“Terkadang ibadah membuat kita menjadi sombong, atau kita merasa diri sangat dekat dengan Allah. Sungguh sangat kontradiktif, seringkali banyaknya ibadah membuat kita terlena, merasa diri sangat sempurna dalam keilmuan dan merasa seperti manusia yang sudah memastikan Ahli Surga”
Oleh: H. Derajat*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Sahabatku, wahai orang-orang yang mencari keridhoan Allah. Aku mulai risalah ini dengan sebuah hadits dari seorang yang mulia Rasulullah SAW:
حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ عَنْ أَبِي عَمَّارٍ اسْمُهُ شَدَّادُ بْنُ عَبْدِ اللّٰهِ عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا، وَقَالَ : اَللّٰهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ، قَالَ الْوَلِيدُ فَقُلْتُ لِلْأَوْزَاعِيِّ كَيْفَ الْاِسْتِغْفَارُ؟ قَالَ، تَقُوْلُ أَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ، أَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ (رواه المسلم)
Telah berbicara kepada kami Dawud bin Rusyaid, telah berbicara kepada kami al-Walid dari al-Auza’ie, dari Abi ‘Ammar yang bernama Syaddad bin Abdullah, dari Abi Asma dari Tsauban, ia berkata, “Jika Rasulullah shallallãhu ’alaihi wa sallam selesai shalat, beliau beristighfar tiga kali, lalu membaca “Allãhumma antas salãmu wa minkas salãmu tabãrakta dzal jalãli wal ikrãm”. Al-Walid (salah satu perawi hadits) bertanya kepada al-Auza’i, “Bagaimanakah (redaksi) istighfar beliau?”. “Astaghfirullãh, astaghfirullãh” jawab al-Auza’i. (HR. Muslim)
Begitulah contoh Rasulullah SAW, dalam setiap akhir ibadahnya (shalat) selalu beristighfar menyatakan kerendahan dirinya sebagai makhluk di hadapan Khaliq Yang Maha Kuasa apalagi diri kita yang masih jauh dari kesempurnaan, maka janganlah kita merasa karena amal ibadah kita itu bisa ditukar dengan surga atau ditukar dengan kewajiban Allah untuk mengabulkan apa yang kita mohonkan kepadaNya.
Ulama besar, Syekh Ibnu ‘Athoillah As-Sakandari (wafat Tahun 1309), dalam Kitab Al-Hikam menegaskan pentingnya bersandar kepada Allah.
مِنْ عَلاَ مَةِ اْلاِعْـتِــمَادِ عَلَى الْعَمَلِ، نُقْصَانُ الرَّجَآءِ عِنْدَ وُجُـودِ الزَّ لــَـلِ
“Di antara tanda-tanda orang yang senantiasa bersandar kepada amal-amalnya, adalah kurangnya ar-Raja’ (rasa harap kepada rahmat Allah) di sisi alam yang fana.”
Ar-Raja’ adalah istilah khusus dalam terminologi agama, yang bermakna pengharapan kepada Allah Ta’ala. Ar-Raja’ lebih menyifati orang-orang yang mengharapkan kedekatan dengan Allah untuk taqarrub.
Dalam suatu ceramahnya Mursyid kami yang mulia Abah Guru Sekumpul menyatakan:
Akibat Bergantung Kepada Amal
Syaikh al-Imam Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari berkata: “Sebagian tanda seseorang itu bergantung pada amalnya, ialah berkurang rasa berharapnya kepada Allah ketika ia berada pada ketergelinciran (berbuat kesalahan-kesalahan).”
Ada 3 tingkatan ummat manusia sebagai makhluq Allah, yaitu:
1. Al-‘Ibãd: Mereka mengerjakan segala macam amal ibadah dan menjauhkan segala larangan Allah agar dijauhkan dari malapetaka dan masuk surga.
2. Al-Murîdîn: Mereka mengerjakan segala macam amal ibadah dan menjauhkan segala larangan Allah agar bagaimana bisa sampai kepada Allah, agar terbuka segala sesuatu yang menutupi hati mereka dan dilimpahkan rahasia-rahasia halus.
3. Al-‘Ãrifîn: Hamba-hamba dalam tingkatan ini, meskipun mereka beramal ibadah begitu banyak, tapi sedikit pun mereka tidak melihat dan mengharap agar dijauhi malapetaka, masuk surga, bisa sampai kepada Allah serta dilimpahkan rahasia-rahasia halus, tidak terbayang dalam hati mereka bahwa mereka beramal, tetapi hati mereka selalu tertuju bahwa Allah yang berbuat segala sesuatu pada hakikatnya. Mereka tenggelam dalam lautan ridha qadar Ilahi dan mereka bergantung pada tali qadha’ yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Pada tingkatan Al-‘Ibãd dan Al-Muridin, ibadahnyalah yang menjadi sebab sampainya harapan-harapan yang mereka harapkan dan inginkan. Tetapi apabila ibadahnya berkurang atau melanggar perintah-perintah Allah, maka berkurang pula harapan dan keinginannya kepada Allah agar dijauhkan dari malapetaka, masuk surga serta dilimpahkan rahasia-rahasia halus. Ini akibat apabila kita berpegang kepada amal, tetapi tidak berpegang kepada Allah.
Tingkatan Al-‘Arifin adalah tingkatan yang paling mulia di sisi Allah. Sebab apabila kita sampai pada tingkatan ini, kita akan fana dan kita akan tenggelam di dalam qadar dan qadha’ Allah. Sama saja pada kita apakah kita mengerjakan taat, maka tidak terlihat oleh kita bahwa itu karena daya dan kekuatan kita.
Lã haula walã quwwata illã billãhi (Tidak ada daya untuk mengelakkan diri dari bahaya kesalahan dan tidak ada kekuatan untuk berbuat amal kebaikan kecuali dengan bantuan pertolongan Allah dan kurnia rahmatNya semata-mata).
Pada tingkatan Al-‘Arifin ini, keyakinan kita terhadap Allah begitu sempurna, dan harapan kita kepada Allah maksimal, maka segala apa yang terjadi, tidak akan mempengaruhi dasar pengharapan, keyakinan, dan tawakal kepada Allah. Jika kita jatuh dalam dosa, maka kita bertobat kepada Allah dengan meyakini kesempurnaan tobat kita. Tidak bertambah harapan kita kepada Allah apalagi karena kebaikan-kebaikan yang kita kerjakan, dan tidak pula berkurang taqwa kita kepada Allah, disebabkan kesalahan-kesalahan yang kita lakukan.
Karena itu, seorang muslim dituntut untuk tidak bergantung kepada amalnya. Hadits Nabi:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ ، عَنْ بُكَيْرٍ ، عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنْ رَسُولِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : لَنْ يُنْجِيَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ قَالَ رَجُلٌ : وَلَا إِيَّاكَ ؟ يَا رَسُولَ اللّٰهِ قَالَ : وَلَا إِيَّايَ ، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللّٰهُ مِنْهُ بِرَحْمَةٍ ، وَلَكِنْ سَدِّدُوا ، وحَدَّثَنِيهِ يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى الصَّدَفِيُّ ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللّٰهِ بْنُ وَهْبٍ ، أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ ، عَنْ بُكَيْرِ بْنِ الْأَشَجِّ بِهَذَا الْإِسْنَادِ ، غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ : بِرَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ وَلَمْ يَذْكُرْ وَلَكِنْ سَدِّدُوا
“Berlakulah kamu setepat dan sedekat mungkin (tidak berlebihan dan tidak kurang). Ketahuilah bahwa amal salah seorang dari kalian tidak akan memasukkannya ke dalam surga. “Mereka bertanya, “Engkaupun tidak, ya Rasulullah?” Baginda bersabda: “Akupun tidak, hanya saja Allah meliputiku dengan ampunan dan rahmat.” (Dirawayatkan oleh Enam Imam).
Dalam meninggalkan ketergantungan kepada Amal terdapat banyak hikmah yang bertautan dengan pemahaman tentang Allah dan yang berhubungan dengan pembersihan jiwa. Bersandar pada amal menyebabkan tertipu, ‘ujub, lancang dan tidak sopan terhadap Allah serta merasa dirinya mempunyai hak-hak di sisi Allah, dan itu semua berbahaya..
Maka kalam hikmah ini menjelaskan kepada kita bahwa, apabila seseorang berpegang atau bergantung kepada amalnya, akan berkurang harapannya kepada Allah atas maksudnya yaitu agar dijauhkan dari malapetaka, masuk surga serta dilimpahkan rahasia-rahasia halus, serta berkurang keyakinan dan penyandaran dirinya kepada Allah ketika terjadi suatu kesalahan atau dosa.
Sebagai hamba, hendaknya kita bersandar kepada Allah dalam beribadah, jangan bersandar kepada amal, agar Allah ridha terhadap segala amal ibadah yang kita kerjakan. Pada akhirnya, rahmat Allah itu lebih dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.
Sebagaimana Firman-Nya:
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ ۞
“Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf [7]: 56)
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَاجَرُوْا وَجَاهَدُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۙ اُولٰۤىِٕكَ يَرْجُوْنَ رَحْمَتَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ۞
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman serta orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [2]: 218)
Akhirul kalam:
لَآ إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ ۞
Lã ilãha illã anta subhãnaka innî kuntu minadzh dzhãlimîn
“…Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Mahasuci Engkau. Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Anbiyã: 87)
____________
* Ketua Pasulukan Loka Gandasasmita