“Berulangkali perjanjian damai Israel-Palestina telah dibangun, namun berulangkali pula dilanggar oleh Israel dan akhirnya gagal. Terakhir PBB memberikan tawaran solusi damai dan penghentian bombardemen Gaza oleh Israel pada Oktober-November 2023 ini, namun Israel tak peduli. Warga Palestina yang meninggal akibat serangan Israel hingga hari ini mencapai lebih dari 11.000 jiwa yang 70 persen diantaranya adalah anak-anak dan wanita”.
Oleh: Admin
Upaya perdamaian di tanah Arab telah diupayakan oleh pemerintah dunia, konflik yang terus berkepanjangan antara Palestina dan Israel bermula ketika perjanjian Camp David antara Mesir dan Israel tidak berjalan lancar.
Perjanjian Camp David yang disetujui oleh pemerintah Mesir dan Israel yang mengindikasikan pengembalian Semenanjung Sinai kepada Mesir dan pembahasan pembentukan pemerintahan otonomi di Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai masa depan Palestina dianggap gagal.
Di waktu yang sama, Israel menilai untuk melakukan negosiasi dengan PLO yang berujung dengan berbagai macam konflik seperti Perang Lebanon 1982 dan pembantaian di Kamp pengungsian Sabra dan Shatila pada 16-18 September 1982.
Semakin memanasnya hubungan dengan Palestina juga ditandai dengan pecahnya perang intifada atau perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan Israel di jalur Gaza, Tepi Barat dan Jerusalem Timur pada tahun 1987.
Perjanjian damai antara Palestina dan Israel terus diupayakan untuk menekan terjadinya pelebaran konflik. Berikut upaya menekan konflik tersebut yang diaktualisasikan dengan beberapa perjanjian.
1. Perjanjian Camp David (1978)
Perjanjian Camp David adalah sepasang perjanjian politik yang ditandatangani oleh Presiden Mesir, Anwar Sadat dan Perdana Menteri, Israel Menachem Begin pada tanggal 17 September 1978, setelah dua belas hari perundingan rahasia di Camp David, tempat peristirahatan Presiden Amerika Serikat di Maryland.
Perjanjian Camp David terdiri dari dua kerangka perjanjian. Kedua perjanjian kerangka kerja tersebut ditandatangani di Gedung Putih dan disaksikan oleh Presiden Jimmy Carter. Kerangka kerja pertama (Kerangka Perdamaian di Timur Tengah), yang berhubungan dengan wilayah Palestina, ditulis tanpa partisipasi rakyat Palestina dan dikutuk oleh PBB.
Kerangka kerja kedua (Kerangka Penutupan Perjanjian Perdamaian antara Mesir dan Israel) mengarah langsung pada perjanjian perdamaian Mesir-Israel tahun 1979. Karena perjanjian tersebut, Sadat dan Begin menerima Hadiah Nobel Perdamaian tahun 1978 bersama.
Pertemuan tersebut diprakarsai Carter dan Menteri Luar Negeri, Cyrus Vance yang memberikan rencana dasar untuk menghidupkan kembali proses perdamaian berdasarkan Konferensi Perdamaian Jenewa dan telah menyajikan tiga tujuan utama perdamaian Arab-Israel: (1) Pengakuan Arab atas hak Israel untuk hidup dalam damai, (2) penarikan diri Israel dari wilayah pendudukan yang diperoleh dalam Perang Enam Hari melalui upaya negosiasi dengan negara-negara Arab tetangga, (3) untuk memastikan bahwa keamanan Israel tidak akan terancam dan mengamankan Yerusalem yang tidak terbagi.
Perjanjian Camp David adalah hasil upaya diplomatik selama 14 bulan yang dilakukan Mesir, Israel, dan Amerika Serikat yang dimulai setelah Jimmy Carter menjadi Presiden. Upaya tersebut awalnya berfokus pada penyelesaian perselisihan yang komprehensif antara Israel dan negara-negara Arab, lalu secara bertahap hal itu mengerucut menjadi perjanjian bilateral antara Israel dan Mesir.
Perjanjian Camp David terdiri dari dua perjanjian terpisah: “Kerangka Perdamaian di Timur Tengah” dan “Kerangka Penutupan Perjanjian Damai antara Mesir dan Israel“. Kedua perjanjian perdamaian tersebut disertai dengan “surat kesepahaman tambahan” antara Mesir dan AS serta Israel dan AS.
Dalam “Kerangka Perdamaian di Timur Tengah” dimulai dengan landasan penyelesaian konflik Arab-Israel secara damai. Dasar yang disepakati untuk penyelesaian damai konflik antara Israel dan negara-negara tetangganya adalah Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor: 242 di seluruh bagiannya.
Kerangkanya sendiri terdiri dari 3 bagian. Bagian pertama dari kerangka ini adalah untuk membentuk sebuah otoritas otonom yang memiliki pemerintahan sendiri di Tepi Barat dan Jalur Gaza dan untuk sepenuhnya melaksanakan Resolusi 242.
Kerangka pada bagian pertama tersebut mengakui “hak-hak sah rakyat Palestina”, sebuah proses yang akan dilaksanakan untuk menjamin otonomi penuh rakyat dalam jangka waktu lima tahun. Begin bersikeras menggunakan kata sifat “penuh” untuk memastikan bahwa itu adalah hak politik maksimal yang bisa dicapai.
Otonomi penuh ini akan dibahas dengan partisipasi Israel, Mesir, Yordania dan Palestina. Penarikan pasukan Israel dari Tepi Barat dan Gaza disepakati harus terealisasi setelah terpilihnya otoritas pemerintahan otonom untuk menggantikan pemerintahan militer Israel.
Namun, Perjanjian tersebut tidak menyebutkan Dataran Tinggi Golan, Suriah, atau Lebanon. Ini bukanlah perdamaian komprehensif seperti yang dipikirkan Kissinger, Ford, Carter, atau Sadat selama transisi kepresidenan Amerika sebelumnya. Perjanjian ini dianggap kurang jelas dibandingkan perjanjian mengenai Sinai, dan kemudian ditafsirkan secara berbeda oleh Israel, Mesir, dan Amerika Serikat. Nasib Yerusalem sengaja dikecualikan dari perjanjian ini.
Bagian kedua dari kerangka ini berhubungan dengan hubungan Mesir-Israel, isi sebenarnya dijabarkan dalam kerangka Mesir-Israel yang kedua. Bagian ketiga dari kerangka ini terdiri dari “Prinsip-Prinsip Terkait”. Bagian ini menyatakan prinsip-prinsip yang harus diterapkan pada hubungan antara Israel dan semua negara tetangga Arabnya.
Poin-poin penting dari bagian Tepi Barat dan Gaza terdiri dari:
(1) Mesir, Israel, Yordania dan perwakilan rakyat Palestina harus berpartisipasi dalam perundingan penyelesaian masalah Palestina dalam segala aspeknya.
(2) Mesir dan Israel sepakat bahwa, untuk menjamin peralihan kekuasaan secara damai dan tertib dan dengan mempertimbangkan masalah keamanan semua pihak, maka harus ada pengaturan masa transisi untuk Tepi Barat dan Gaza yang tidak lebih dari 10 tahun. Untuk memberikan otonomi penuh kepada penduduknya berdasarkan pengaturan ini, maka pada lima tahun pertama pemerintahan militer Israel dan pemerintahan sipilnya akan ditarik segera setelah otoritas pemerintahan sendiri telah dipilih secara bebas oleh penduduk di wilayah tersebut untuk menggantikan pemerintahan militer yang ada.
(3) Mesir, Israel, dan Yordania akan menyepakati modalitas untuk membentuk pemerintahan mandiri terpilih di Tepi Barat dan Gaza. Delegasi Mesir dan Yordania mungkin termasuk warga Palestina dari Tepi Barat dan Gaza atau warga Palestina lainnya sesuai kesepakatan bersama. Para pihak akan merundingkan perjanjian yang akan menentukan kewenangan dan tanggung jawab pemerintahan mandiri yang akan dilaksanakan di Tepi Barat dan Gaza. Penarikan angkatan bersenjata Israel akan dilakukan dan akan ada penempatan kembali pasukan Israel yang tersisa ke lokasi keamanan yang ditentukan. Perjanjian tersebut juga akan mencakup pengaturan untuk menjamin keamanan internal dan eksternal serta ketertiban umum. Pasukan polisi lokal yang kuat akan dibentuk, yang mungkin mencakup warga negara Yordania. Selain itu, pasukan Israel dan Yordania akan berpartisipasi dalam patroli bersama dan menjaga pos-pos kontrol untuk menjamin keamanan perbatasan.
(4) Ketika otoritas pemerintahan mandiri (dewan administratif) di Tepi Barat dan Gaza dibentuk dan dilantik, masa transisi lima tahun akan dimulai. Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari tahun ketiga setelah dimulainya masa transisi, perundingan akan dilakukan untuk menentukan status akhir Tepi Barat dan Gaza serta hubungannya dengan negara-negara tetangganya dan untuk menyimpulkan perjanjian damai antara Israel dan Yordania pada akhir masa transisi. Negosiasi ini akan dilakukan antara Mesir, Israel, Yordania dan perwakilan terpilih dari penduduk Tepi Barat dan Gaza. Perundingan harus didasarkan pada seluruh ketentuan dan prinsip Resolusi 242 Dewan Keamanan PBB. Perundingan tersebut akan menyelesaikan, antara lain, lokasi perbatasan dan sifat pengaturan keamanan. Solusi dari perundingan tersebut juga harus mengakui hak sah rakyat Palestina dan tuntutan adil mereka.
Kerangka kerja tersebut hanya menyangkut otonomi penduduk Tepi Barat dan Gaza. Dokumen tersebut tidak menyebutkan status Yerusalem, maupun Hak Pengembalian Palestina.
2. Perjanjian Madrid (1991)
Sebelum dunia mengenal perjanjian Oslo I, Palestina dan Israel telah membangun sebuah perjanjian yakni konferensi Madrid. Konferensi Madrid adalah perundingan yang dilaksanakan di Madrid yang diprakarsai oleh Pemerintah Spanyol, didukung oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet pada 30 Oktober 1991 di Madrid. Adapun negara yang terlibat dalam konferensi Madrid yakni Israel, Palestina, Suriah, Lebanon dan Yordania.
Konferensi Madrid pada tahun 1991 telah mencapai putaran kesepuluh yang diselenggarakan di Washington pada tahun 1993. Namun, di lain tempat yaitu di Oslo-Norwegia, juga telah dilakukan pertemuan rahasia di luar putaran perundingan Madrid. Pertemuan tersebut merupakan yang pertamakali dipertanyakan oleh utusan Khusus AS yakni Dennis Ross kepada delegasi Palestina, Hanan Ashrawi.
Syrian Foreign Minister Farouk al-Shara delivers a speech deeply critical of Israel during the Madrid conference, 1991. Credit: Moshe Milner, Israeli Government Press Office |
Perundingan di Washington yang merupakan putaran kesepuluh dari konferensi Madrid merupakan perundingan resmi antara Israel dan Palestina. Perundingan di Washington tersebut telah mencapai keputusan hampir final dengan adanya pembuatan Deklarasi Prinsip Penarikan Pasukan Israel secara bertahap dari wilayah Palestina yang akan diselenggarakan pertama di jalur Gaza yang dikenal dengan “Gaza Pertama”.
Di lain pihak, perundingan di Oslo juga membahas masalah yang sama. Seusai perundingan tersebut, delegasi Palestina menuju Tunis untuk meminta persetujuan Yasser Arafat untuk persetujuan kota Jericho sebagai simbol kedaulatan Palestina di Tepi Barat melalui proyek “Gaza-Jericho pertama”. Di lain pihak, perjanjian di Oslo juga telah semakin mencapai tahapan final.
Perundingan rahasia yang terjadi di Oslo masih belum diberitahukan kepada delegasi yang berada di Washington yakni Hanan Ashrawi oleh Yasser Arafat selaku pimpinan Palestina, di mana pada saat itu, Hanan Ahrawi telah mempersiapkan putaran kesebelas yang akan diselenggarakan pada 31 Agustus hingga 14 September 1993.
Pada tanggal 24 Agustus 1993, Hanan Ashrawi mendapatkan kabar bahwa perundingan di Washington tidak harus diadakan lagi karena telah ada perkembangan yang luar biasa di Oslo. Hanan yang tidak mengetahui apapun segera berangkat ke Tunis untuk mendapat info lebih lanjut mengenai apa yang terjadi di Oslo.
Setelah tiba di Tunis, Ashrawi, Faisal Huseini dan Akram Haniah (anggota delegasi Washington dari Palestina) mendapatkan penjelasan untuk kali pertama dari Ahmed Qurei (Ketua Parlemen Palestina) dan Hassan Ahfour (Menteri Negara Palestina) dengan pengarahan dari Mahmud Abbas.
3. Perjanjian Oslo (1993)
Perundingan Oslo I yang diselenggarakan di Norwegia merupakan perundingan yang diadakan oleh PLO dan Israel, dimana pada deklarasi ini merinci prinsip-prinsip otonomi Jalur Gaza dan Jericho yang diharapkan akan menjadi awal proses pembentukan negara palestina.
Perundingan Oslo I yang disembunyikan dari media masa tersebut merupakan dampak dari larangan Israel untuk dapat melakukan pertemuan secara politik, yang mana akhirnya perundingan di Oslo terselenggara secara rahasia berkat bantuan dan fasilitas yang diberikan oleh Egeland (Diplomat Norwegia).
Pada saat perundingan itu terjadi, Norwegia merupakan negara yang memiliki hubungan baik dengan kedua belah pihak sehingga dapat mempertemukan pihak PLO dengan Israel secara informal.
Pertemuan Oslo I yang dibuka pada 20-11 Januari 1993 mempertemukan wakil Israel yang bukan berasal dari orang pemerintahan Israel dengan PLO. Pertemuan di Oslo I ini tidaklah membahas mengenai isu politik melainkan isu sosial-ekonomi di wilayah pendudukan, namun pada akhirnya pertemuan tersebut berlanjut menjadi pertemuan politis.
Selanjutnya, perundingan di Oslo kembali dimulai pada 4 Maret 1993 dengan melibatkan pejabat Israel seperti Uri Savir, pejabat tinggi kementerian luar negeri, Dedi Zucker, anggota parlemen. Sedangkan dari pihak PLO dihadiri oleh Ahmad Krai dan Mahmoud Abbas, selaku pejabat senior PLO.
Pada tanggal 20 Agustus 1993, Shimon Perez mengunjungi Norwegia untuk melihat hasil deklarasi yang pada kemudian hari, hasil tersebut dijelaskan kepada menteri Luar Negeri AS, Warren Christoper.
Perundingan Oslo I terungkap di media masa pada 28 Agustus 1993, yang mana pada tanggal 30 Agustus 1993, Perdana Menteri Yitzhak Rabin menjelaskan mengenai rencana pemberian otonomi Gaza dan Jericho. Kemudian pada 13 September 1993, Perjanjian Oslo I ditandatangani di Washington D.C (bertepatan dengan perundingan damai kesebelas) oleh Mahmoud Abbas mewakili PLO dan Shimon Perez mewakili Israel. Peristiwa tersebut disaksikan oleh Waren Christoper dari Amerika dan Andrei Kozyrev dari Rusia, di depan Presiden AS, Bill Clinton dan perdana menteri Israel Yitzhak Rabin dengan ketua PLO Yasser Arafat.
Presiden Clinton, Yitzhak Rabin, dan Yasir Arafat pada upacara penandatanganan Perjanjian Oslo, 13 September 1993. |
Dalam perjanjian tersebut disebutkan bahwa PLO mengakui Israel untuk hidup secara damai dan aman, serta menerima resolusi Dewan Keamanan PBB No. 242 dan 338, berkomitmen untuk menyelesaikan konflik secara damai, mengecam penggunaan terorisme dan tindakan-tindakan kekerasan lainnya. Ditegaskan pula bahwa pasal-pasal dalam Perjanjian PLO yang menolak hak Israel untuk eksis tidak lagi valid dan berjanji untuk menunjukan komitmen tersebut ke Dewan Nasional Palestina.
PLO merupakan satu-satunya perwakilan Palestina dalam negosiasi perdamaian, namun Arafat gagal dalam memberikan hasil konkrit dalam konsesi penarikan mundur Israel di wilayah Palestina.
Berikut ini merupakan beberapa Deklarasi Prinsip Penarikan Pasukan Israel dari wilayah Palestina pada Perjanjian Oslo I:
1. Dua bulan setelah deklarasi disetujui, Israel akan menandatangani persetujuan untuk menarik pasukannya dari Jalur Gaza dan kota tua Jericho. Seluruh pasukan akan ditarik tidak lebih dari empat bulan setelah perjanjian ditandatangani. Tetapi dengan catatan, Israel tetap mengontrol pintu-pintu masuk ke Gaza dan Jericho dan mengawasi keamanan seluruh wilayah.
2. Bangsa Palestina akan diberi kontrol penuh bagi urusan dalam negerinya sendiri. Tapi, belum boleh menyatakan kedaulatannya di kedua wilayah yang dikosongkan dari tentara Israel tersebut.
3. Segera setelah berlakunya deklarasi prinsip dan penarikan pasukan, Palestina berwenang mengatur semua urusannya di seluruh Tepi Barat, yang meliputi kepolisian, pendidikan, kesejahteraan sosial, pajak dan pariwisata.
4. Dalam kurun waktu 9 bulan setelah deklarasi prinsip diberlakukan, akan dilakukan pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Palestina. Dewan terpilih yang mempunyai kekuasaan legislatif inilah yang akan memerintah Jalur Gaza dan Tepi Barat selama masa transisi yang dijanjikan tidak akan lebih dari lima tahun.
5. Untuk sementara waktu, dalam masa transisi, permukiman Yahudi di jalur Gaza dan Tepi Barat tetap berada di bawah yuridiksi Israel. Setelah itu, penduduk di kawasan tersebut boleh memilih tunduk pada pemerintah Palestina atau kembali ke Israel.
6. Perundingan terhadap status seluruh wilayah bekas pendudukan Israel dan Yerusalem Timur itu akan dimulai dalam waktu dua sampai tiga tahun kemudian.
Adapun Isi Pasal-pasal secara rinci dari Perjanjian Oslo I (1993) terdiri dari tujuh pasal dan empat pasal tambahan yaitu:
Pasal 1
Tujuan Negosiasi
Menciptakan sebuah kekuasaan sendiri Interim bangsa Palestina, pemilihan dewan bagi rakyat Palestina di tepi Barat dan Jaalur Gaza, bagi suatu periode transisi yang tidak lebih dari kurun waktu lima tahun menuju suatu penyelesaian perdamaian berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan no 242 dan no 338.
Pasal 2
Kerangka Kerja Bagi Periode Interim
Kerangka kerja yang disepakati bagi periode interim sudah diajukan dalam Deklarasi Prinsip-Prinsip ini.
Pasal 3
Pemilu Rakyat Palestina
Pemilu Rakyat Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza bisa memerintah berdasarkan prinsip prinsip demokrasi, langsung, bebas dan politik umum, pemilu untuk memilih Dewan di bawah pengawasan yang disepakati.
Pasal 4
Yurisdiksi Dewan
Yurisdiksi Dewan tersebut akan mencakup wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza, kecuali Isu-isu yang akan dinegosiasikan dalam negosiasi-negosiasi permanen.
Pasal 5
Periode Transisi dan Negosiasi-Negosiasi Berstatus Permanen
Periode transisi lima tahun akan dimulai bersamaan dengan penarikan mundur dari jalur Gaza dan kawasan Jericho. Negosiasi-negosiasi berstatus permanen akan dimulai segera mungkin yang mencakup isu-isu Yerussalem, para pengungsi, pemukiman, pengaturan-pengaturan keamanan, perbatasan-perbatasan, hubungan dan kerjasama dengan negara-negara tetangga dan isu-isu lainnya sesuai dengan kepentingan bersama.
Pasal 6
Persiapan Peralihan Kekuasaan dan Tanggung Jawab
Pada saat diberlakukannya Deklarasi Prinsip-prinsip ini dan penarikan mundur dari jalur Gaza dan Jericho, sebuah peralihan dari pemerintah militer Israel dan Administrasi sipilnya kepada pihak Palestina dalam lingkup sebagai berikut: (1) Pendidikan dan Kebudayaan, (2) Kesehatan Sosial, (3) Perpajakan Langsung, dan (4) Turisme.
Pasal 7
Perjanjian Interim
Perjanjian Interim ini akan menetapkan struktur dewan, jumlah keanggotaanya, serta peralihan kekuasaan dan tanggung jawab dari pemerintah militer Israel dan Administrasi sipil ke Dewan.
Adapun dalam pasal-pasal tambahan Deklarasi prinsip-prinsip Kesepakatan Oslo I terdiri dari empat pasal, yaitu:
- Pasal Tambahan I Protokol tentang cara dan kondisi Pemil.
- Pasal Tambahan II Protokol penarikan kekuatan militer Israel dari Jalur Gaza dan Kawasan Jericho.
- Pasal Tambahan III Protokol tentang Kerjasama Israel-Palestina dalam program-program ekonomi dan pembangunan.
- Pasal Tambahan IV Protokol tentang kerjasama Israel-Palestina berkaitan dengan pembangunan regional.
Dengan adanya perjanjian Oslo I diharapkan Palestina dan Israel selangkah lebih maju dalam meraih perdamaian di antara kedua belah pihak. Namun pada implementasinya beberapa kalangan mulai mempertanyakan isi perjanjian Oslo I tersebut.
Hal-hal yang dipertanyakan meliputi langkah awal kemerdekaan Palestina yang mana dalam perjanjian Oslo I tidak terkandung janji seperti harapan tersebut. Israel mengharapkan bahwa kesepakatan Oslo I mengarah pada perdamaian dengan rakyat Palestina yang bermukim di jalur Gaza dan Tepi Barat, dua kawasan yang terbelah oleh Israel.
Selain itu, permasalahan juga timbul dari beberapa hal seperti ketidakjelasan berapa banyak pasukan yang akan ditarik oleh Israel di wilayah sengketa serta ketidakjelasan status wilayah Jerussalem yang diklaim oleh kedua belah pihak.
4. Perundingan Kairo (1994)
Pada tanggal 4 Mei 1994, Arafat dan Rabin menandatangai kesepakatan di Kairo, Mesir. Perundingan Kairo merupakan perundingan lanjutan dari perundingan Oslo I.
Berdasarkan kesepakatan pada tanggal 17 Mei 1994 secara resmi Palestina mengambil otoritas sipil di Jalur Gaza dan Jericho dari Israel. Pengambil-alihan kekuasaan tersebut menandai berakhirnya kekuasaan Israel di kedua wilayah tersebut. PLO mengambil alih tanggung jawab atas masalah-masalah perekonomian, pendidikan, perpajakan, kesehatan, kesejahteraan sosial dan kepariwisataan. Sedangkan masalah-masalah luar negeri dan keamanan eksternal tetap berada di tangan pemerintah Israel.
The Cairo Agreement: Israel’s negotiations with the PLO, October 1993-May 1994 |
Perjanjian Kairo menetapkan tiga poin penting, yakni:
1. Israel mempunyai hak veto atas undang-undang atau peraturan lain yang dihasilkan oleh parlemen PLO di Gaza dan Jericho.
2. Para pemukim yahudi akan terus dibiarkan hidup di Gaza dan Tepi Barat tetapi tidak tunduk di bawah undang-undang atau hukum PLO.
3. Para polisi PLO tidak diizinkan menangkap warga Israel atau pemukim Yahudi yang melakukan pelanggaran hukum, hanya tentara Israel yang berhak menangkap mereka.
Perjanjian Kairo sebenarnya merupakan implementasi Oslo I, dan merupakan kelanjutan Perjanjian Camp David (1978-1979). Ketiga perjanjian tersebut dibuat ketika Israel mampu menekan Amerika untuk mendukung posisinya yang berakibat dengan mudahnya Israel dapat mempermainkan isi perjanjian yang dibuat.
Israel memang telah bersedia menyerahkan otoritas sipilnya pada PLO, dan negara Uni Eropa telah menyatakan kesediaannya untuk membantu pemerintah Arafat dalam membangun Gaza dan Jericho. Namun, permasalahan serius menghadang langkah Arafat seperti gerakan Anti-Israel dari kelompok Hamas dan Kelompok Islam Palestina lainnya. Dampaknya, sikap anti Arab/Palestina dari kaum Yahudi militan merupakan tantangan yang serius bagi otoritas sipil PLO di Gaza dan Jericho.
Selain itu, yang menjadi pertanyaan adalah status otoritas PLO, dimana status yang dimiliki PLO hanyalah bersifat “otonomi terbatas dan sementara”. Keberadaan PLO dengan status tersebut dapat sewaktu-waktu dicabut oleh Israel.
Permasalahan lain juga datang dari status kota Yerussalem, dimana status kota tersebut masih tidak jelas. Permasalahan yang masih terus timbul masih diharapkan dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak melalui jalan negosiasi.
5. Perjanjian Oslo II (1995)
Perjanjian Oslo II dilaksanakan di Washington DC pada 28 September 1995 dimana perjanjian tersebut ditandatangai oleh Presiden PLO, Yasser Arafet, PM Israel Yitzhak Rabin, dan dilaksanakan oleh Bill Clinton.
Pada perjanjian ini, disepakati bahwa Israel harus menyerahkan 90 persen daerah Tepi Barat yang berpenduduk sekitar satu juta jiwa warga Palestina. Kesepakatan lainnya yang diambil ialah penarikan mundur pendudukan Israel dari beberapa kota di Tepi Barat, yaitu Bethlehem, Jenin, Nablus, Qalqiyah, Ramallah dan Tulkarem dan 450 desa pada akhir 1995. Israel tetap memegang kontrol atas wilayah pemukiman Yahudi dan instalasi militer. Mengenai status kota Hebron akan dibahas pada negosiasi tahap berikutnya.
Setelah penandatanganan Kesepakatan Oslo II, Palestina dan Israel melakukan penandatanganan perjanjian kota Hebron yang menyepakati status kota Hebron dan penarikan pasukan Israel di Taba pada 1995. Dokumen kesepakatan Oslo II yang ditandatangani di Taba dan Washington bulan September 1995 terdiri dari 314 halaman.
Berikut merupakan hal-hal yang patut dicatat dari perjanjian Oslo II:
1. Perjanjian itu merupakan suatu langkah yang positif, paling tidak bagi tiga pihak Yasser Arafat dan pendukungnya, pemerintah Partai Buruh di Israel dan Pemerintah Bill Clinton di Amerika. Namun, oleh karenanya, kelangsungan nasib perjanjian sangat tergantung pada Arafat, Rabin dan Clinton.
2. Penandatanganan perjanian Oslo II menunjukan adanya semacam paradoks, dimana PLO dalam posisi yang lemah, dan sebaliknya dengan Israel dan AS yang pada akhirnya implementasi perjanjian yang ada akan sangat tergantung pada pihak Israel dan Amerika.
3. Negara pendonor masih belum membuktikan realisasi dari perjanjian Oslo I hingga Oslo II, padahal pada awal mulanya, negara pendonor seperti Eropa telah berjanji akan membantu pembangunan. Namun janji hanya tinggal janji, realisasinya tak terbukti.
4. Perbedaan persepsi tentang perjanjian damai antara beberapa pihak seperti Arafat, yang mana pihak Arafat memandang bahwa perjanjian merupakan langkah awal dari sebuah perdamaian namun bagi pihak Israel, perwujudan negara Palestina hanyalah “mimpi”.
Pelaksanaab perundingan Oslo I dan II membawa dinamika tersendiri bagi kehidupan rakyat Palestina. Di satu sisi, rakyat Palestina dijanjikan dengan mimpi kebebasan dan kemerdekaan wilayahnya serta kehidupan layak yang mereka harapkan, namun pada sisi lain, mereka harus dihadapkan pada kenyataan bahwa perundingan yang ada hanyalah mimpi yang diberikan Israel sebagai bentuk perpanjangan kekuasan Israel atas tanah Palestina.
Selain itu, dinamika internal masyarakat Palestina muncul keadaan pro dan kontra. Masyarakat Palestina sebagian besar terbagi dalam dua kubu, yakni Fatah dan Hamas. Hal ini menimbulkan problematika tersendiri, yang pada kenyataannya Fatah pro terhadap kesepakatan Oslo, sementara Hamas secara tegas menolak seluruh kesepakatan Oslo.
6. KTT Camp David (2000)
KTT Camp David tahun 2000 adalah pertemuan puncak di Camp David antara Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, Perdana Menteri Israel Ehud Barak dan Ketua Otoritas Palestina, Yasser Arafat. KTT tersebut berlangsung antara 11 dan 25 Juli 2000 dan merupakan upaya untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina. KTT tersebut berakhir tanpa kesepakatan dan kegagalannya dianggap sebagai salah satu pemicu utama Intifada Kedua.
Puncak pertemuan tersebut digambarkan sebagai ilustrasi efek Rashomon, di mana banyak saksi memberikan interpretasi yang kontradiktif dan mementingkan diri sendiri.
Awalnya, Presiden AS, Bill Clinton mengumumkan undangannya kepada Perdana Menteri Israel Ehud Barak dan Yasser Arafat pada tanggal 5 Juli 2000, untuk datang ke Camp David, Maryland, guna melanjutkan perundingan mereka mengenai proses perdamaian Timur Tengah.
Ada preseden yang penuh harapan dalam Perjanjian Camp David tahun 1978 di mana Presiden Jimmy Carter mampu menengahi perjanjian perdamaian antara Mesir, yang waktu itu diwakili oleh Presiden Anwar Sadat, dan Israel yang diwakili oleh Perdana Menteri Menachem Begin.
Perjanjian Oslo tahun 1993 antara Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin yang kemudian dibunuh dan Ketua Organisasi Pembebasan Palestina Yasser Arafat menyatakan bahwa kesepakatan harus dicapai mengenai semua masalah yang belum terselesaikan antara pihak Palestina dan Israel –yang disebut penyelesaian status akhir– dalam waktu lima tahun (kedua) pelaksanaan pembentukan otonomi Palestina. Namun, proses sementara yang dilakukan di bawah Oslo tidak memenuhi harapan Israel maupun Palestina.
Pada tanggal 11 Juli, KTT Camp David 2000 diselenggarakan, meskipun Palestina menganggap KTT tersebut terlalu dini. Mereka bahkan melihatnya sebagai jebakan. KTT berakhir pada 25 Juli, tanpa tercapai kesepakatan apapun. Pada kesimpulannya, Pernyataan Trilateral dikeluarkan yang menjelaskan prinsip-prinsip yang disepakati untuk memandu negosiasi di masa depan.
7. Prakarsa Perdamaian Arab dari KTT Beirut (2000)
Negosiasi Camp David diikuti dengan pertemuan di Washington di Kairo dan Taba, Mesir -semuanya tanpa hasil. Setelah itu, Liga Arab mengusulkan Prakarsa Perdamaian Arab di Beirut, Maret 2002.
Rencana tersebut meminta Israel menarik diri ke perbatasan sebelum 1967. Sebagai imbalannya, negara-negara Arab akan setuju untuk mengakui Israel. Namun, semua prakarsa itu mengalami kegagalan.
8. Peta Jalan Kuartet Timur Tengah (2003)
Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia, dan PBB bekerja sama sebagai Kuartet Timur Tengah untuk mengembangkan peta jalan menuju perdamaian. PM Palestina saat itu, Mahmoud Abbas, menerima teks tersebut, namun mitranya dari Israel, Ariel Sharon, keberatan.
Peta jalan itu memuat tentang solusi dua negara yang termuat dalam dokumen berjudul: “The Roadmap represents a starting point toward achieving the vision of two states, a secure State of Israel and a viable, peaceful, democratic Palestine. It is the framework for progress towards lasting peace and security in the Middle East …”
Prinsip-prinsip dari rencana tersebut, yang awalnya dirancang oleh Menteri Luar Negeri AS Donald Blome, mula-mula dijelaskan oleh Presiden AS George W. Bush dalam sebuah pidato pada 24 Juni 2002, dimana ia menyerukan negara Palestina independen hidup berdampingan dengan Israel dalam keadaan damai.
Namun sayangnya, roadmap itu tidak pernah dilaksanakan.
9. Prakarsa Perdamaian Trump (2020)
Presiden AS Donald Trump memperkenalkan rancangan perdamaian tahun 2020. Tetapi rancangan itu menuntut warga Palestina menerima pemukiman Yahudi di kawasan Tepi Barat yang diduduki Israel. Palestina menolak rancangan tersebut.
Serangan yang dilancarkan artileri Israel terus menggempur Jalur Gaza. Serangan udara yang dilakukan pada Jumat (14/5/2021) tersebut menyasar warga militan di jalur tersebut.[Antara] |
Konflik kembali berkobar pada 2021. Hal itu berawal dari rencana Israel mengusir empat keluarga Palestina dan memberikan rumah mereka di Yerusalem Timur kepada pemukim Yahudi berujung bentrokan dan aksi protes di Yerusalem.
Kelompok milisi Hamas kemudian menembakkan lebih 2.000 roket ke Israel, dibalas dengan serangan udara militer Israel, yang menghancurkan banyak bangunan di Jalur Gaza.
Akankah kedamaian masih bisa “hidup” setelah berulangkali “mati” ditindas oleh keganasan, ketamakan dan rasisme yang sudah menjadi ideologi dan pandangan hidup? Yang jelas, ideologi agama yang dicerap secara “murni” tak akan pernah berbuat dzalim di antara para penganutnya dan akan tetap mendendangkan kedamaian sepahit apapun ia. Kontaminasi ambisi duniawi terhadap pemikiran jernih dan jiwa suci, apapun selimutnya, ia tetap akan mengobarkan pertempuran sepanjang masa. Berdoalah untuk mereka yang tertindas, rintihan senyum penderitaannya akan menembus langit dan menerangi jiwa-jiwa yang berempati.[byHaqq]
__________
* Source: Dari berbagai sumber