Home / Agama / Thariqat/Tasawwuf / Berlaku Dua Hukum Dalam Mencinta

Berlaku Dua Hukum Dalam Mencinta

Mana ada cinta kalau tak ada pengorbanan. Segala bentuk cinta pasti ada pengorbanan untuk orang atau sesuatu yang dicintainya. Ali bin Abi Thalib mengungkapkan, “Cinta adalah penderitaan, tetapi penderitaan yang mendatangkan kebahagiaan.” Seseorang tidak akan bangun malam untuk meratakan dahinya (shalat) kalau bukan karena cinta dan para ibu tidak akan sudi melahirkan anaknya kalau bukan karena cinta. Shalat Tahajjud dan melahirkan adalah penderitaan, tetapi penderitaan yang mendatangkan kebahagiaan.

Seorang kekasih tidak akan berlama-lama membenamkan dirinya untuk membuat sajak-sajak cinta yang akan dipersembahkan kepada tambatan hatinya, manakala tidak dirundung cinta. Membuat puisi-puisi indah adalah penderitaan, tetapi penderitaan yang mendatangkan kebahagiaan.

Suatu hari, tatkala matahari di Madinah berada tepat di atas kepala, Rasulullah SAW mengadakan perjalanan. Selain ditimpa kepanasan, Rasulullah SAW juga sangat kehausan, sementara persediaan air telah habis. Terlihatlah dari kejauhan sosok orang yang berjalan tertatih-tatih. Setelah jarak semakin dekat, mereka tahu bahwa orang itu adalah Abu Dzar al-Ghiffari yang juga sedang mengadakan perjalanan bersama Nabi dan para sahabatnya, namun ia memisahkan diri untuk mencari air.

Setelah mendekat kepada Rasulullah, Abu Dzar berkata dengan nafas yang masih tersengal-sengal, “Ya Rasulullah, di tengah-tengah padang pasir yang panas ini, saya berhasil menemukan air jernih. Saya haus, dan saya juga tahu kalau orang yang paling saya cintai kehausan pula. Maka dari itu, saya berjanji kepada diri sendiri untuk tidak meminum air ini sebelum Rasulullah meminumnya terlebih dahulu.”

Itulah cinta. Cinta memang identik dengan pengorbanan. Hal demikian banyak dibuktikan oleh Nabi Muhammad. Salah satunya, kala beliau ditawari kedudukan mulia oleh pemuka Quraisy, asalkan bersedia berhenti berdakwah, maka dengan kobaran api cinta kepada Allah SWT, Rasulullah menjawab, “Demi Allah, seandainya matahari mereka letakkan ditangan kananku dan rembulan di tangan kiriku agar aku berhenti meninggalkan tugasku ini, maka aku tidak akan meninggalkannya, sampai agama Allah menang atau aku yang binasa…!”

Demikian perjuangan Rasulullah dalam menyebarkan Islam. Begitu gigih beliau memperjuangkannya, hingga tidak gentar menghadapi terjangan badai. Tawaran harta kekayaan yang melimpah, kedudukan yang tinggi, dan wanita yang cantik ditolaknya dengan mentah-mentah, sebab kecintaan beliau kepada umatnya. Bahkan, ketika Allah akan mencabut nyawanya, beliau selalu berkata, “Ummati…Ummati…!”

Cinta, selain butuh pengorbanan juga tidak boleh dibagi. Demikian hukum mencintai. Kira-kira, apa reaksi Anda manakala kekasih Anda mendua dengan orang lain? Tentu, Anda marah, bukan?

Ada orang yang menyatakan bahwa cinta dapat dibagi. Misalnya, seorang yang memiliki istri dua, maka dia harus mencintai dua istrinya, ia juga harus membagi cintanya 50 persen dan 50 persen. Pandangan seperti ini tidak rasional. Islam tidak mengatur pembagian cinta seperti itu, tetapi setiap cinta memiliki konsekuensi logis yang harus dimiliki dari pencintanya. Dengan bahasa yang mudah, apabila ia mencintai sesuatu, sebetulnya sesuatu itulah yang seharusnya bisa mengantarkan untuk mencintai Allah. Contoh yang lebih konkret, apabila seorang ayah mencintai anak-anaknya, maka cinta kepada anak-anaknya tersebut harus bisa mengantarkannya untuk mencintai Allah. Begitu juga cinta kita kepada istri, tetangga, dan sebagainya, adalah dalam upaya untuk mendapatkan cinta Allah.

Tidak benar apabila kita mencintai dan mengidolakan Umar bin Khathab berarti kita tidak mencintai Allah. Kita mencintai Umar, secara langsung, tentu telah mencintai Allah. Karena, mustahil kita mencintai Allah, tetapi membenci Umar bin Khathab, sedangkan beliau orang yang sangat mencintai Allah.

Merupakan kesalahan jika kita mencintai seseorang, misalnya anak dan istri, tetapi kecintaan itu dapat melemahkan kecintaan kita kepada Allah. Kecintaan kita tidak menambah pada ketaatan. Tetapi sebaliknya, cinta itu malah semakin membuat kita melupakanNya, atau malah kita menyekutukan Allah.

Sewaktu masih kecil, Husain, cucu tercinta Rasulullah, bertanya kepada ayahnya, “Apakah engkau mencintai Allah?”

Ali ra menjawab, “Ya.”

Lalu, Husain bertanya lagi, “Apakah engkau mencintai kakek dari ibu?”

Ali ra kembali menjawab, “Ya.”

Husain bertanya lagi, “Apakah engkau mencintai ibuku?”

Lagi-lagi Ali menjawab, “Ya.”

Husain kembali bertanya, “Apakah engkau mencintaiku?”

Ali menjawab, “Ya.”

Terakhir, Husain yang masih polos itu bertanya, “Ayahku, bagaimana engkau menyatukan begitu banyak cinta di hatimu?”

Ali menjelaskan, “Anakku, pertanyaanmu hebat! Cintaku kepada kakek dari ibumu (Nabi SAW), ibumu (Fatimah ra), dan kepada kamu sendiri adalah karena cinta kepada Allah. Sebab, semua cinta itu adalah cabang-cabang cinta kepada Allah SWT.” Setelah mendengar jawaban dari ayahnya, Husain tersenyum mengerti.

Dari keterangan singkat diatas, kita dapat ambil suatu kesimpulan bahwa ada dua hukum dalam mencintai : Cinta harus disertai pengorbanan yang tulus dan Cinta tidak boleh dibagi.

Source: Rizkipra

About admin

Check Also

Wirid Sakran

“Thariqah Ba’alawiy sudah biasa mengamalkan di dalam kehidupan sehari-hari”. Oleh: H. Derajat Asysyathari* بِسْمِ اللّٰهِ ...