“Sebuah pencerapan makna Bashîrah yang dikemukakan oleh Guru kami, Syaikh Ahmad ibn ‘Athaillah Assakandary dalam al-Hikamnya”.
Oleh: Ahmad Baihaqi*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku yang dirahmati Allah SWT. Pada artikel kemarin berjudul “Makna Bashirah dan Tingkatannya” telah dipaparkan bagaimana bashîrah itu merupakan “meeting point” antara hamba dengan Tuhan. Lho, kok bisa menyimpulkan begitu?
Begini saudaraku, jika sifat Allah “al-Bashîr” (Maha Melihat) dihubungkan dengan sifat “al-Wujûd“, maka semua penglihatan selain dari Allah itu adalah nisbiy (bergantung pada manshûb -Allah). Artinya, hanya Allah-lah yang melihat segala sesuatu. Karena itu, penglihatan manusia dengan panca inderanya mutlak menjadi tiada.
Ketiadaan penglihatan manusia lebih disebabkan oleh sifatnya yang berkebalikan dari sifat Wujud Allah, yakni ‘adam (tiada). Sifat ‘adam (tiada) bagi selain Allah menyebabkan seluruh fungsi-fungsi di dalam diri manusia menjadi tiada. So, ketika dikatakan manusia bisa melihat, itu sebenarnya Allah-lah yang melihat. Itu sebuah kesimpulan yang seringkali terobyektifikasi sehingga membuat kebenaran ini seringkali hanya menjadi teori yang justru “mengeliminir” Tuhan. Lho, bagaimana itu bisa terjadi?
Tuhan “tereliminir” oleh ketiadaan kesadaran manusia akan dirinya yang nisbi, alias tiada. So, pandangan manusia yang tidak sadar akan menjadikan manusia tidak eling akan petunjuk Tuhan. Manusia yang tidak menyadari penglihatannya adalah manusia yang ‘kehilangan’ Tuhan. Mirip seperti ikan di dalam air yang mencari-cari air.
Manusia yang tidak menyadari penglihatannya juga bermakna bahwa sifat-sifat dirinya yang berkebalikan dengan sifat Tuhan sama sekali tidak tercerap oleh hatinya. Padahal semua keberadaan atribut manusia (panca indera dan anggota tubuh lainnya) termasuk keberadaan dirinya sendiri telah gugur (alias tiada) cukup hanya dengan memahami sifat Wujud Tuhan.
Bashîrah adalah “meeting point” antara penglihatan lahiriyah manusia (an-nadzhar) dengan penglihatan Tuhan (al-Bashar). Ketika manusia menyadari sumber dari penglihatan lahiriyahnya (an-nadzhar), maka yang melihat itu sebenarnya adalah Bashar (Penglihatan) Tuhan. Manusia diberikan kesadaran ini hingga merasakan akan Wujud Tuhan Yang Maha Melihat (al-Bashîr) melalui “stasiun” yang disebut dengan “al-Bashîrah” (penglihatan bathin). Hanya saja, Tuhan Yang Maha Melihat itu men-down grade Penglihatan-Nya hingga menjadi penglihatan manusia, dan disebut dengan indera penglihatan. Padahal sebenarnya manusia tidak punya penglihatan. Jangankan penglihatan, wong hidup dan wujud saja tidak punya.
Nah, dalam memanfaatkan fungsi penglihatannya, manusia dipandu oleh akal. Namun seringkali akal pada manusia kebanyakan (‘awwãm) hanya memandu dan menjalankan mekanika obyek yang dilihat, bukan menggiring pada mekanika terjadinya proses penglihatan itu; bagaimana kejadiannya, dari mana sumbernya, siapa yang melihat, dst. Meskipun beberapa manusia khusus (khawwãsh) diberikan kesadaran yang melebihi pandangan manusia umum.
Jadi, jangankan masuk ke dalam tingkatan-tingkatan bashîrah, wong penglihatannya saja masih terpaku dan mengandalkan pada mekanika nadzhar (penglihatan lahiriyah). Seperti dikemukakan dalam artikel kemarin bahwa tingkatan pada bashîrah itu terdiri dari; Syu’ãul bashîrah, ‘Ainul bashîrah dan Haqqul bashîrah. Ketiganya mempersyaratkan terlebih dahulu adanya kesadaran penglihatan lahiriyah yang menembus kepada penglihatan bathiniyah yang disebut bashîrah.
Perhatikan firman Allah SWT dalam Hadits Qudsiy riwayat Abu Hurairah di bawah ini:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللّٰهَ قَالَ « مَنْ عَادَى لِيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا اِفْتَرَضَتْ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِيْ لَأَعْطَيْنَهُ، وَلَئِنْ اِسْتَعَاذَنِيْ لَأُعِيْذَنَّهُ ۞ » ( رواه البخاري ).
“Rasulullah SAW bersabda; “Allah SWT berfirman: “Barangsiapa memusuhi wali-Ku maka telah Aku nyatakan perang kepadanya. Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku senangi daripada melaksanakan apa yang Aku fardhukan atasnya. Dan, tidak pula hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan amalan-amalan sunnah, sehingga Aku mencintainya. Dan, bila Aku mencintainya, menjadilah Aku telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, matanya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang dengannya ia memegang, dan kakinya yang dengannya ia berjalan. Apabila ia bermohon kepada-Ku maka pasti Ku kabulkan permohonannya, apabila ia meminta perlindungan-Ku maka pasti ia Ku lindungi”. (HR. Bukari).
Dengan demikian, bagaimana caranya agar mata seseorang bisa digunakan Tuhan untuk penglihatan-Nya, telinga untuk pendengaran-Nya, tangan untuk genggaman-Nya, dan kaki untuk jalan-Nya? Jawabannya, menjadikan diri sebagai sosok yang dicintai-Nya. Lalu bagaimana agar dicintai oleh-Nya? Jawabannya, mendekati-Nya dengan cara menjalankan segala yang difardhukan oleh-Nya beserta amalan-amalan sunnah. Begitulah Rasulullah SAW menjabarkan sebuah kabar penting dari Allah SWT secara langsung melalui Hadits Qudsiy-nya.
So, janganlah sekedar terpaku pada obyek yang dilihat, tapi sadarilah pada siapa yang menjadikan kita bisa melihat. Kesadaran inilah yang menetapkan sebuah statemen bahwa “aku tidak melihat segala sesuatu kecuali Tuhan”. Statemen itu paralel dengan ungkapan yang diajarkan Tuhan bagi manusia yang disebut dengan syahadah “Asyhadu allã ilãha illã Allãh” (aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah). Paralel juga dengan ungkapan Imam Ali Karramallãhu wajhahu yang berbunyi “ra’aitu rabbî birabbî” (aku telah melihat Tuhanku dengan Tuhanku).
Dengan demikian, dapat dikatakan dengan pasti bahwa bashîrah adalah sebuah kemanunggalan antara Tuhan dengan makhluq-Nya. Keadaan ini tak akan mungkin terjadi bagi mereka yang mengklaim wujud. Padahal merasa wujud itu adalah sebuah dinding penghalang bagi manusia untuk bisa melihat Sang Pemilik Wujud Mutlak, yakni Allah SWT. Bukan Allah yang menghalangi pandangan hamba-Nya, tapi si hamba sendirilah yang selalu menggunakan nafsu sehingga penglihatannya hanyalah sebuah penglihatan yang kasar, bukan penglihatan yang halus (bashirah).
Saudaraku yang dikasihi Allah, bashîrah yang diberikan Tuhan untuk makhluq-Nya adalah sebuah anugerah yang seringkali dianggap tidak penting bagi kebanyakan manusia seperti kita. Seyogyanya kita mohon ampunan-Nya agar diperkenankan untuk bisa menyaksikan-Nya, dengan-Nya dan oleh-Nya.
Betapa mata ini seringkali terhalang oleh kotoran hawa nafsu, sehingga cara pandang kita kepada Tuhan menjadi rumit, sulit dan pahit. Padahal Allah SWT telah menjadikan Wujud-Nya mudah untuk dipahami, disaksikan dan dimengerti oleh hamba-Nya.
Bagaimana bisa, mata yang dengannya Allah dapat jadikan sebagai penglihatan-Nya, telinga yang dengannya Allah dapat jadikan sebagai pendengaran-Nya, tapi kita seringkali tidak menyadarinya, bahkan buta. Padahal Allah SWT sudah memberikan sinyalemen melalui firman-Nya:
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ ۞
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”. (QS. Al-Hajj [22]: 46)
Kuncinya adalah pahami diri sendiri, kendalikan hawa nafsu, dan isi akal kita dengan sesering mungkin melihat keberadaan-Nya lewat ayat-ayat-Nya baik qauliyyah maupun kauniyyah. Semoga saja menjadi mudah bagi kita semua, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
اَللّٰهُمَّ إنِّيْ أَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِيْ إلَى حُبِّكَ
“Wahai Allah, sungguh aku mohonkan cinta-Mu, dan cinta orang yang mencintai-Mu, dan cinta terhadap amal yang mendekatkanku kepada cinta-Mu”.
Ãmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
_________
* Murid terbodoh dari Mama H. Derajat