Pada tahun 1987 diselenggarakan sebuah lokakarya di pegunungan Cameron, Malaysia dengan tema “perdamaian dan tranformasi global”. Program tersebut mempertemukan para cendikiawan yang menaruh perhatian pada suku-suku asli di Asia Tenggara dan aneka ragam bentuk perjuangan mereka untuk perdamaian dan pembangunan diri.
Lokakarya tersebut sebagai bagian dari riset dan program UNU (United Nations University) dalam rangka menyoroti enam tema global yang menantang dan memiliki konsekwensi-konsekwensi lokal, regional, dan internasional, yakni :
- Krisis ekonomi
- Proses militerisasi
- Krisis Negara
- Penyangkalan terhadap hak-hak manusia dan identitas kultural
- Konflik atas sumberdaya alam, serta
- Masalah sains dan teknologi yang lepas kendali.
Lokakarya ini merupakan bentuk kepedulian terhadap “perdamaian dan transformasi global” yang berada dalam keadaan kritis akibat pertumbuhan industri secara ekstrem. Perdamaian dan tranformasi global itu berada dalam ancaman karena kehidupan sosio-kultural sebagai identitas bangsa dan sumber peradaban yang menyeimbangkan laju industrialisasi semakin terpinggirkan dan terancam “punah”.
Ternyata para praktisi dan pengamat budaya sudah puluhan tahun melakukan sebuah riset munculnya dampak negatif industrialisasi terhadap kehidupan budaya lokal yang menjaga dan mempertahankan nilai-nilai luhur. Nilai-nilai itulah yang menciptakan daya hidup bangsa sebagai wujud dari ketahanan nasional. Ketika nilai-nilai itu punah, maka bangsa ini sungguh telah kehilangan daya untuk tetap hidup sebagai bangsa. kecuali kita ingin hidup seperti “anai-anai” yang tidak lagi punya arah dan visi yang jelas.
Cobalah kita telaah sedikit lebih serius, bahwa ternyata budaya bangsa ini berada dalam kondisi “waspada 1”. Seluruh kekayaan bangsa warisan nenek moyang di berbagai pelosok negeri ini hampir mengalami kepunahan. Masuknya industry secara besar-besaran di era orde baru sebagai konsekwensi logis dari tranformasi global mengakibatkan semakin lunturnya budaya lokal yang hidup dalam masyarakat. Lokakarya di Malaysia tersebut menjelaskan sebuah fakta bahwa kecenderungan manusia masa kini telah mengabaikan identitas kebangsaannya demi sebuah perubahan global.
Tak banyak yang bisa kita perbuat, mengingat industrialisasi merupakan program yang, mau tak mau, harus dilaksanakan sebagai bentuk pembangunan bangsa yang berkesinambungan. Namun demikian, sepatutnyalah bahwa amanah syair lagu Indonesia raya, “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya” harus menjadi spirit pembangunan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Bahwa strategi membangun dengan lebih dulu membangun jiwa merupakan program awal yang sangat penting agar pembangunan fisik materil tidak lari dari nilai-nilai kemanusiaan yang dipertahankan dalam tradisi yang hidup di dalam masyarakat. Bukan semata-mata seperti mengejar target pembangunan fisik dengan parameter angka-angka.
Proses penyebaran industry secara besar-besaran yang menarik sejumlah investor asing diiringi dengan masuknya berbagai macam tren gaya hidup baru metropolis menjadikan munculnya penjajahan gaya baru (neo-kolonialisme, imperialisme dan liberalisme) dengan sasaran penjajahan terakhirnya adalah budaya. Fakta munculnya bahaya laten yang mengancam basis akhir kekuatan bangsa. Bukan soal pandangan konservatif yang seolah negatif terhadap pembangunan secara materil, namun mengantisipasi bahaya hancurnya “benteng pertahanan” itu yang mesti diprioritaskan. Bukan pula sebuah penolakan terhadap keharusan penetrasi budaya asing yang memunculkan “perdamaian”. Lebih besar dari itu, bahwa kecenderungan industrialisasi justru bukanlah memunculkan suatu penetrasi budaya. Tapi mentalitas materialistis justru telah menjadi pendorong yang memotivasi laju pembangunan.
Masyarakat lokal yang memiliki tradisi mengakar menjadi identitas bangsa yang memberikan keseimbangan terhadap laju pembangunan. Akar budaya yang berbasis agama merupakan ajaran yang mesti dipertahankan. Tatanan sosial masyarakat tradisional yang memiliki karakteristik dalam merubah lingkungan sosialnya merupakan bentuk ketahanan bangsa yang tidak boleh hilang. Jika hilang, maka konflik baru akan muncul dan mengancam disintegrasi bangsa. Mengapa? Karena satu-satunya kekuatan untuk melawan laju kapitalisme global adalah norma social dan nilai-nilai etis yang dipegang teguh sebagai sesuatu yang “ada” dan menjadi benteng untuk pembangunan jiwa. Tanpa jiwa, masyarakat bangsa ini akan menjadi pragmatis yang hidup tanpa nilai, persis seperti robot. Syahdan, perbudakan dan eksploitasi manusia sebagai corak penjajahan klasik akan muncul dengan gaya baru. Suatu hal yang perlu disadari oleh seluruh masyarakat bangsa ini.
Bung Karno, ketika pidato dalam rangka merebut Irian Barat, mengatakan:
“…..Kita tuangken satu masyarakat tanpa explotation de l’homme par l’homme, satu masyarakat yang tiap-tiap manusia Indonesia merasa bahagia, satu masyarakat yang tiada seorang ibu menangis oleh karena tidak bisa memberi susu kepada anaknya, satu masyarakat yang tiap-tiap orang menjadi cerdas, satu masyarakat yang benar-benar membuat bangsa Indonesia ini menjadi satu bangsa yang terdiri dari pada ratusan juta Insan Al-Kamil yang hidup dengan bahagia di bawah kolong langit buatan Allah Subhanahu Wata a’la”.
Bahwa kehidupan tanpa nilai adalah sebuah kekeringan yang dapat menyebabkan munculnya penyakit-penyakit sosial. Kemiskinan yang melanda bangsa ini adalah kemiskinan terstruktur, bukan semata-mata kehabisan sumber daya. Tingginya angka kriminalitas justru diakibatkan adanya pelemahan secara mental dan kesenjangan sosial yang dimunculkan oleh industrialisasi di segala bidang. Bahkan agama sebagai embrio budaya juga mengalami industrialisasi dan kapitalisasi. Ketika embrio kemunculan budaya saja dikapitalisasi, maka resistensi masyarakat dalam menekan ekses industrialisasi melalui budaya juga akan melemah. Walhasil, ketahanan rakyat jelata sebagai basis terakhir ketahanan nasional akan memunculkan rentanitas disintegrasi bangsa.
Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam menyikapi laju pembangunan nasional sebagai iringan dari adanya tranformasi global dewasa ini:
Pertama, membangun karakter ke-indonesia-an (Indonesian character building). Sebagai basis ketahanan nasional, karakter ke-indonesia-an bukan sekedar set-back terhadap sejarah bangsa di masa lampau dan asyik bernostalgia dengan kenangan di zaman kerajaan. Tapi lebih dari itu, potensi kekayaan sejarah budaya bangsa perlu dibangkitkan dan dikembangkan kembali sebagai titik tolak untuk memahami dari mana bangsa ini berasal dan bagaimana sumbangsihnya terhadap peradaban dunia dan kemanusiaan.
Manusia Indonesia seutuhnya adalah cita-cita yang tertulis di dalam program penghayatan Pancasila sebagai dasar Negara. Bagaimana peran dan posisi anutan agama sebagai bagian dari tumpuan pembentukan bangsa beradab sudah sering menjadi bahasan dan kajian yang mesti dimanifestasikan dan ditata kembali. Bahasan dan kajian itu kita anggap sudah selesai. Bahwa amanah Pancasila selama ini justru telah diabaikan dengan adanya upaya-upaya untuk peninjauan kembali sebagai dasar Negara dengan alasan benturan terhadap ideology agama. Pementahan ini adalah sebuah kemunduran.
Pancasila bagi kita adalah sebuah konsensus nasional yang dilatarbelakangi oleh kesadaran beragama yang beraneka macam untuk secara bersama-sama membangun sebuah bangsa beradab. Nilai-nilai dasar dalam Pancasila adalah karakter bangsa Indonesia yang beragama dan berbudaya. Hal ini menjadi salah satu pijakan untuk menghadapi transformasi global yang tak bisa ditawar-tawar itu.
Membangun karakter ke-indonesia-an adalah berarti kembali kepada khitthah kebangsaan yang ditanamkan oleh para leluhur dan pendiri bangsa ini. Inilah identitas bangsa yang berpotensi sebagai senjata dalam rangka menguatkan ketahanan nasional. Tanpa identitas, bangsa ini menjadi bangsa yang buta dan tak mengenal jati dirinya.
Kedua, membangun kemandirian bangsa. Sumber daya Indonesia yang begitu besar sangat potensial untuk membangun kemandirian. Kekayaan alam yang berlimpah ruah dan sumber daya manusia yang tidak kalah berkwalitasnya dengan bangsa-bangsa di dunia sudah cukup menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang mandiri. Bukan semata-mata bangsa yang hanya menempati posisi sebagai konsumen dan obyek pasar perdagangan dunia.
Pertumbuhan masyarakat dari sektor pendidikan cukup signifikan untuk membuat sebuah produk dari perusahaan berkelas internasional menjadi besar. Berapa banyak perusahaan asing menjadi besar dari potensi pasar Indonesia. Namun bangsa kita yang memang sudah cukup lama dijajah, justru malah kembali dijajah dengan hanya menjadi pion-pion dari rangkaian proses produksi yang bernilai nominal sangat rendah tapi harga produknya tinggi. Kebijakan nasional belum sepenuhnya menunjukkan keberpihakan pada kemandirian bangsa. Arah dan visi bangsa ini justru masih menjadi konsumen sejati. Walhasil, penghargaan terhadap karya-karya kreatif anak bangsa tak kan pernah diberikan tempat sebagai inovasi produktif untuk mendorong bangsa ini sebagai bangsa produsen. Ternyata neo-kolonialisme dan imperialisme sudah menjadi spirit pembangunan ekonomi bangsa ini hanya untuk memenuhi dalih globalisasi.
Karena itu, tak ada lagi cara lain kecuali kemandirian bangsa ini harus didorong sehingga kerja keras dan kreatifitas para anak bangsa tidak terbuang sia-sia. Bangsa Indonesia bukanlah bangsa pemalas dan bodoh sebagaimana dipropagandakan. Tak ada lagi alasan untuk merendahkan bangsa ini dengan membuat propaganda murahan dengan mengenyampingkan kemampuan para anak bangsa. Sudah saatnya, bahwa kemandirian bangsa ini begitu sangat mendesak dan perlu direalisasikan secepatnya, meski dengan cara bertahap.
Ketiga, membangun kerangka kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Bagaimanapun, laju transformasi global adalah fakta yang tidak bisa dikesampingkan atau diapresiasi begitu saja tanpa adanya kesiapan-kesiapan system yang mumpuni. Namun demikian, system yang mumpuni tak kan bisa diwujudkan tanpa kesadaran berbangsa yang bermartabat. Sia-sia saja berbicara panjang lebar, jika pada akhirnya para pemegang kekuasaan tidak memiliki national character building dalam mengeluarkan berbagai macam kebijakan. Kunci utama justru berada pada regulasi yang mapan sebagai system.
Janganlah menjual bangsa ini hanya untuk memenuhi selera nafsu individualistis. Tak kan pernah bisa maju bangsa ini jika dalam menentukan kebijakan selalu saja diukur dengan parameter transformasi global dengan segala atribut kapitalismenya. Mengapa begitu? Karena setiap kebijakan itu selalu saja ada “harga” dengan jumlah nominalnya. Fenomena seperti inilah yang menghambat laju kemandirian dan kemerdekaan bangsa.
Sudah saatnya kita kembali kepada khittah kebangsaan untuk dijadikan spirit dengan memulainya membangun jiwa sebagaimana sudah diajarkan di setiap agama. Barulah setelah itu, budaya bangsa akan muncul sebagai kekuatan nyata. Mengapa? Karena budaya adalah basis pertahanan terakhir. Hancurnya budaya adalah sebuah pertanda bahwa ketahanan nasional sungguh berada pada ambang kehancuran. Mari kita sadari itu. Wallahu muwaffiq ilaa sabiilittaufiq.
alHajj Ahmad Baihaqi