Home / Agama / Kajian / Banyaknya Permohonan Kita Kepada Allah Menentukan Maqamat Diri Kita Di HadapanNya

Banyaknya Permohonan Kita Kepada Allah Menentukan Maqamat Diri Kita Di HadapanNya

“Orang-orang ‘arif memisahkan antara tujuan dan keuntungan diri dalam permintaan mereka”.

Oleh: H. Derajat*

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.

Saudaraku yang sangat aku kasihi, yang setiap saat aku doakan untuk kebaikanmu, dalam Hikmah ke-90 Kitab Al-Hikam yang dikarang oleh Mursyid kami, Syekh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari dikatakan bahwa permohonan seorang yang telah bermakrifat kepada Allah hanyalah 2 hal saja:

مَطْلَبُ الْعَارِفِيْنَ مِنَ اللّٰهِ تَعَالَى الصِّدْقُ فِي الْعُبُوْدِيَّةِ وَالْقِيَامُ بِحُقُوْقِ الرُّبُوْبِيَّةِ

“Permintaan orang yang sudah makrifat kepada Allah, hanya semoga dapat bersungguh-sungguh dalam menghamba dan tetap dalam menunaikan hak-hak kewajiban terhadap Allah.”

Hal ini dijelaskan secara singkat oleh Syekh Muhammad Fathurahman dalam pengajiannya sebagai berikut:

Yang dinamakan ash-Shidqul ‘Ubûdiyyah yaitu: menetapi tatakramanya menghamba kepada Allah (‘ubûdiyyah), seperti mencukupi hak-haknya Allah dalam beribadah, mensyukuri pemberian Allah, sabar menghadapi bala’, menyerahkan semua urusannya kepada Allah, selalu Murãqabah (meniti taqdir Allah, yang terjadi atas dirinya dan lainnya), memperlihatkan fakirnya kepada Allah dan selalu mengharap rahmatnya Allah dan lain-lain.

Hikmah ke-90 ini menjelaskan seorang ‘arif itu tidak mempunyai permintaan kepada Allah, kecuali dua perkara:

1. Ash-Shidqul ‘Ubûdiyyah,
2. Al-Qiyãmu bi Huqûqir Rubûbiyyah

Tanpa melihat kepentingan dirinya dan nafsunya. Berbeda dengan orang yang belum ‘Arif billah, yang belum bisa meninggalkan kepentingan diri dan nafsunya.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Yang diminta oleh orang ’arif ini lebih tinggi daripada yang diminta oleh orang selainnya, baik itu oleh ahli ibadah, zahid, maupun ‘alim. Hal itu dikarenakan, yang diminta oleh orang ‘arif hanyalah bagaimana bisa tulus dalam beribadah dan menghambakan diri, yakni dengan memperhatikan etika penghambaan, berakhlak dengan akhlak hamba, dan melaksanakan hak-hak Allah.

Hak-hak Allah itu adalah bersyukur atas karunia-Nya, bersabar atas musibah-Nya, memusuhi orang yang memusuhi-Nya, menjadikan penolong orang yang menolong-Nya, bertawakkal kepada-Nya, merasa diawasi-Nya (murãqabah), berdiri di hadapan pintu-Nya sambil mengenakan pakaian tawãdhu’ dan kerendahan, mengulurkan tangan kepada yang butuh, memegang tali harapan kepada-Nya, mengenakan serban ketakutan di hadapan-Nya, serta sifat-sifat dan akhlak ‘ubudiyah lainnya.

Siapa yang tulus dalam mengerjakan itu semua berarti ia telah menunaikan segala kewajiban yang dibebankan Allah kepadanya. Contoh memenuhi hak-hak Tuhan secara lahir adalah dengan taat secara lahir, murãqabah secara batin, dan selalu merasakan kehadiran-Nya dalam dirinya.

Hikmah di atas menjelaskan bahwa seorang ‘arif hanya meminta dua perkara, tanpa memperhatikan keuntungan diri. Artinya, orang-orang ‘arif memisahkan antara tujuan dan keuntungan diri dalam permintaan mereka. Sementara itu, yang lain tidak pernah memisahkan antara keuntungan dengan tujuan. Oleh sebab itu, permintaan seorang ‘arif lebih tinggi daripada permintaan selainnya.

Syaikh Abu Madyan berkata, ”Ada perbedaan antara orang yang tekadnya bidadari dan istana surga dengan orang yang keinginannya tersingkap hijab dan hadir bersama Allah.” Wallãhu a’lam.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah yang disebut ‘ãrifîn yang kãmil itu mereka yang selalu menggenggam tasbih, menggelar sajadah, atau membenahi letak sorban? Apakah mereka hidup soliter menyepi? Semua itu mungkin saja, bukan pasti. Tetapi yang pasti mereka tetap bergaul dengan manusia lain. Mereka tetap manusiawi. Mereka bisa jadi buruh tani, pekerja kasar, guru, buruh pabrik, kuli angkut di pasar, pegawai rendahan, penunggu kafe, penunggu lahan parkir liar, atau guru agama di sekitar kita. Semua itu sangat mungkin sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Said Ramadhan Al-Buthi berikut ini.

اَلْعَارِفُ مَنْ بَلَغَ مِنْ تَوْحِيْدِهِ لِلّٰهِ، وَثِقَتُهُ بِاللّٰهِ، وَتَوَكُّلُهُ عَلَى اللّٰهِ، وَتَفْوِيْضُهُ إِلَى اللّٰهِ دَرَجَةً تُفْنِى فِيْهَا إِرَادَتُهُ فِيْمَا يُرِيْدُهُ اللّٰهُ، وَتَنْطَوِى فِيْهَا الْأَسْبَابَ تَحْتَ سُلْطَانِ اللّٰهِ وَتَذُوْبُ فِيْهَا الْمَشْهُوْدَاتِ فِي وَهْجٍ مِنْ شُهُوْدِ اللّٰهِ. وَلَيْسَ مَعْنَى ذَلِكَ مَا قَدْ تَتَوَهَّمَهُ مِنْ أَنَّهُ يَنْقَطِعُ عِنْدَ ئِذٍ عَنِ التَّعَامُلِ بِالدُّنْيَا وَتَنْبُتُ عَلَاقَتُهُ بِالْآخَرِيْنَ: بَلْ يَتَعَامَلُ مَعَهَا وَمَعَهُمْ كَسَائِرِ النَّاسِ، وَتَظِلُ عَلَاقَتُهُ بِهِمْ كَمَا كَانَتْ، وَلَكِنَّهُ إِذْ يَتَعَامَلُ مَعَ الدُّنْيَا وَأَسْبَابِهَا لَا يَرَى نَفْسَهُ إِلَّا مَعَ اللّٰهِ، وَهُوَ إِذْ يُمَارِس شُؤُوْنَهُ مَعَ النَّاسِ وَيَنْشُطُ مَعَهُمْ فِى قَضَايَاهُمُ الْاِجْتِمَاعِيَّةِ وَغَيْرِهَا، لَا يَعْلَمُ مِنْ حَالِهِ إِلَّا أَنَّهُ يَتَعَامَلُ مَعَ اللّٰهِ، فَهُوَ كَمَا قَالُوْا: عَرْشِيٌّ وَفَرْشِيٌّ بِآنٍ وَاحِدٍ، عَرْشِيٌّ مَعَ اللّٰهِ فِي مَشَاعِرِهِ وَبَاطِنِ حَالِهِ، وَفَرْشِيٌّ مَعَ النَّاسِ فِي تَصَرُّفَاتِهِ وَظَاهِرِ حَالِهِ، وَيَعْبُرُ عَنْ هَذَا كُلَّهُ خَيْرُ تَعْبِيْرٍ مَا هُوَ مَأْثُوْرٌ مِنْ قَوْلِ أَبِيْ بَكْرٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ، عَنْ نَفْسِهِ: مَا رَأَيْتُ شَيْئًا إِلَّا وَرَأَيْتُ اللّٰهِ مَعَهُ وَقَبْلَهُ وَبَعْدَهُ، كَمَا يَعْبُرُ عَنْهُ قَوْلَ الْإِمَامِ فَخْرُ الدِّيْن الرَّازِي رَحِمَهُ اللّٰهُ: كُنْ ظَاهِرًا مَعَ الْخَلْقِ، بَاطِنًا مَعَ الْحَقِّ، وَهِيَ أَعْلَى دَرَجَاتِ السُّلُوْكِ إِلَى اللّٰهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ .

“Al-Arif billah adalah orang yang dengan tauhid, kepercayaan, tawakal, dan kepasarahannya kepada Allah mencapai derajat di mana kehendak-kehendaknya fana dalam kehendak/iradah-Nya, sebab-sebab atau alasan lenyap di bawah kuasa-Nya, dan semua yang tampak meleleh pada cahaya terang penyaksian-Nya. Tetapi pengertiannya tidak seperti yang kita sangka selama ini di mana al-arif billah terputus dari dunia, lalu menjalin dengan alam lain. Al-arif billah tetap berhubungan dengan dunia berinteraksi makhluk-Nya sebagaimana manusia lainnya. Ia tetap berhubungan dengan mereka seperti sebelumnya. Tetapi ketika berinteraksi dengan dunia dan sebab-sebab duniawi, ia tak melihat dirinya selain bersama dengan Allah. Ketika menangani masalahnya dengan orang lain dan beraktivitas di tengah publik dalam soal kemasyarakatan dan masalah lainnya, ia hanya menyadari bahwa ia berinteraksi bersama Allah. Al-arif billah itu seperti yang dikatakan para sufi, ‘Arasy dan bumiku ada pada satu waktu. Arasyku bersama Allah dalam perasaan dan batin. Tetapi bumiku bersama manusia dalam muamalah dan lahiriyah.’ Hal ini diungkapkan sangat baik oleh atsar dari Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq perihal dirinya sendiri, ‘Tiada sesuatu yang kulihat selain kulihat Allah bersamanya, sebelum, dan sesudahnya.’ Kondisi ini juga diungkapkan oleh Imam Fakhruddin Ar-Razi, ‘Hendaklah kamu bersama mereka secara lahiriyah, tetapi batinmu bersama Allah.’ Inilah maqam suluk tertinggi kepada Allah setelah maqam kenabian,” (Lihat M Said Ramadhan Al-Buthi, Al-Hikam Al-Athaiyyah, Syarhun wa Tahlilun, Beirut, Darul Fikr Al-Muashir, cetak ulang 2003 M/1424 H, juz II, halaman 471-472).

Kututup risalah ini dengan doa Nabi Khidir as:

بِسْمِ اللّٰهِ مَا شَآءَ اللّٰهُ لَا يَسُوْقُ الْخَيْرَ إِلَّا اللّٰهُ، بِسْمِ اللّٰهِ مَا شَآءَ اللّٰهُ لَا يُصْرِفُ السُّوْءَ إِلَّا اللّٰهُ، بِسْمِ اللّٰهِ مَا شَآءَ اللّٰهُ مَا كَانَ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ، بِسْمِ اللّٰهِ مَا شَآءَ اللّٰهُ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللّٰهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ

Bismillãhi mã syã-allãhu lã yasûqul khaira illallãh, bismillãhi mã syã-allãhu lã yushrifus sû-a illallãh, bismillãhi mã syã-allãhu mã kãna min ni’matin fa minallãh, bismillãhi mã syã-allãhu lã hawla walã quwwata illã billãhil ‘aliyyil ‘adzîm.

“Dengan nama Allah yang segala sesuatu terjadi dengan kehendak- Nya, tidak ada yang mendatangkan kebaikan kecuali Allah. Dengan nama Allah yang segala sesuatu terjadi dengan kehendak- Nya, tidak ada yang menyingkirkan keburukan kecuali Allah. Dengan nama Allah yang segala sesuatu terjadi dengan kehendak- Nya, tidak ada kenikmatan melainkan dari Allah. Dengan nama Allah yang segala sesuatu terjadi dengan kehendak- Nya, tiada daya untuk berbuat kebaikan kecuali dengan pertolongan Allah. Dan tiada kekuatan untuk menghindari dari perbuatan maksiat kecuali dengan perlindungan Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung.”

___________

* Ketua Pasulukan Loka Gandasasmita

 

About admin

Check Also

Menakar Ulang Sya’ban sebagai Bulan Turunnya Ayat Shalawat

“Ayat shalawat, dimana terdapat perintah bershalawat kepada Nabi SAW (QS. Al-Ahzab [33]: 56), apakah turun ...