Home / Agama / Kajian / Berdoa Atau Berdzikir Saja?

Berdoa Atau Berdzikir Saja?

Risalah tentang perlunya berdo’a atau berdzikir

Oleh: Dr. Supardi S.H., M.H.*

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Was-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn”.

Syaikh Ahmad ibn ‘Athaillah Assakandary berkata dalam Kitabnya, Al-Hikam:

رُبَّمَا دَلَّهُمُ الْأَدَبُ عَلَى تَرْكِ الطَّلَبِ اِعْتِمَادًا عَلَى قِسْمَتِهِ وَاشْتِغَالًا بِذِكْرِهِ عَنْ مَسْئَلَتِهِ

“Ada kalanya seorang arif itu, terdorong oleh kesopanan kepada Allah dan menyerah kepada kebijaksanaan Allah, ia tidak meminta apa-apa kepada Allah. Dan karena sibuk dengan berdzikir sehingga ia tidak sempat berdoa”.

Sahabatku, sepanjang saya menerima ajaran Tarekat yang diterima dari mursyid kami yang bersambung hingga ke Sunan Gunung Jati, saya lebih banyak menerima ajaran tentang tata cara berdzikir dan menjaga adabnya ketimbang mengijazahkan do’a-do’a sebagaimana yang diajarkan mursyid-mursyid kami terdahulu.

Para pengamal Tarekat Syatthariyah umumnya meyakini bahwa ajaran dan amalan yang diterima pada hakikatnya berasal dari Nabi SAW, karena ajaran tersebut diturunkan melalui silsilah yang jelas mata rantainya. Kami, misalnya, selalu menghubungkan silsilah guru-guru Tarekat Syatthariyah tersebut sampai kepada Nabi melalui sahabatnya, Sayyidina Ali ibn Abi Thalib.

Dalam hal ini, kami sebagai penganut tarekat meyakini bahwa para sufi yang namanya dipakai untuk menyebut jenis tarekatnya tersebut tidak bertindak sebagai pencipta berbagai ritual tarekat, seperti dzikir dengan berbagai metodenya, melainkan hanya merumuskan dan membuat sistematikanya, sedangkan substansi dari ajaran-ajarannya itu sendiri adalah “asli” berasal dari Nabi SAW. Dan dzikir tersebut diterimanya melalui sebuah jalur silsilah yang terhubungkan sedemikian rupa sampai kepada Nabi SAW.

Ada kalanya seorang arif dari kalangan mursyid kami, terdorong oleh kesopanan kepada Allah dan menyerah kepada kebijaksanaan Allah, ia tidak meminta apa-apa kepada Allah. Dan karena sibuk dengan berdzikir sehingga ia tidak sempat berdoa.

MENINGGALKAN berdoa termasuk adab kesopanan terhadap Allah. Tapi bukan untuk semua orang. Itu bagi orang yang tenggelam dalam dzikir dan orang yang merasa ridha, puas dengan apa yang ditentukan Allah kepadanya.

Meninggalkan berdoa merupakan salah satu madzhab golongan ahli tasawuf.

Abul Qasim Al-Qusyairi berkata: “Para ulama berbeda pendapat mengenai manakah yang lebih utama, berdoa ataukah diam dan ridha dengan takdir Allah. Ada yang berkata; berdoa. Sebab berdoa itu ibadah. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

الدُّعَاءُ مُخُّ الْعِبَادَةِ

“Doa adalah saripati ibadah.”

Maka melakukan ibadah itu lebih utama daripada meninggalkannya. Doa itu juga merupakan sebuah kewajiban terhadap Allah. Walaupun doa itu tidak diterima dan keinginannya tidak tercapai, namun ia telah melaksanakan kewajibannya kepada Tuhan. Sebab, doa itu menampakkan kebutuhan kepada Allah.

Abul Hazim Al-A’raj berkata, ‘Jika aku tidak diberi kesempatan untuk berdoa, niscaya itu lebih berat bagiku daripada tidak diterimanya doa.’

Ada segolongan ulama berpendapat bahwa diam tidak berdoa dan menerima ketentuan Allah itu lebih utama. Oleh karena itu, Al-Wasithi berkata, ‘Memilih apa yang ditentukan Allah di azal itu lebih baik bagimu daripada engkau meminta untuk mendapatkan keinginanmu.’

Allah berfirman dalam hadits Qudsi:

مَنْ شَغَلَهُ ذِكْرِيْ عَنْ مَسْئَلَتِيْ اَعْطَيْتُهُ اَفْضَلَ مَا اُعْطِى السَّائِلِيْنَ ۞

“Siapa yang disibukkan oleh dzikir kepada-Ku sehingga berdoa kepada-Ku, maka Aku beri dia lebih baik dari apa yang Aku berikan kepada orang-orang yang meminta.”

“Ada pula yang berpendapat wajib bagi seorang hamba itu berdoa dengan lisannya dan ridha dengan hatinya. Maka ia telah melakukan keduanya sekaligus.”

Abul Qasim Al-Qusyairi berkata: “Waktu itu berbeda-beda. Kalau dilihat di waktu itu lebih baik berdoa, maka berdoa. Bila diam dianggap lebih baik, maka diam lebih baik. Tergantung pada isyarat dan kecondongan hati.”

Ada pula yang mengatakan, “Kalau di saat itu yang menang syari’atnya, maka lebih baik berdoa. Apabila makrifatnya menang, maka lebih baik tidak berdoa.”

Nabi Ibrahim AS ketika dibakar oleh Namrud didatangi Jibril AS yang menawarkan bantuan kepadanya. Nabi Ibrahim AS menolak bantuan Jibril AS.

“Aku tidak butuh kepadamu. Kalau kepada Allah aku butuh,” kata Nabi Ibrahim AS.

“Kalau begitu mintalah kepada Allah,” saran Jibril AS kepadanya.

Nabi Ibrahim AS berkata:

عِلْمُهُ بِحَالِيْ يُغْنِيْ عَنْ سُؤَالِيْ

“Allah Maha Tahu tentang keadaanku, tidak usah aku memohon kepada-Nya.”

Maka Nabi Ibrahim AS diselamatkan oleh Allah SWT dari kobaran api.

Nabi Ibrahim AS tidak mau berdoa kepada Allah SWT dalam kisah di atas disebabkan pada saat itu ia tenggelam dalam dzikir dan hakikat kepada Allah SWT. Akan tetapi, ketika ia kembali ke syariat, ia berdoa. Pada kesempatan yang lain Nabi Ibrahim AS banyak sekali berdoa. Dalam Al-Qur’an banyak disebut doa Nabi Ibrahim AS. Di antaranya,

رَبَّنَا اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ ۞

“Ya Tuhan kami, ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan orang-orang yang beriman.” (QS. Ibrahim : 41)

رَبِّ هَبْ لِيْ حُكْمًا وَاَلْحِقْنِيْ بِالصَّالِحِيْنَ ۞

“Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang shaleh.” (QS. Asy-Syu’ara : 83)

Begitu pula para Nabi banyak berdoa untuk mengajarkan dan mensyariatkan kepada umat. Sebab mereka diutus untuk orang yang lemah ataupun yang kuat.

Bagi umat yang berkeyakinan kuat yang pasrah penuh kepada ketentuan Allah dan tenggelam dalam berdzikir kepada-Nya, maka ia mengikuti jejak Ibrahim yang tidak berdoa. Bagi mereka yang belum sampai pada tingkatan itu, maka juga mengikuti jejak Ibrahim dan para Nabi yang banyak mengajarkan berdoa. Semuanya sama-sama mengambil dari Nabi.

Walhasil, bagi kita yang belum sampai pada tingkatan keyakinan yang sempurna, janganlah meninggalkan doa. Tetaplah berdoa dalam rangka menampakkan kebutuhan dan ‘ubudiyah kita kepada Allah SWT. Bukan semata karena mengharap terkabulnya hajat kita.

Wallãhu A’lamu bish-Shawãb

__________

* Als. Rd Mahmud Sirnadirasa, Kepala Kejaksaan Tinggi Riau
* Dikutip dari Buku al-Hikam, Mutiara Hikmah Kehidupan asuhan Habib Ahmad bin Husen Assegaf.

About admin

Check Also

Amalan Nisfu Sya’ban Berjama’ah

“Salah satu amalan yang sudah mentradisi di Indonesia adalah membaca Surat Yasin tiga kali pada ...