Saya ingin mengawali artikel ini dengan sebuah cerita yang populer di kalangan sufi. Sebuah kisah yang konon terjadi di zaman Nabi Musa. Syahdan, sekelompok Bani Israil satu kali pernah mendatangi Nabi Musa memintanya bersedia berbicara kepada Tuhan dan mengundangnya dalam jamuan makan. Maklum, reputasi Nabi Musa memangt dikenal sebagai Kaliimullah alias orang yang bisa bicara langsung dengan Tuhan.
“Bicaralah pada-Nya agar Dia berkenan menerima undangan kami,” demikian celoteh Bani Israil. Mendengar permintaan ‘kurang ajar’ itu Musa marah, “tidakkah kalian tahu bahwa Tuhan tidak perlu makanan?!” Tentu saja kemarahan Musa sangat masuk akal karena selama ini ia selalu mengajarkan bahwa Tuhan tidak seperti apapun dan siapapun, laisa kamitslilhi syai’un.
Tak lama kemudian, Musa ingin menemui dan bicara dengan Tuhan di bukit Sinai. Secara mengejutkan Tuhan justru bertanya, “kenapa kau tolak menyampaikan jamuan makan kepada-Ku dari umatmu? Sampaikan pada mereka, Aku akan hadir dalam pesta jamuan makan pada Jumat petang mendatang.” Kaget bukan kepalang Musa dibuatnya, ia tersentak dengan jawaban Tuhan yang bertolak belakang jauh dengan apa yang ia pahami selama ini.
Setelah turun dari bukit, Musa segera menyampaikan firman Tuhan tersebut kepada Bani Israil. Musa bersama umatnya pun sepakat akan mengadakan persiapan secara besar-besaran dalam rangka ‘penyambutan’ Tuhan. Makanan dan minuman apapun yang lezat-lezat harus disajikan di pesta itu. Tidak boleh ada kekurangan sedikit pun. Maklum saja, undangan yang akan hadir bukan sekedar tamu agung atau raja biasa, tapi Tuhan seru sekalian alam!
Di hari yang dijanjikan, Jumat sore, seorang kakek tua menghampiri jamuan makan itu. Dia terlihat letih dan baru menempuh perjalanan jauh. “Saya lapar! Tolong beri saya makan,” demikian katanya saat bertemu Musa. “Kakek, sabarlah sejenak Tuhan Penguasa Jagat Raya akan segera hadir ke tempat ini, kami sedang sibuk menyambutnya, lebih baik kau juga bantu kami mempersiapkan pesta ini,” jawab Musa.
Berkali-kali orang tua ini meminta makan kepada Musa dan Bani Israil. Berkali-kali pulalah tak seorang pun mau memberinya makan. Mereka semua sepakat serentak bahwa tak ada yang boleh mengganggu jalannya acara sampai Tuhan hadir di tengah-tengah mereka.
Namun, Tuhan tak jua hadir. Petang pun berganti malam, malam semakin larut, terus larut, Tuhan tak kunjung datang. Bani Israil kecewa berat. Mereka tumpahkan kekesalan dan kekecewaan itu kepada Musa. Mereka memaki dan mengecam Musa karena dianggap telah menipu dan memperdayakan mereka. Musa kembali diuji dengan kelakuan para pengikutnya.
Pusing menghadapi umatnya, Musa segera ingin minta penjelasan Tuhan atas kealpaan-Nya di sore yang dijanjikan. Ia naik ke bukit Sinai, bertemu Tuhan dan bicara pada-Nya. “Bukankah Engkau sendiri telah berjanji akan datang di jamuan makan umatku? Lalu kenapa Engkau tidak hadir?” demikian protes Musa. Musa lalu bercerita bahwa kini ia dirundung duka akibat ketidakhadiran Tuhan. ‘Gara-gara’ Tuhan umatnya kini makin berani melawannya.
“Aku sudah datang di jamuan makan Jumat petang itu!” sergah Tuhan. “Aku bahkan menemuimu langsung minta dilayani makan, tapi kau menghiraukan-Ku. Aku juga berpaling kepada umatmu meminta makanan, namun justru mereka justru mengusir-Ku,” lanjut Tuhan.
Musa mengingat-ingat kejadian sore itu. Ia lalu berkata, “Tuhanku, saat itu memang ada seorang tua renta yang datang minta dilayani makan kepada kami. Ia hanya seorang manusia biasa. Kami tak ingin memberi makan siapapun sebelum Engkau datang,” jelas Musa.
“Hai Musa, justru saat itu aku sedang bersama hamba-Ku itu. Aku bersama dengan orang-orang yang kesusahan. Aku bersama mereka yang kelaparan. Jika saja kalian saat itu memuliakannya, maka pada dasarnya kalian telah memuliakan-Ku. Melayaninya sama dengan melayani-Ku. Karena Aku tidak makan dan minum, maka memberi pertolongan kepada yang membutuhkan sama dengan dengan menjamu-Ku,” demikian Tuhan menjawab.
Kisah di atas di kalangan sufi menjadi tarekat utama untuk berdekatan dengan Tuhan. Bagi kalangan sufistik, jalan cinta kepada sesama yang ditunjukkan lewat pengabdian kepada mereka yang lemah dan membutuhkan adalah jembatan awal menuju keridhaan Tuhan. Dengan cinta sesama itulah, cinta ilahi dengan mudah direngkuh.
Ibnu ‘Arabi justru dengan tegas menyatakan bahwa jalan Islam adalah jalan cinta. Tidaklah mengaku ber-Islam orang yang telah kehilangan cinta pada sesamanya. Jalan ini tidak bisa dirubah dengan jalan kekerasan, apapun namanya. Membunuh, membenci, mengkafirkan, memaki sesama tentu sudah dapat disebut keluar dari jalan cinta, dan karenanya keluar dari jalan Islam. Dengan demikian, tak pantas kita percaya jika ada yang mengkampanyekan agama dengan cara-cara anarkistis. Semoga memang tidak ada!
Oleh: Ahmad Dicky Sofyan
Source: Jalan Damai