Home / Agama / Kajian / Betapa Luasnya Pengetahuan Rasulullah SAW

Betapa Luasnya Pengetahuan Rasulullah SAW

Oleh: H. Derajat

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Saudaraku, sahabatku dan kekasihku, halaman demi halaman tentang Rasulullah SAW telah dibuka. Dari berbagai sumber dan referensi-referensi yang berasal dari Kitab Suci, menguak rahasia hakekat Rasulullah SAW akan berbanding lurus dengan rahasia-rahasia Ketuhanan. Memahami struktur keimanan kepada Rasulullah SAW bermakna juga sebuah track record memahami Tuhan. Tentunya, pemahaman yang dimaksud di sini adalah pemahaman dengan segenap jiwa raganya yang meliputi seluruh tingkah lakunya baik lahir maupun bathin.

Artinya, seseorang yang membuka khazanah tentang Rasulullah SAW adalah seseorang yang sudah melangkah untuk bertauhid. Bukan menyatakan tauhid, akan tetapi mentauhidkan Allah dengan segenap jiwa raganya sehingga ia memahami tentang Keesaan Allah SWT. Implikasinya, ia pasti memahami struktur penciptaan alam semesta, termasuk manusia, yang berpuncak pada Ciptaan Awwal (al-khalqul awwal, ‘aqlu kulli, Nur Muhammad, al-Jauhar Awwal, Nurul Awwal, dst). Artinya pula, memahami khazanah Rasulullah SAW adalah juga bermakna memahami struktur alam semesta.

Alam semesta yang berasal dari pancaran Nûrullâh yang dipantulkan kepada Rasulullah SAW adalah pengetahuan tanpa batas. Pengetahuan Allah Yang Maha Agung memang tak terbatas. Karena itulah, Allah ‘Azza wa Jalla mengatakan bahwa seandainya samudera dan lautan menjadi tinta, dan pohon-pohon menjadi pena untuk menuliskan Kalimat-kalimat Allah (pengetahuan -pen), bahkan jika air laut yang dijadikan tinta itu habis, lalu  ditambahkan tujuh laut lagi, Kalimat-kalimat Allah pun tak akan pernah habis ditulis.

وَلَوْ أَنَّمَا فِى ٱلْأَرْضِ مِن شَجَرَةٍ أَقْلَٰمٌ وَٱلْبَحْرُ يَمُدُّهُۥ مِنۢ بَعْدِهِۦ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَّا نَفِدَتْ كَلِمَٰتُ ٱللّٰهِ ۗ إِنَّ ٱللّٰهِ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Luqman: 27)

Hingga air dari tujuh samudera yang menjadi tinta itu habis dan kering, ilmu pengetahuan yang Allah SWT limpahkan kepada kekasih-Nya, Penutup Para Nabi, tak akan pernah habis. Beliaulah SAW satu-satunya yang berbicara mewakili Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala tak pernah berbicara pada siapapun, dalam Hadhirat Ilâhiyyah-Nya, kecuali kepada dia yang paling mulia di antara seluruh ciptaan-Nya, Sayyidina Muhammad SAW. Tak seorang pun mampu mendekati Hadhirat Ilâhiyyah sedekat seperti Penutup para Nabi SAW. Allah Ta’ala pertama kali menciptakan ruhnya. Ruhnya berkilau memancarkan cahaya. Itulah ‘Nûr Ilâhiyyah’.

Dari ‘Nûr Ilâhiyyah’ tersebut, Allah ciptakan segala sesuatu. Tak seorangpun atau apapun mampu mencapai langsung Dzat Allah SWT. Tak ada yang dapat mencapai-Nya, tak mungkin. Hanya melalui beliaulah Dzat Allah SWT bisa dikenali. Karena esensi dari seluruh ciptaan bersama beliau SAW. Ilmu pengetahuan dan esensi segala sesuatu telah dikaruniakan kepada beliau. Karunia tersebut terus berlanjut kepada beliau SAW tanpa henti. Terus menerus mengalir, tak pernah berhenti. Tak pernah terputus!

أَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، لاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ إِلاَّ بِاللّٰهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ ۞

A’ûdzu billâhi minasy syaithânir rajîm, bismillâhir rahmânir rahîm, lâ haula wa lâ quwatta illâ billâhil ‘aliyyil ‘adzhîm.

Guru Mursyid kami, Sulthân al-‘Ârifîn Abû Yazîd al-Bisthâmi, semoga Allah merahmatinya, menasihati kita untuk menjaga dan memelihara dzikir mereka, menjaga untuk selalu mengingat mereka, berusaha selalu bersama dengan para pewaris dari Penutup para Nabi. Berusahalah agar ruh kalian selalu berada dalam samudera dari ruh-ruh suci mereka. Karena setiap orang dari mereka –Awliya’ Allâh– adalah para pewaris dari Penutup para Nabi. Karena itu, mereka juga telah dianugerahi samudera.

Namun demikian, jika seluruh samudera milik para Nabi dan Wali tersebut dikumpulkan menjadi satu, dibandingkan dengan apa yang telah dianugerahkan Allah Ta’ala kepada Penutup para Nabi, yaitu Rasulullah SAW, seluruh samudera mereka itu hanyalah bagaikan setetes air yang menempel di ujung jarum ketika kalian mencelupkan jarum itu sesaat ke dalam suatu samudera. Seperti itulah perbandingan seluruh samudera (milik para Nabi dan Wali) dengan samudera milik Penutup Para Nabi SAW.

Seluruh Awliya’ Allâh, terutama Grand Wali, Grand Syaikh dan orang-orang yang berada pada barisan pertama, yang dekat dengan Penutup para Nabi, Sayyidina Muhammad SAW, mereka mengambil secara langsung dari beliau lebih banyak dari yang lain. Ruh-ruh mereka telah meminum ‘air’ dari samudera itu, lalu ruh-ruh mereka pun menjadi samudera-samudera. Ruh setiap orang dari mereka adalah bagaikan sebuah samudera, dan hanya Nabi SAW yang mengetahui apa yang ada di dalam samudera tersebut. Allah tentu saja mengetahui segala sesuatunya. Namun, dari sisi makhluq, apa yang telah dikaruniakan kepada seluruh Nabi dan Wali, atau mereka yang berada pada barisan pertama pewaris Rasulullah SAW, hanya Nabi SAW sajalah yang mengetahuinya. Dan apa yang berada dalam samudera milik setiap orang, mereka dan Nabi SAW pun mengetahuinya.

Mereka memiliki ‘awâlim’ (alam-alam semesta) dalam samudera-samudera mereka. Dan ‘awâlim’ tersebut adalah anugerah dari Penutup para Nabi SAW. Sementara karunia Tuhan bagi dirinya terus bertambah banyak dan semakin banyak, tidak pernah berhenti. Allah Ta’ala berfirman:

“Wahai hamba-Ku yang tercinta! Wa ladaynâ al-mazîd! (pada sisi-Ku ada tambahan). Aku memberi dan tak akan pernah berhenti. Apa yang Aku karuniakan kepadamu tak akan pernah berakhir”.

Apa yang dikaruniakan kepada Rasulullah SAW ketika beliau bersama kita, tidaklah berhenti untuk saat ini saja. Tetapi setiap detik dan setiap tarikan nafas, karunia tersebut digandakan oleh Allah SWT.

Guru Mursyid kami, Sulthân al-‘Ârifîn Abû Yazîd al-Bisthâmi melanjutkan perkataannya: Jagalah Auliya’, berusahalah untuk selalu bersama mereka, sekalipun hanya dengan menyebut nama-nama mereka dalam suatu majelis. Ketika kita menyebut nama-nama mereka, suatu kasyf (keterbukaan) datang pada diri kita, dan tidak kosong begitu saja. Nabi SAW mengatakan bahwa saat kita menyebut orang-orang shalih –para Wali, Grand Wali, para Nabi, Nabi-nabi Besar, dan Penutup para Nabi, ‘tanzîlur rahmah’, yakni rahmat dari samudera-samudera rahmat akan mendatangi diri kita.

Atas dasar itulah, Manâkib al-Auliyâ’ (pembacaan kisah para Wali) diadakan. Al-Quran Suci menyebut pula nama-nama para Nabi. Setiap kali kita menyebut nama mereka, rahmat yang berlimpah dari samudera-samudera rahmat mengaliri diri kita. Karena itu pula, selalu diulang-ulang (dalam Al-Quran) akan apa yang terjadi pada Bani Israil, apa yang terjadi pada Sayyidina Adam, apa yang terjadi pada Sayyidina Nuh, apa yang terjadi pada Sayyidina Ibrahim dan pada Nabi-Nabi lain. Ini adalah untuk menerima kemuliaan dari mereka, untuk mendatangkan bagian dari ‘nûr’ mereka, dari cahaya-cahaya Ilâhiah milik mereka, agar datang pada diri kalian. Dan ini adalah suatu persiapan bagi kalian untuk kehidupan abadi kalian. Karena keabadian dapat menampung sebanyak apapun yang telah dikaruniakan kepada kalian, tanpa batas.

Mereka yang berada pada (atau berusaha untuk) kehidupan abadi dan memiliki target untuk meraih keabadian, boleh meminta lebih dan lebih, hingga tak terbatas. Sama seperti pesawat terbang yang tengah terbang melayang, semakin banyak bahan bakar yang kita isikan ke dalamnya, semakin lama ia akan terbang, tak pernah berkata ‘cukup’, tidak! Sebanyak yang kita isikan ke dalamnya, ia akan terus terbang. Dan ruh-ruh kita dalam Hadhirat Ilâhiah –jangan berpikir bahwa ruh-ruh tersebut diam dan berhenti, mereka “berlari” dan “berenang” di dalam samudera-samudera yang tak terkira banyaknya. Semuanya itu milik dari keabadian.

Karena itu, hendaknya kalian melakukan shuhbah (pergaulan yang sangat dekat). Kalian harus menjaga jalur (hubungan) dengan mereka secara langsung. Hubungan itu akan mengalir melalui wujud sejati kalian. Jangan berpikir bahwa tubuh wadag kasar kita ini adalah wujud kita yang sejati. Ini hanyalah suatu bayangan dari wujud sejatinya. Wujud sejati itu tak mampu ditampung oleh dunia ini.

Pemimpin Malaikat, Jibril AS kadang-kadang datang dalam bentuk seorang laki-laki. Apakah kedatangannya ke dunia ini ia tinggalkan maqam (posisi)nya dan pergi dari Hadhirat Ilâhiah? Saat ia datang kepada Nabi SAW, apakah kemudian maqamnya kosong karena ia tinggalkan? Apakah ia datang dengan wujud sejatinya? Bagaimana mungkin? Apa yang ‘nampak’ datang hanyalah perwakilan (dari wujud sejatinya), sebagai suatu bayangan dalam bentuk seorang laki-laki. Wujud sejatinya tak pernah bergerak ke sana-sini pergi dari Hadhirat Ilâhiah. Tak pernah! “Tak seorangpun yang matanya dapat melihat ke sana-sini!” Apakah kalian berpikir bahwa ketika Nabi SAW hadir kepada kita atau yang pernah hadir di antara para sahabat di zaman dahulu itu adalah wujud sejatinya? Bagaimana mungkin dunia ini dapat menampungnya?

Ketahuilah, seluruh ciptaan akan lenyap jika Wujud sejati beliau termanifestasikan untuk hadir di sini. Tak ada lagi ciptaan, segala sesuatunya akan lenyap dalam samudera-samudera beliau, dan tak ada lagi yang muncul. Ibarat lampu senter sebesar ibu jari dinyalakan di tengah terik matahari pada siang hari bolong, maka cahaya lampu senter akan musnah “ditelan” cahaya matahari.

Namun demikian, segala sesuatunya telah diatur dan diprogram melalui Hikmah Ilâhiah. Tak seorangpun tahu bagaimana keadaannya dan bagaimana wujudnya, tidak! Kita tetaplah berada pada maqam kita tatkala Firman Ilahiah datang mula-mula pada Rasulullah SAW dan kemudian pada kita. Jika seandainya Nabi SAW tidak menjadi perantara (wasîlah), Wahyu Ilâhiah akan membakar segala sesuatunya di muka bumi ini.

لَوْ أَنْزَلْنَا هَٰذَا الْقُرْآنَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ ۚ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir”. (QS. Al-Hasyr: 21)

Orang-orang yang berpikiran sempit akan mengatakan bahwa Sayyidina Muhammad SAW seperti tukang pos –hanya membawa dan menyampaikan suatu pesan. Betapa bodohnya! Dan kebodohan ini kini menjalar ke seluruh dunia Islam, di Timur dan di Barat. Mereka sama sekali tak memahami hikmah diutusnya Sayyidina Muhammad SAW dan karunia al-Qur’an Suci bagi beliau. Gunung-gunung tak mampu memikul (beban ini), hanya qalbu yang bercahaya dan paling mulia-lah yang mampu memikul beban Wahyu Ilâhiah. Dan bagaimana mungkin pula kalian mengatakan bahwa ia telah habis dan mati sekarang, kemudian kita bisa bersama Allah tanpa Sayyidina Muhammad SAW.

Guru Mursyid kami, Sulthân al-‘Ârifîn Abû Yazîd al-Bisthâmi, semoga Allah merahmatinya, dan semoga cahaya-cahaya dari samuderanya menerangi qalbu-qalbu kita. Qalbu-qalbu yang bercahaya, itulah qalbu-qalbu yang hidup! Qalbu yang tak bercahaya, itulah hati yang mati, qalbu yang terkunci. Kita memohon agar saat kita berbicara tentang Awliya’ mereka mengkaruniakan pada kita sesuatu, yang sesuai dengan kebutuhan kita. Inilah yang disebut ‘rabithah’ –koneksi dari qalbu ke qalbu. Saat kalian melakukan ‘rabithah’, cahaya-cahaya Ilâhiah yang dianugerahkan kepada Wali tersebut, Grand Wali, atau Nabi, atau Grand Nabi, atau Khâtam al-Anbiyâ’ Shalâwatullâh ‘alaihim ajma’în, akan mengalir ke dalam qalbu kita sehingga qalbu kita akan disirami cahaya.

Saat kita melihat ke langit di waktu malam, kita melihat bintang-bintang bercahaya. Akan tetapi, ada pula di antara miliaran bintang itu tidak bercahaya, karena ‘nur’ itu tidak datang kepada mereka. Sama halnya dengan manusia, Makhluk-makhluk Langit tengah melihat manusia dan memperhatikan siapakah di antara mereka yang bercahaya. Nah, yang bercahaya itulah akan dilimpahi cahaya lagi. Saling terkoneksi. Begitulah makna dari rabithah’.

Orang-orang yang tengah berada dalam kegelapan adalah mereka yang tidak memiliki hubungan dengan ‘orang-orang langit’ atau dengan hamba-hamba Allah yang bercahaya yang hidup di dunia ini di antara kita. Kebanyakan orang kini tidak peduli lagi, mereka tidak tertarik, dan mereka senang untuk hidup dalam kegelapan mereka, dalam ‘dunia’ mereka yang gelap. Sama seperti burung-burung malam (kelelawar) yang senang untuk berada dalam kegelapan malam. Mereka tak suka keluar di siang hari, karena mereka tak menyukai cahaya.

Orang-orang yang berada dalam kegelapan senang sekali melakukan kerusakan di muka bumi. Jika mereka dapat melihat makhluq-makhluq langit melalui koneksi qalbu, tentu mereka tak akan mau melakukan hal itu. Jika hati mereka bercahaya, mereka tak akan berkelahi, tak akan bertengkar dan tak akan mengeluh. Mereka akan selalu berbahagia dengan apa yang telah dikaruniakan pada mereka dari Sang Pencipta, Rabb al-Samâwât. Namun, kegelapan telah mencegah dan menghindarkan mereka dari mencapai titik itu. Mereka tak mau mencari hubungan ke dunia spiritual (ruhâniyyah) atau hubungan dengan makhluq-makhluq syurgawi yang berada di muka bumi atau di langit.

Saudaraku, pengetahuan ini sangat penting diketahui bangsa-bangsa. Seluruh bangsa dan negara telah memutuskan hubungan mereka dengan makhluk-makhluk langit, mereka menyangkal keberadaannya, mereka menyangkal kenabian (nubuwwah) dan kewalian (wilayah), dan segala sesuatu yang terkait dengan Langit. Jika begini keadaannya, dunia berada dalam gelap. Kemanapun mereka berlari, mereka hanya akan menjumpai kegelapan dan masalah.

Semoga Allah mengampuni kita semua, dan memberikan pada kita pemahaman yang baik sehingga kita dapat mengkoneksikan jiwa kita kepada makhluq-makhluq bercahaya syurgawi dari Ahlil Ardhi was Samâwât, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

____________

Tulisan di atas bersumber dari Hadits-Hadits shahih dan perkataan para ulama masyhur.

About admin

Check Also

Menakar Ulang Sya’ban sebagai Bulan Turunnya Ayat Shalawat

“Ayat shalawat, dimana terdapat perintah bershalawat kepada Nabi SAW (QS. Al-Ahzab [33]: 56), apakah turun ...