“Saksi atau syahid (syuhada -jamak) dalam bahasa Arab, secara umum merujuk kepada pihak yang dihadirkan karena dianggap memiliki pengetahuan tentang suatu hal atau karena ia menyaksikan kejadian tertentu”.
Oleh: H. Derajat*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Sahabatku yang dimuliakan Allah, yang karena dirimulah aku berada di dunia ini, karena firmanNya jua aku dihidupkan dan dimatikanNya untuk berada dalam kehidupan kita bersama.
Sahabatku, sesungguhnya bekal kematian yang paling utama dan diharapkan adalah “asal dari Allah dan kembali kepadaNya pula”. Namun, apakah yang dimaksud kembali kepada Allah yang paling tepat? Tiada lain kecuali “kesyahidan !!!“.
Apakah makna kesyahidan? Apakah itu hanya mati di medan perang? Tentu saja “Tidak !!!”
Al-Qur’an merekam sebuah jejak sejarah dari masing-masing kita, keturunan Adam (Bani Adam), tentang sebuah peristiwa di sebuah alam yang disebut oleh para ulama sebagai “Alam Alastu” atau Alam Persaksian:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَـٰذَا غَافِلِينَ ۞
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS. Al-A’rãf [7]: 172).
Ayat ini adalah sebuah reportase penting tentang suatu masa ketika kita sungguh berhadap-hadapan dengan sosok Sang Raja Diraja Semesta itu. Saat itu, diambil sebuah kesaksian terhadap tiap-tiap diri (nafs/jiwa), masing-masing kita: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Dan kita pun menjawab: “Betul, kami menjadi saksi.”
“Saksi” atau “syahid” (“syuhada” -bentuk jamak) dalam bahasa Arab, secara umum merujuk kepada pihak yang dihadirkan karena dianggap memiliki pengetahuan tentang suatu hal atau karena ia menyaksikan kejadian tertentu. Dalam hal ini, manusia dinisbatkan sebagai saksi Allah, Tuhan Semesta Alam.
Manusia adalah saksi yang disumpah untuk memberikan keterangan yang membenarkan-Nya. Manusialah yang akan angkat bicara atas setiap keraguan tentang keberadaan-Nya, tentang keesaan-Nya, tentang kebesaran-Nya, tentang ke-99 asma-Nya. Kita menjadi saksi atas itu. Karena bukankah kita telah berhadap-hadapan dengan Sang Maha Agung, bercakap-cakap dan menyaksikan-Nya?
Dalam konteks yang lain, syahid atau syuhada (bentuk jamak dari syahid) kerap diartikan sebagai orang yang mati syahid di medan perang —yang di dalam Al-Qur’an disebutkan sebagai salah satu di antara orang-orang yang dianugerahi nikmat (QS. An-Nisã’ [4]: 69)— selain para Nabi, Shiddiqin, dan Shalihin.
فَاُولٰٓٮِٕكَ مَعَ الَّذِيۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰهُ عَلَيۡهِمۡ مِّنَ النَّبِيّٖنَ وَالصِّدِّيۡقِيۡنَ وَالشُّهَدَآءِ وَالصّٰلِحِيۡنَ ۞
“maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih.” (QS. An-Nisã’ [4]: 69)
Namun, makna asli dari kata syahid sebenarnya adalah “ia yang bersaksi” dan tidak ada kaitannya dengan sebuah peperangan. Syahid merupakan sebuah “gelar” orang-orang yang teguh berdiri dalam kesaksiannya, yang tidak selamanya sebagai martir dalam peperangan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
مَنْ سَأَلَ اللّٰهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللّٰهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ
“Siapa yang berdoa kepada Allah dengan benar untuk mendapatkan mati syahid, maka Allah akan menyampaikannya kepada kedudukan para syuhada walaupun dia mati di atas tempat tidur” (H.R. Muslim).
Juga, di hadits yang lain disebutkan, “Sebagian besar para syuhada dari umatku adalah mereka yang mati di tempat tidur” (H.R. Ibnu Mas’ud).
Oleh karena itu, ungkapan yang lebih tepat dalam menggambarkan arti syahid atau syuhada adalah ia yang memegang teguh kesaksian Allah atas penciptaan-Nya, kasih dan sayang-Nya, keagungan-Nya, penggelaran seluruh takdir dan asma-asma-Nya serta fitrah-Nya. Ia menjadi tonggak kesaksian Tuhannya itu bahkan ketika hidup sampai di ujung maut sekalipun.
Maka, barangkali dalam konteks inilah kita memahami sabda Rasulullah SAW bahwa “Orang yang terbunuh di jalan Allah adalah syahid, orang yang mati terkena wabah adalah syahid, dan seorang Ibu yang meninggal karena melahirkan anaknya adalah syahid, maka anaknya menariknya dengan tali pusar untuk masuk ke surga”. (H.R. Ahmad).
Itulah prinsip dasar kebersaksian atas Allah Ta’ala, peran yang diemban tiap-tiap diri umat manusia.
Derajat syahid memang memiliki banyak pintu. Pada riwayat Imam At-Thabarani, Rasulullah SAW menyebutkan secara jelas bahwa pintu syahid tidak tunggal. Kalau tunggal, niscaya umat Nabi Muhammad SAW yang mencapai derajat syahid akan berjumlah sedikit.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ : يَوْمًا لِأَصْحَابِهِ مَا تَعُدُّوْنَ الشُّهَدَاءَ فِيْكُمْ، قَالُوْا مَنْ يَقْتُلْ فِي سَبِيْلِ اللّٰهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا مُقْبِلًا غَيْرَ مُدْبِرٍ شَهِيْدٌ، قَالَ إِنَّ شُهَدَاءَ أُمَّتِي إِذَنْ لَقَلِيْلٌ، اَلْمَقْتُوْلُ فِي سَبِيْلِ اللّٰهِ شَهِيْدٌ، وَالْمَرْءُ يَمُوْتُ عَلَى فِرَاشِه فِي سَبِيْلِ اللّٰهِ شَهِيْدٌ، وَالْمَبْطُوْنُ شَهِيْدٌ، وَاللَّدِيْغُ شَهِيْدٌ، وَالْغَرِيْقُ شَهِيْدٌ، وَالشَّرِيْقُ شَهِيْدٌ، وَالَّذِيْ يَفْتَرِسُهُ السَّبُعُ شَهِيْدٌ، وَالْخَارُّ عَنْ دَابَّتِهِ شَهِيْدٌ، وَصَاحِبُ الْهَرِمِ شَهِيْدٌ، وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيْدٌ، وَالنُّفَسَاءُ يَقْتُلُهَا وَلَدُهَا يَجُرُّهَا بِسُرُرِهِ إِلَى الجَنَّةِ . ( رواه الطبراني )
“Dari sahabat Ibnu Abbas ra, Rasulullah saw suatu hari menguji sahabatnya, ‘Apa yang kalian tahu tentang orang-orang yang gugur sebagai syahid di antara kalian?’ Mereka menjawab, ‘Ya mereka yang gugur di jalan Allah, sabar, ikhlas, dan tidak mundur, adalah syahid.’ Rasulullah lalu menjelaskan, ‘Kalau begitu, sedikit sekali orang mati syahid di kalangan umatku. Orang yang gugur di jalan Allah, orang gugur di pembaringan saat di jalan Allah, korban meninggal sakit perut, korban tersengat (ular), korban tenggelam, korban meninggal karena tenggorokan tersedak, korban diterkam binatang buas, korban jatuh dari kendaraan, orang meninggal saat lansia, korban meninggal karena radang selaput dada (pleuritis) adalah orang yang mendapat derajat syahid, dan juga perempuan nifas yang meninggal karena mengurus balitanya. Kelak sang balita menuntun ibunya ke surga”. (HR At-Thabrani)
Ku akhiri dengan do’a:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
”Wahai dzat yang membolak-balik hati, tetapkanlah hati ini untuk selalu mengikuti ajaran agama engkau.”.
_____________
* Ketua Pasulukan Loka Gandasasmita