Oleh: H. Derajat
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ.
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Wasshalaatu wassalaamu ‘alaa Muhammadin wa aalihi ma’at tasliimi wabihii nasta’iinu fii tahshiilil ‘inaayatil ‘aammati wal-hidaayatit taammah, aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Salawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai InayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, aamiin ya Robbal ‘alamin”.
Inilah kisah tentang Mursyid kami yang sangat agung, yang menjadi panutan kami sebagai murid-muridnya yang dlaif.
Selama empat puluh tahun Abul Qasim al-Junaid menekuni kehidupan spiritualnya. Tiga puluh tahun lamanya, setiap selesai shalat Isa ia berdiri dan mengucapkan “Allah, Allah” terus menerus hingga fajar, dan melakukan shalat Shubuh tanpa perlu berwudlu lagi.
“Setelah empat puluh tahun berlalu,” Abul Qasim al-Junaid berkisah, “timbullah kesombongan di dalam hatiku, aku mengira bahwa tujuanku telah tercapai. Segeralah terdengar olehku suara dari langit yang menyeru kepadaku “Junaid, telah tiba saatnya bagi-Ku untuk menunjukkan kepadamu sabuk pinggang Majusimu. Mendengar seruan itu aku mengeluh : “Ya Allah, dosa apakah yang dilakukan Junaid?.” Suara itu menjawab : “Apakah engkau hidup untuk melakukan dosa yang lebih besar daripada itu?.”
Abul Qasim al-Junaid mengeluh menundukkan kepalanya.
“Apakah manusia belum patut untuk menemui Tuhannya,” bisik Abul Qasim al-Junaid, “maka segala amal baiknya adalah dosa semata.”
Lihatlah saudaraku betapa beratnya hukum Allah kepada manusia ketika timbul kesombongan dalam beribadah, dan merasa diri ibadahnya telah sempurna untuk menemuiNya.
Abul Qasim al-Junaid lalu terus berdiam di dalam kamarnya dan terus menerus mengucapkan “Allah, Allah” sepanjang malam. Tetapi lidah fitnah menyerang dirinya dan tingkah lakunya ini dilaporkan orang kepada khalifah.
“Kita tidak dapat berbuat apa-apa kepada Junaid bila kita tak mempunyai bukti,” jawab Khalifah.
Kebetulah sekali khalifah mempunyai seorang hamba perempuan berwajah sangat cantik. Gadis ini telah dibelinya seharga tiga ribu dinar dan sangat disayanginya. Khalifah memerintahkan agar hamba perempuannya itu dipakaikan dengan pakaian yang gemerlapan dan didandani dengan batu-batu permata yang mahal.
“Pegilah ke tempat Abul Qasim al-Junaid,” khalifah memerintahkan hamba perempuannya, “Berdirilah di depannya, buka cadar dan perlihatkan wajahmu, permainkan batu-batu permata dan pakaianmu untuknya. Setelah itu katakanlah kepada Junaid : “Aku datang kemari agar engkau mau melamar diriku, sehingga bersamamu aku dapat mengabdikan diri untuk berbakti kepada Allah. Hatiku tidak berkenan kepada siapa pun kecuali kepadamu! Kemudian perlihatkan tubuhmu kepadanya. Bukalah pakaianmu dan godalah ia dengan segenap daya upayamu.”
Ditemani seorang pelayan ia diantar ke tempat Abul Qasim al-Junaid. Si gadis menemui Junaid dan melakukan segala daya upaya yang bahkan melebihi dari apa yang diperintahkan kepadanya. Tanpa disengaja ia terpandang oleh Junaid. Abul Qasim al-Junaid membisu dan tak memberi jawaban. Si gadis mengulangi daya upayanya dan Abul Qasim al-Junaid yang selama itu tertunduk mengangkat kepalanya.
“Ah!.” Serunya sambil meniupkan nafasnya ke arah si gadis. Si gadis terjatuh dan seketika itu juga menemui ajalnya.
Pelayan yang menemaninya kembali ke hadapan khalifah dan menyampaikan segala kejadian itu. Api penyesalan menyesak dada khalifah dan ia memohonkan ampunan Allah karena perbuatannya itu.
“Seseorang yang memperlakukan orang lain seperti yang tak sepatutnya akan menyaksikan hal yang tak patut untuk disaksikannya,” khalifah berkata.
Khalifah bangkit dan berangkatlah ia untuk mengunjungi Abul Qasim al-Junaid. “Manusia seperti Junaid tidak dapat dipanggil untuk menghadapnya,” ia berkata.
Setelah bertemu dengan Abul Qasim al-Junaid, khalifah bertanya: “Wahai guru, bagaimanakah engkau sampai hati membinasakan tubuh gadis yang sedemikian eloknya?.”
“Wahai pangeran kaum Muslimin,” Abul Qasim al-Junaid menjawab, “belas kasihmu kepada orang-orang yang mentaatimu sedemikian besarnya, sehingga engkau sampai hati untuk menginginkan jerih payahku selama empat puluh tahun mendisiplinkan diri, bertirakat, menyangkal diri, musnah diterbangkan angin. Tetapi apakah artinya diriku di dalam semua itu? Janganlah engkau lakukan sesuatu hal kepada orang lain apabila engkau sendiri tidak menginginkannya!.”
“Selama tiga puluh tahun aku mengawasi batinku,” Abul Qasim al-Junaid mengatakan, “Setelah itu, selama sepuluh tahun bathinku mengawasi diriku. Pada saat ini, telah dua puluh tahun lamanya aku tidak mengetahui sesuatu pun mengenai bathinku dan bathinku tidak mengetahui sesuatu pun mengenai diriku.”
“Selama tiga tahun,” Abul Qasim al-Junaid melanjutkan, “Allah telah berkata-kata dengan Junaid melalui lidah Junaid sendiri, sedang Junaid tidak ada dan orang-orang lain tidak menyadari hal itu.”
Inilah kisah Mursyid yang sangat kami muliakan, namun untuk penjelasan yang lebih mendalam tentang kesombongan dalam beribadah, kedekatan kita dengan Allah, dan kemesraan berbicara dengan Allah maka sebaiknya carilah Mursyid yang jelas sanad silsilah ilmunya untuk mengajarkan kita tentang hal tersebut agar tidak salah dalam menuntuk Ilmu Haq.
Semoga Allah melimpahkan Taufik dan HidayahNya kepada kita semua. Aamiin.