Oleh: H. Derajat
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku yang budiman, hari ini kita tengah berada pada pergantian tahun hijriyah. Mengakhiri tahun 1443 Hijriyah dan mengawali 1444 Hijriyah.
Marilah kita awali tahun ini dengan mengenangkan tahun lalu (1443 H.) untuk dievaluasi segala ‘action plan‘, dikritisi segala efektifitas amaliyah, diistighfari segala dosa dan kesalahan, agar Allah SWT yang Maha Pengampun memberikan rahmat dan ampunan-Nya, sehingga tahun depan dimasuki dengan kesiapan pribadi yang lebih baik.
Kami, selaku Pimpinan
beserta seluruh Keluarga Besar
Pasulukan Loka Gandasasmita mengucapkan:
“Selamat Memasuki Tahun Baru 1444 Hijriyah, Semoga Allah SWT melimpahkan kepada kita semua Rahmat, Berkat dan Selamat Lahir dan Bathin, sehingga kita semua dimudahkan oleh-Nya untuk merubah diri fid-Dîn, wad-Duniã wal-Ãkhirah ke arah yang lebih baik,
âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku, kali ini kita akan ulas beberapa catatan sejarah yang mungkin penting untuk kita telaah dan sadari bersama. Agar ketika memasuki pergantian Tahun Baru Hijriyah, kesadaran kita akan menggering prilaku ke arah yang lebih bijak dan lebih bermakna.
Ketahuilah, bahwa sejarah gagasan penghitungan tahun hijriyah bagi umat Islam dimunculkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Beliaulah yang pada awalnya mengusulkan momentum hijrah sebagai awal Penghitungan Kalender Tahun Islam, yang kemudian kita sebut sebagai Hijriyyah (dengan huruf “Y” ganda dalam penulisan Arabnya).
Usulan itu, diambil dengan pertimbangan bulan Muharram sebagai waktu kemenangan Muslim pada Bai’at Aqabah II. Bai’at itu menandai penyerahan kekuasaan (istilãm al-hukm) dari kaum Anshar kepada Nabi SAW. Namun demikian, penanggalan versi ini diresmikan penggunaanya oleh Khalifah Umar bin Khatthab pada 637 Masehi atau sekitar tahun ke-16 Hijriyah, walaupun ada pendapat lain yang mengatakan pada tahun ke-17 H.
Sebutan “Hijriyyah” diambil dari kata yang merujuk kepada momentum “Hijrah” Nabi Muhammad SAW dan para Sahabat dari Mekkah ke Madinah. Mu’jam al-Mu’ãshirah memberikan definisi lughawi-nya sebagai berikut:
هِجْرِيٌّ 〈مفرد〉 : اِسْمُ مَنْسُوْبٍ إِلَى الْهِجْرَةِ . اَلسَّنَةُ الْهِجْرِيَّةُ : اَلسَّنَةُ الْقَمَرِيَّةُ عَدَدَ شُهُوْرِهَا اِثْنَا عَشَرَ شَهْرًا تُبْدَأُ بِالْمُحَرَّمِ وَتُنْتَهِيْ بِذِي الْحِجَّةِ
“Hijriy [Kata Tunggal] : adalah ‘Isim mansub’ (kata benda yang nisbahkan kepada hijrah. Tahun Hijriyyah : Tahun Qamariyyah yang jumlah bulannya ada dua belas bulan dimulai dari al-Muharram dan diakhiri dengan Dzil-Hijjah.”
Sistem penghitungan Kalender Hijriyah ini didasarkan pada “lunar system” (peredaran bulan mengelilingi matahari) selama 29,5 hari per bulan. Setiap satu bulan dalam penanggalan Hijriyah hanya berselang 29 atau 30 hari. Hitungan tersebut ditetapkan dengan mengambil momentum hijrah Rasulullah SAW dan kaum Muslimin (Muhajirin) dari Mekkah al-Mukarramah ke Madinah al-Munawwarah.
Catatan Kritis
Dalam catatan sejarah, ada beberapa catatan yang mesti dipahami oleh umat Islam yang berkenaan dengan kerancuan-kerancuan sehingga perlu disikapi dengan bijak dan tidak berlebihan.
Kerancuan pertama, adalah bahwa permulaan hijrah Nabi SAW sendiri sebenarnya dimulai pada 2 [4] Rabi’ul awwal 13 [14] kenabiaan, September 622 Masehi, bukan pada 15 Juli 622 Masehi. Antara permulaan hijrah Nabi SAW dan permulaan kalender Islam sesungguhnya terdapat jarak sekitar 62 atau 64 hari. Dan antara keduanya ada bulan Shafar.
Meskipun dalam penetapan titik awal penghitungan tahun hijriyah dengan titik momentum hijrahnya Rasulullah SAW beserta para Sahabat RA tidaklah presisi, namun tidaklah menjadi sebab terganggunya momentum hari-hari besar Islam yang ada tuntunan langsung dari Rasulullah SAW, semisal bulan puasa di bulan Ramadhan, Idul Fitri di bulan Syawwal, Idul Adha dan Haji di bulan Dzul Hijjah, dst.
Awal penghitungan tahun hijriyah tidaklah identik dengan penetapan nama-nama bulan. Nama-nama bulan sebagaimana dikenal dalam kalender Hijriyah sudah lebih dulu dikenal jauh sebelum Nabi SAW lahir. Karena itu, kelahiran Nabi Muhammad SAW sebagaimana sudah kita ketahui dan tercatat dalam sejarah yang masyhur terjadi pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Namun untuk penyebutan tahunnya dikenal dengan sebutan “Tahun Gajah”, sehubungan belum ditentukannya penghitungan tahun untuk umat Islam saat itu.
Jadi, penanggalan berdasarkan bulan beserta nama-namanya sudah dikenal, namun penghitungan tahunnya belum dimulai. Bilkhusus, untuk penetapan penghitungan tahun Hijriyah yang kita terima dan sebagai tahunnya umat Islam. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah sebelum hijrahnya Nabi SAW beserta para Sahabat dari Mekkah ke Madinah sudah ada penghitungan tahun yang didasarkan pada nama-nama bulan yang sudah dikenal? Berhubung nama-nama bulan yang dikenal sekarang sudah dikenal jauh sebelum kelahiran Nabi SAW, mungkinkah penghitungan tanggal yang lengkap dengan nama bulannya dipegang teguh selama berabad-abad tanpa penghitungan tahun?
Barangkali untuk menjawab pertanyaan tersebut patut kita kaji lebih dalam dan kita cari referensi lebih banyak lagi berdasarkan sumber-sumber sejarah yang sahih dan valid, sembari kita merenung dengan memohon kepada Allah SWT sehingga dimudahkan untuk bisa akses ke sumber yang sahih dan valid.
Kerancuan kedua, adalah munculnya doa yang dinisbahkan bersumber dari Rasulullah SAW untuk mengawali dan mengakhiri tahun baru hijriyah. Padahal, di atas sudah kita ulas sedikit tentang kesejarahan munculnya penetapan tahun Hijriyah di zaman Sayyidina Umar bin Khatthab RA., atau pasca wafatnya Rasulullah SAW. Tidak ada catatan sejarah bahwa Rasulullah SAW memerintahkan, menyikapi atau apalagi memberikan tuntunan doa dalam menghadapi tahun baru hijriyah. Ditambah lagi pada saat Rasulullah SAW belum wafat belumlah ditetapkan penghitungan tahun baru Hijriyah,
Meskipun penyebutan untuk nama-nama bulan Hijriyah sudah dikenal, seperti Muharram, Shafar, Rabi’ul Awwal, Rabi’uts Tsani, Jumadil Ula, Jumadits Tsaniyah, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawwal, Dzul Qa’dah, dan Dzul Hijjah, namun untuk penghitungan tahun Hijriyahnya belum dimulai. Momen-momen hari besar Islam berdasarkan bulan-bulan tersebut di zaman Rasulullah SAW yang ada tuntunan langsung seperti Puasa di bulan Ramadhan, bagaimana menyambut Hari Raya Idul Fitri di bulan Syawwal, atau menyambut Idul Adha dan haji di bulan Dzul Hijjah, dst.
Tuntunan Rasulullah SAW untuk menghadapi tahun baru Hijriyah belum ditemukan catatan sejarahnya dan sumber-sumbernya. Sehingga, jika ada klaim munculnya doa awal dan akhir tahun yang dinisbahkan bersumber dari Rasulullah SAW tidaklah masuk akal. Meski kandungan doa itu sendiri tidaklah buruk. Dan mengamalkannya pun cukup disebut sebagai “fadhilah ‘amaliyah“, dan tidaklah disebut sebagai merusak aqidah agama.
Sikap yang perlu diambil secara bijak dan hikmah yang perlu kita pegang dengan erat adalah nilai-nilai spirit dari momentum yang terjadi saat pergantian tahun Hijriyah. Hijrah Rasulullah SAW beserta para Sahabat RA adalah moment kebangkitan, bahkan bisa dikatakan sebagai aksi revolusioner dalam membangun perlawanan terhadap tirani jumud dan ketidakadilan sosial yang dibangun oleh Abu Lahab, Abu Jahal, dkk.
Tuntunan Do’a
Meskipun ada beberapa catatan kerancuan tentang do’a yang diklaim oleh beberapa pihak dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, di sini ada sebuah doa yang berasal dari salah seorang Sahabat Nabi SAW. Jika yang dimaksud dalam doa awal dan akhir tahun berasal dari hadits barangkali hadits yang dimaksud itu berasal dari Sahabat. Sebab seorang sahabat Nabi SAW ketika mengeluarkan perkataan hikmah juga disebut sebagai hadits.
Seperti hadits yang diucapkan oleh Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam radhiyãllahu ‘anhu, ia berkata,
كَانَ أَصحَابُ رَسُولِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَتَعَلَّمُوْنَ هَذَا الدُّعَآءَ كَمَا يَتَعَلَّمُوْنَ الْقُرْآنَ إِذَا دَخَلَ الشَّهْرُ أَوِ السَّنَةُ:
“Sahabat Nabi shallallãhu ‘alaihi wa sallam mengajarkan doa sebagaimana mengajarkan Al-Qur’an di mana doa ini dibaca saat memasuki awal bulan atau tahun:
اللّٰهُمَّ أَدْخِلْهُ عَلَيْنَا بِالْأَمْنِ وَالْإِيْمَانِ، وَالسَّلَامَةِ وَالإِسْلَامِ، وَجِوَارٍ مِنَ الشَّيطَانِ، وَرِضْوَانٍ مِنَ الرَّحْمٰنِ ۞
Allãhumma adkhil-hu ‘alainã bil-amni wal-îmãn, was-salãmati wal-islãm, wa jiwãrim minasy-syaithãn, wa ridhwãnim minar-rahmãn
“Ya Allah, masukkanlah kami pada bulan ini dengan rasa aman, keimanan, keselamatan, dan Islam, juga lindungilah kami dari gangguan setan, dan meraih ridha Allah (Ar-Rahman)”.
(HR. Al-Baghawi dalam Mu’jam Ash-Shahabah, sanadnya sahih. Imam Ibnu Hajar mensahihkan hadits ini dalam Al-Ishabah, 6:407-408. Hadits ini mawquf termasuk perkataan sahabat sesuai syarat kitab shahih).
Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, “Doa ini ada riwayatnya. Seorang muslim sangat bagus sekali mengamalkan doa ini ketika masuk awal bulan (terlihat hilal).” (Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 322345)
Sedangkan bagi yang melihat hilal (awal bulan) hendaklah membaca:
اللّٰهُمَّ أَهْلِلْهُ عَلَيْنَا بِالْيُمْنِ وَالْإِيْمَانِ، وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ، رَبِّى وَرَبُّكَ اللّٰهُ ۞
Allãhumma ahlil-hu ‘alainã bil-yumni wal-îmãn, was-salãmati wal-islãm, rabbî wa rabbukallãh
“Ya Allah, tampakkanlah bulan itu kepada kami dengan membawa keberkahan dan keimanan, keselamatan dan Islam. Rabbku dan Rabbmu (wahai bulan sabit) adalah Allah”.
(HR. Ahmad, 1:162 dan Tirmidzi, no. 3451, dan Ad-Darimi. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Keistimewaan Bulan Muharram
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اِثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ ۞
”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)
Ibnu Rajab mengatakan, ”Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal. Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.”
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakrah, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ، اَلسَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ ۞
”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhar yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”
Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzul Qa’dah; (2) Dzul Hijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab. Oleh karena itu bulan Muharram termasuk bulan haram. Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut sebagai bulan haram?
Al-Qadhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna:
Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.
Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.”
Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan-bulan haram. Sufyan Ats-Tsauri mengatakan, ”Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.”
Ibnu ’Abbas mengatakan, ”Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.”
Bulan Muharram disebut juga sebagai Syahrullah (Bulan Allah). Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللّٰهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ ۞
”Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”
Bulan Muharram betul-betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah, dengan disandarkan pada lafadzh jalãlah Allah. Karena disandarkannya bulan ini pada lafadzh jalãlah Allah, inilah yang menunjukkan keagungan dan keistimewaannya.
Perkataan yang sangat bagus dari As Zamakhsyari, kami nukil dari Faidhul Qadir (2/53), beliau rahimahullah mengatakan,
”Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafadzh jalalah ’Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut, sebagaimana pula kita menyebut ’Baitullah’ (rumah Allah) atau ’Ahlullah’ (keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy. Penyandaran yang khusus di sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini menunjukkan adanya keutamaan pada bulan tersebut. Bulan Muharram inilah yang menggunakan nama Islami. Nama bulan ini sebelumnya adalah “Shafar Al-Awwal”. Bulan lainnya masih menggunakan nama Jahiliyah, sedangkan bulan inilah yang memakai nama islami dan disebut Muharram. Bulan ini adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa penuh setelah bulan Ramadhan. Adapun melakukan puasa tathawwu’ (puasa sunnah) pada sebagian bulan, maka itu masih lebih utama daripada melakukan puasa sunnah pada sebagian hari seperti pada hari ‘Arafah dan 10 Muharram. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rajab. Bulan Muharram memiliki keistimewaan demikian karena bulan ini adalah bulan pertama dalam setahun dan pembuka tahun.”
Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, ”Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?”
Beliau rahimahullãh menjawab, ”Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah (yaitu Muharram).
Dengan melihat penjelasan Az Zamakhsyari dan Abul Fadhl Al ’Iraqiy di atas, jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan istimewa.
Peristiwa Penting di Bulan Muharram
Sebagai bulan pembuka dalam kalender Hijriyah, Muharram memiliki keistimewaan bagi umat Islam. Di bulan tersebut terdapat banyak kisah dan catatan penting bagi sejarah panjang umat Islam, dari sejak Nabi Adam AS sampai zaman umat Nabi Muhammad SAW.
Sebagai penanda bulan pertama dalam penanggalan Hijriyah, Muharram memiliki berbagai makna dan peristiwa. Bulan yang berarti dilarang melakukan peperangan atau pertumpahan darah itu, nyatanya memiliki banyak riwayat dan kisah penting dari sebelum zaman Nabi Muhammad SAW.
Peristiwa pertama yang tercatat adalah bertobatnya Nabi Adam AS kepada Allah atas dosa-dosanya setelah diturunkan ke muka Bumi. Jauh setelahnya, di bulan yang sama juga disebutkan bahwa Kapal Nabi Nuh AS mampu berlabuh di Bukit Zuhdi dengan selamat.
Tak hanya itu, kisah kebalnya Nabi Ibrahim AS dari siksa raja Namrud juga terlaksana dan diabadikan pada bulan Muharram. Pada saat Nabi Ibrahim dibakar hidup-hidup, Allah memberinya mukjizat dan terbebas dari panasnya kobaran api yang membakarnya.
Masih di kisah Nabi, kali ini datang dari zaman Nabi Yusuf AS yang bebas dari penjara karena fitnah yang didapatnya. Bahkan, Nabi Yunus juga mendapat mukjizat serupa di bulan Muharram, ia berhasil keluar dari perut ikan hiu. Nabi Ayyub AS, juga mendapat kesembuhan dari penyakit yang ia derita selama bertahun-bertahun di bulan Muharram.
Lebih lanjut, kisah terkenal Nabi Musa AS yang menyelamatkan kaum Bani Israil dari kekejaman Fir’aun juga terjadi di bulan ini. Bahkan, dalam kejadian itu, sang Nabi diberi mukjizat dengan membelah laut merah untuk menyelamatkan umatnya dari kejaran Fir’aun.
Sementara di Zaman Nabi Muhammad SAW sendiri, bulan Muharram menjadi penanda penting bagi umat Muslim dan sejarah Islam. Pasalnya, pada waktu tersebut, Nabi Muhammad SAW melakukan hijrahnya dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 masehi lalu.
Terakhir dari catatan di bulan Muharram, adanya peristiwa duka, tepatnya pada 10 Muharram 61 H., yakni wafatnya salah seorang cucu kesayangan Rasulullah SAW, Sayyidina Hussein Assyahid. Peristiwa tragis dalam catatan sejarah para ash-habun al-Awwalun.
Sebuah catatan hitam yang terjadi di Karbala saat itu telah menyentak kesadaran umat Islam pasca Rasulullah SAW. Sayyidina Hussein yang syahid telah menjadi martir atas berkobarnya perlawanan terhadap tirani kekuasaan. Hanya karena cucu Rasulullah SAW tersebut telah menolak untuk membai’at kepemimpinan Yazid bin Mu’awiyah. Semoga saja peristiwa seperti ini tak terulang lagi di masa yang akan datang.
Saudaraku yang budiman, demikian beberapa Catatan Awal Tahun 1444 Hijriyah. Semoga Allah SWT memberikan rahmat, berkat dan selamat serta taufiq kepada kita, agar lurus hati dan pikiran kita sehingga hanya tertuju kepada-Nya, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb
Referensi: Dari berbagai Sumber Bacaan