا جَاۤءَ مُوْسٰى لِمِيْقَاتِنَا وَكَلَّمَهٗ رَبُّهٗۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِيْٓ اَنْظُرْ اِلَيْكَۗ قَالَ لَنْ تَرٰىنِيْ وَلٰكِنِ انْظُرْ اِلَى الْجَبَلِ فَاِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهٗ فَسَوْفَ تَرٰىنِيْۚ فَلَمَّا تَجَلّٰى رَبُّهٗ لِلْجَبَلِ جَعَلَهٗ دَكًّا وَّخَرَّ مُوْسٰى صَعِقًاۚ فَلَمَّآ اَفَاقَ قَالَ سُبْحٰنَكَ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاَنَا۠ اَوَّلُ الْمُؤْمِنِيْنَ ۞

“Ketika Musa datang untuk (bermunajat) pada waktu yang telah Kami tentukan (selama empat puluh hari) dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, dia berkata, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” Dia berfirman, “Engkau tidak akan (sanggup) melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu. Jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala), niscaya engkau dapat melihat-Ku.” Maka, ketika Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) pada gunung itu,281) gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar, dia berkata, “Maha Suci Engkau. Aku bertobat kepada-Mu dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.” (QS. Al-A’raf [7]: 143)

Menurut sebagian mufassir, yang ditampakkan itu adalah kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Sementara itu, sebagian yang lain menafsirkan bahwa yang tampak itu adalah cahaya-Nya. Bagaimanapun juga, tampaknya Allah SWT. tidaklah seperti tampaknya makhluk. Tampaknya Allah mestilah sesuai dengan sifat-sifat-Nya yang tidak dapat diukur dengan pikiran manusia.

مِثَالُ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: لَنْ تَرَانِى يَا مُوْسَى يَعْنِى لِأَنَّكَ اِذَا كُنْتَ مَوْجُوْدًا فَأَنَا مَفْقُوْدٌ عَنْكَ، وَإِنْ وَجَدْتَنِى فَأَنْتَ مَفْقُوْدٌ . وَلَا يُمْكِنُ لِلْحَادِثِ اَنْ يَثْبُتَ عِنْدَ ظُهُوْرِ الْقَدِيْمِ، وَعِنْدَ ذَلِكَ، فَعَدَمَ مُوْسَى وَصَارَ الْعَبْدُ كَأَنَّ لَمْ يَكُنْ وَيَبْقَى الْحَقُّ كَأَنَّ لَمْ يَزَلْ .

“Perumpamaan untuk itu ialah dengan firman Allah kepada Nabi Musa, “Kamu tidak dapat melihat Aku (لن ترانى)”, artinya bahwa sesungguhnya kamu Musa, selama kamu ada pada dirimu, maka Aku (Allah) sirna (tak terlihat) dari pandanganmu Musa. Dan ketika kamu melihat Aku, maka ketika itu engkaupun tiada (fana’)”. Tidaklah mungkin bagi yang baharu ada ketika nampaknya yang Qadim. Jadi pengertiannya adalah,” Maka dengan fana’nya Musa, jadilah ia bersifat tiada, dan Baqa’lah Allah yang bersifat kekal.”

Tingkat Ke-3: Tajalli Sifat

تَجَلِّى الصِّفَاتِ عِبَارَةٌ عَنْ قَبُوْلِ ذَاتِ الْعَبْدِ الْأَتْصَافُ بِصِفَاتِ الرَّبِّ قَبُوْلًا أَصْلِيًّا حُكْمِيًّا قَطْعِيًّا .

“Tajalli Sifat adalah ibarat penerimaan tubuh seorang hamba Allah berlaku sifat dengan sifat-sifat Ketuhanan, suatu penerimaan asli dan ketentuan pasti.”

Artinya, manakala Allah Ta’ala menghendaki terjadinya Tajalli atas hamba-Nya dengan nama-Nya atau sifat-Nya, maka dalam keadaan itu lenyaplah (Fana’) seorang hamba dari dirinya dan ketika itu berubahlah daripada wujudnya. Manakala telah hilang cahaya keinsanannya dan telah fana’ ruh kebaharuannya, di situlah Al-Haqqu Ta’ala mengambil tempat pada hamba-Nya tanpa hulul daripada Dzat-Nya sebagai ganti dari perubahan hamba itu dari wujudnya, karena sebenarnya Tajallinya Allah itu terhadap hamba-Nya adalah sebagai karunia dari Allah semata.

Tingkat Ke-4: Tajalli Dzat

Tajjali ketika Fana’ fidz-Dzat adalah sebagai tingkatan paling puncak atau tertinggi,

لَا مَوْجُوْدَ عَلَى الْاِطْلَاقِ إِلَّا اللهُ

“Tiada wujud secara muthlaq melainkan Allah.”

Sebelum pada pengertian ta’rif dari Tajalli Dzat, saya berikan sedikit uraian agar lebih mudah dipahami.

Pada fana’ tingkat ini (Tajalli Dzat) seseorang akan memperoleh perasaan batin pada suatu keadaan yang tak berarah, tidak ada lagi kanan atau kiri, depan atau belakang, atas atau bawah. Intinya, ia berada pada suatu keadaan tak terbatas dan tak bertepi. Dan dalam keadaan ini juga seseorang yang fana’ fidz-Dzat mencapai derajat “Syuhudul Haqqi bil-Haqqi”, dia telah lenyap dari dirinya sendiri dan dalam situasi ia hanya berada dalam baqa’nya Allah semata, atau sebagai kesimpulannya bahwa ia telah hancur lebur kecuali wujud yang muthlaq, yaitu Wujudullah.

Adapun hikmah dari fana’ tingkat ini, adalah pengakuan atas ke Esa-an Allah dengan semurni-murninya, bukan sekedar pengakuan atas ke-Esa-an dengan ucapan syahadat, dalil-dalil atau pendapat-pendapat akal saja. Dan pengakuan secara murni ini hanya dapat disaksikan dengan kemakrifatan saja. Abu Manshur Husein Al-Hallaj, mengatakan dalam syairnya;

قُلُوْبُ الْعَارِفِيْنَ لَهَا عُيُوْنٌ، مَا لَا يُرَى لِلنَّاظِرِيْنَ

“Hatinya orang ‘Arif itu mempunyai mata memandang, matanya itu dapat melihat apa yang tak dapat dilihat pandangan mata biasa.”

كَانَ اللهُ وَلَا شَيْءَ مَعَهُ وَهُوَ الْآنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ

“Adalah wujud Allah itu baqa’ dan tidak ada sesuatupun besertanya, Allah tetap pada wujudNya sebagaimana keadaanNya kekal semula.”

Maka mencapai makrifah billah dengan jalan akal pikiran itu mustahil, para Ahlut Tashawwuf berkata;

وَلِلْعُقُوْلِ حُدُوْدٌ لَا تُجَاوِزُهَا، وَالْعَجْزُ عَنِ الْاِدْرَاكِ إِدْرَاكٌ

“Bagi jalan pikiran itu terbatas, maka dengan jalan pikiran tidaklah Dia (Allah) bisa dicapai, bila telah mengakui kelemahan diri untuk mencapai Dia, itulah tandanya Dia sudah dicapai.”

Di dalam Al-Qur’an sudah diisyaratkan oleh Allah untuk mencapai puncak fana’ fidz-Dzat tersebut, coba kita perhatikan rahasia yang diisyaratkan dari ayat ini;

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ ۞

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa.” (QS. Ar-Rahman [55]: 26)

Dan ayat selanjutnya Allah SWT berfirman;

وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ ۞

“Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman [55]: 27)

Kemudian kita perhatikan bagaimana Nabi Musa as., bermunajat kepada Allah dengan kata-katanya yang masyhur di kalangan para Sufi dalam menuju kefana’an;

قَالَ مُوْسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ : يَا رَبِّ كَيْفَ أَصِلُ إِلَيْكَ ؟ قَالَ عَزَّ وَجَلَّ : فَارِقْ نَفْسَكَ وَتَعَالَ

Nabi Musa as. berkata kepada Allah ,”Wahai Allah, bagaimana agar aku sampai kepada-Mu? Allah ‘Azza wa Jalla menjawab “Tinggalkan (lenyapkan) dirimu hai Musa, baru datanglah kepada-Ku.”

Apa yang diucapkan Nabi Musa AS., tersebut adalah sebuah permintaannya kepada Allah agar Allah “menampakkan Diri” di hadapannya, sebagaimana yang dituturkan pada ayat;

وَلَمَّا جَاۤءَ مُوْسٰى لِمِيْقَاتِنَا وَكَلَّمَهٗ رَبُّهٗۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِيْٓ اَنْظُرْ اِلَيْكَۗ قَالَ لَنْ تَرٰىنِيْ وَلٰكِنِ انْظُرْ اِلَى الْجَبَلِ فَاِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهٗ فَسَوْفَ تَرٰىنِيْۚ فَلَمَّا تَجَلّٰى رَبُّهٗ لِلْجَبَلِ جَعَلَهٗ دَكًّا وَّخَرَّ مُوْسٰى صَعِقًاۚ فَلَمَّآ اَفَاقَ قَالَ سُبْحٰنَكَ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاَنَا۠ اَوَّلُ الْمُؤْمِنِيْنَ ۞

“Ketika Musa datang untuk (bermunajat) pada waktu yang telah Kami tentukan (selama empat puluh hari) dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, dia berkata, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” Dia berfirman, “Engkau tidak akan (sanggup) melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu. Jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala), niscaya engkau dapat melihat-Ku.” Maka, ketika Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) pada gunung itu,281) gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar, dia berkata, “Maha Suci Engkau. Aku bertobat kepada-Mu dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.” (QS. Al-A’raf [7]: 143)

Sebagai catatan akhir tentang Fana’ Fidz-Dzat sebagaimana disebutkan dalam kitab Insan al-Kamil:

فَاعْلَمْ أَنَّ الذَّاتِ عِبَارَةٌ عَمَّنْ كَانَتِ اللَّطِيْفَةُ الْإِلَهِيَّةُ إِذَا تَجَلَّى عَلَى عَبْدِهِ وَاَفْنَاهُ عَنْ نَفْسِهِ قَامَ فِيْهِ اللَّطِيْفَةُ الْاِلَهِيَّةُ فَتِلْكَ اللَّطِيْفَةُ قَدْ تَكُوْنُ ذَاتِيَةً وَقَدْ تَكُوْنُ صِفَاتِيَّةً فَإِذَا كَانَتْ ذَاتِيَةٌ كَانَ ذَلِكَ الْهَيْكلُ الْإِنْسَانِيُّ هُوَ الْفَرْدُ الْكَامِلُ …

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya Dzat itu adalah ibarat di mana bertempat anugerah Ketuhanan. Ketika Allah menghendaki terjadinya Tajalli (penjelmaan) atas hamba-Nya, di mana hamba-Nya telah memfana’ kan dari dirinya sendiri, maka bertempatlah hamba itu pada Karunia Ketuhanan. Demikianlah karunia itu, adakalanya sebagai karunia Dzat dan adakalanya karunia Sifat. Apabila terjadi karunia Dzat, maka di situlah terjadi “Tunggal Yang Kamil/Sempurna”. Maka dengan fana’nya diri hamba maka yang tinggal adalah yang Baqa’ atau Dzatullah. Dan dalam keadaan ini hamba telah berada pada situasi “Maa siwallah” (tiada apapun selain Allah) yaitu pada wujud Allah semata.”

Di sinilah pengertian dari Fana’ fidz-Dzat sebagai tingkatan paling puncak atau tertinggi,

لَا مَوْجُوْدَ عَلَىَ الْإِطْلَاقِ إِلَّا اللهُ

“Tiada wujud secara mutlak melainkan Allah.”

Sahabatku terkasih, dapat disimpulkan bahwa kunci kebahagiaan dan kunci makrifat adalah kita menyadari akan ketidakmampuan diri, lenyapkan keegoan bahkan lenyapkan diri kita akan perasaan mampu dalam hal apapun maka yang timbul adalah kekuatan Maha Besar dan Maha Agung bahkan Allah pun telah mengingatkan Nabi Muhammad SAW:

فَلَمْ تَقْتُلُوْهُمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ قَتَلَهُمْۖ وَمَا رَمَيْتَ اِذْ رَمَيْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ رَمٰىۚ وَلِيُبْلِيَ الْمُؤْمِنِيْنَ مِنْهُ بَلَاۤءً حَسَنًاۗ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ ۞

“Maka, (sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah yang membunuh mereka dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, melainkan Allah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal [8]: 17)

Kuakhiri risalah ini:

رَبَّنَا ظَلَمْنَآ اَنْفُسَنَا وَاِنْ لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ ۞

Rabbanã dzhalamnã anfusanã wa in lam taghfir lanã wa tarḫamnã lanakûnanna minal khãsirîn

“Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi,” (QS. Al-A’raf [7]: 23).

Wallãhu A’lamu bish-Shawãb

___________

* Ketua Pasulukan Loka Gandasasmita

 

About admin

Check Also

Kisah Sayyidah Aminah Saat Mengandung Rasulullah SAW

“Bertebaran petunjuk dan cahaya, betapa haru biru perasaan Sayyidah Aminah saat mengandung bayi Nabi Suci ...