بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Bai’at adalah pelantikan, peresmian, penobatan (tahbis) seorang yang memiliki keseriusan dalam menempuh jalan pengetahuan (makrifat) Allah melalui seorang Mursyid yang diyakini memiliki hubungan khusus secara jasmani dan ruhani kepada Rasulullah Saw.
Bai’at, talqin, pemberian ijazah atau inisiasi spiritual dikaitkan dengan peristiwa Bai’atur Ridwan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat. Ketika itu para sahabat menyatakan janji setia dalam kondisi apapun untuk mengabdi kepada Allah dan Rasul-Nya. Peristiwa ini dilukiskan dalam Al-Quran:
لَّقَدْ رَضِيَ اللّٰهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا ۞
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)”.[1] (QS. Al-Fathu [48]: 18)
Di zaman Rasulullah Saw, bai’at diberlakukan terhadap mereka yang hendak masuk agama Islam serta bagi yang berkeinginan menunaikan pekerjaan-pekerjaan (perintah) agama. Di antara bai’at yang ada waktu itu adalah bai’at untuk taat dan patuh kepada Rasulullah Saw.[2]
Berbai’at untuk berlaku taat merupakan perintah syar’i dan Sunnah Rasulullah Saw meskipun telah beriman terlebih dahulu. Karena bai’at merupakan pembaharu janji setia serta penguat jalinan kepercayaan beragama.[3]
Ada yang memiliki persepsi keliru bahwa bai’at hanya dilakukan di saat peperangan sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah Saw dan para sahabatnya ketika menghadapi kaum kafir Mekah. Padahal asbabun nuzul (sebab turunnya) kedua ayat tersebut menunjukkan disyari’atkannya bai’at dan tidak ada penjelasan bahwa bai’at hanya dilakukan pada saat peperangan saja. Kebijakan syari’at bai’at dilakukan pada setiap zaman untuk membangun kepemimpinan.[4]
Makna Bai’at
Secara etimologi Bai’at adalah Isim mashdar dari baa-ya’a-yubaaya’a-bay’atun [بايع – يبايع – بيعة]. Asalnya sama dengan baayi’un (transaksi)[5]. Makna bai’at itu sendiri adalah sumpah setia dengan suatu kepemimpinan. Sehingga ada jalinan hubungan yang kuat antara yang memimpin dan yang dipimpin. Dengan prosesi bai’at terjalinlah ikatan hukum berupa hak dan kewajiban serta tanggung jawab kedua belah pihak secara adil dan proporsional. Adanya hak dan kewajiban ini merupakan hasil dari bai’at.
Bai’at lebih merupakan pernyataan komitmen spiritual secara formal di depan mursyid untuk menjalani hidup yang benar dan lurus. Bai’at dapat menjadi terapi kaget (shock theraphy) menuju untuk hijrah kepada susasana batin yang baru dan memberikan motivasi berkomitmen dalam kehidupan yang benar.[6]
Bai’at di dunia tarekat bisa diperbarui seandainya seseorang memerlukan pengisian kembali (recharging ) energi spiritual dari mursyid. Namun perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa mursyid bukan santo atau lembaga pastoral yang dapat atas nama Tuhan memberikan pengampunan dosa terhadap jamaah. Fungsi mursyid sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya hanya berfungsi sebagai motivator dan tutor yang dipercayai salik.
Hak dan Kewajiban
Hak Imam (Mursyid) adalah ditaati. Kewajibannya membimbing pengikutnya kepada jalan yang lurus. Jalan yang lurus merupakan anugerah besar yang hanya dibawa oleh orang-orang pilihan-Nya. Dan anugerah tersebut bukan berasal dari manusia atau makhluk-Nya.
Anugerah atas manusia pilihan Allah tersebut adalah Kenabian dan Kerasulan, di dalamnya terdapat kepemimpinan. Termasuk di dalamnya adalah Al-’Ulama, pewaris Nabi yang melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan selanjutnya.
Orang-orang pilihan Allah tersebut membawa panji-panji Ilahiyyah yang berisi kebijakan yang lurus dalam menggapai Keridhaan Allah SWT.
Hak Murid adalah dipimpin, dibimbing, diberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Posisi Mursyid adalah sebagai konsultan yang menampung persoalan atau problematika muridnya.[7] Murid memiliki hak untuk bertanya terhadap persoalan yang belum (tidak mampu) dipecahkannya.[8]
Kewajiban murid adalah Sami’na wa Atho’na. Tidak ada pilihan melainkan bersikap taat dan turut perintah. Hal ini disebabkan karena telah terbangun keimanannya kepada Mursyid yang telah dipilih Allah dan diyakini mendapatkan mandat Ilahiyyah yang membawa kebijakan Allah SWT. Modal itulah yang melandasi sikap Sami’na wa Atho’na. Sikap ini bukan taqlid yang dilakukan tanpa dilandasi ilmu pengetahuan, tapi didasarkan atas kesadaran dan keimanan.
Adanya hak dan kewajiban ini membuktikan konsep keadilan kepemimpinan dalam Islam. Keadilan inilah yang mendekatkan diri kepada nilai ketaqwaan. Kelak akan ada pengikut yang melaknat pemimpinnya, sebagaimana yang diinformasikan dalam Al-Quran:
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا ۞
“Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar)”. (QS. Al-Ahzab [33]: 67)
Istilah Bai’at disebut juga dengan talqin. Talqin dipakai oleh para Ahli Tarekat, sedangkan Bai’at sering digunakan dalam Fiqh Siyasah (Politik Islam).
Bagian pengabdian seorang Utusan baik kalangan Nabi atau penerusnya adalah sebagai pendidik (mu’allim) umatnya. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ ۞
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Al-Jumu’ah [62]: 2)
Bai’at juga disebut juga dengan Ijazah. Ijazah mengandung arti memberikan suatu amalan atau wirid (kepada murid). Dalam kebijakan Al-Idrisiyyah Al-Islamiyyah, ketiga istilah ini (Bai’at – Talqin dan Ijazah) dipadukan dalam satu kesatuan. Bai’at mengandung kesepakatan terhadap kepemimpinan yang di dalamnya mengandung pendidikan atau pengajaran sekaligus adanya pemberian amalan (wirid).
Wiridan dalam Ijazah mesti dilakukan oleh setiap murid untuk mengikat batin, agar tercipta kelangsungan bimbingan dari seorang Guru kepada murid-muridnya. Karena bimbingan Islam tidak dibatasi waktu dan tempat. Kapanpun dan di manapun bimbingan (tarbiyyah) ruhiyyah bisa dirasakan. Seorang murid mesti memiliki daya juang (mujahadah) untuk mendapatkan hubungan tarbiyyah berjalan dengan baik, salah satunya dengan melaksanakan awrad (formula dzikir) yang diterimanya.
Apabila seorang Mursyid dengan tanggungjawabnya senantiasa memperhatikan keselamatan dan kebahagiaan murid-muridnya di dunia dan akhirat, dan Allah memberikan kekuatan berupa Nur Ilahi-Nya, kemudian muridnya melakukan mujahadah dalam awrad ijazahnya maka akan tersambunglah hubungan tersebut.
Firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللّٰهَ يَدُ اللّٰهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَىٰ نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَىٰ بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللّٰهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا ۞
“Bahwasanya orang-orang yang bersumpah setia kepada kamu sesungguhnya mereka bersumpah setia kepada Allah. Kekuasaan Allah di atas kekuasaan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar”.[9] (QS. Al-Fathu [48]: 10)
Inilah ajaran syari’at yang sangat penting untuk membangun kecerdasan umat, tapi sayang sekali sebagian besar umat Islam tidak memahami makna syari’at ini. Sehingga kebanyakan mereka tidak dalam kapasitas terbimbing. Orang yang berbai’at akan mendapatkan kekuasaan dari Allah SWT berdasarkan ungkapan Yadullaaha fawqo aydiihim. Karena orang yang berbai’at kepada Petugas Allah berarti berbai’at kepada Allah. Allah secara langsung membimbing, memberikan kekuatan, meneguhkan atasnya. Kekuasan dan Kekuatan Allah di atas kekuasaan dan kekuatan manusia.
Ketika berbai’at, seseorang akan mendapatkan keridhaan-Nya, dosa-dosanya ditolerir sejalan dengan ungkapan laqod rodhiyallaahu [sungguh Allah telah meridhai].[10]
Seorang Mursyid bertugas (ibadah) melakukan bimbingan, mencurahkan pikiran dan strategi, membuat berbagai metodologi dan inovasi, supaya kebijakan yang dibawanya bisa direspon dan diamalkan oleh murid pada khususnya dan umat pada umumnya. Tanggung jawab seorang Mursyid itu begitu besar, karena berupa Risalah Al-Islamiyyah yang pernah ditawarkan kepada seluruh makhluk lain sebelum manusia, mereka tidak sanggup memikulnya.
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا ۞
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (QS. Al-Ahzab [33]: 72)
Tanggung jawab seorang Mursyid bersifat internal dan eksternal. Skalanya sangat luas. Sedangkan seorang murid minimal mempertanggungjawabkan dirinya masing-masing. Kewajiban yang diistiqamahkan akan menghasilkan kualitas diri yang baik. Bahkan diharapkan menjadi hamba pilihan.
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ … إلخ
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia”. (QS. Ali ‘Imran [3]: 110)
Supaya menjadi suri tauladan bagi manusia, sebagai kewajiban internal dan eksternal. Murid yang telah berbai’at, mendapatkan bimbingan lahir batin, wawasan keislaman yang luas, pendalaman dan penghayatan tentang agama, akan menghasilkan pribadi-pribadi yang berkualitas, serta menjadi contoh di hadapan umat manusia.
Pada umumnya manusia memiliki cita-cita yang pendek,[11] sedangkan pribadi yang berkualitas (khoyro ummah) memiliki visi jauh ke depan, cita-cita yang tinggi, harapan jangka panjang hingga kepada kebahagiaan di kehidupan yang kekal.
Ijazah adalah proses pembentukan diri.[12]
Endnotes:
[1] Pada bulan Dzulhijjah tahun 6 H, Nabi saw beserta pengikutnya hendak mengunjungi Makkah untuk melakukan Umrah, dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Sesampai di Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus Usman bin Affan lebih dahulu ke Makkah untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kaum muslimin. Nabi dan para sahabat menanti-nanti kembalinya Usman, tetapi tidak juga kunjung datang karena Usman ditahan oleh kaum musyrikin, kemudian tersiar lagi berita bahwa Usman telah dibunuh. Karena itu Nabi saw menganjurkan kaum muslimin melakukan bai’at (janji setia) kepada beliau. Merekapun mengadakan janji setia kepada beliau dan mereka akan memerangi kaum Quraisy bersama Nabi saw sampai kemenangan tercapai.
Perjanjian setia ini telah diridhoi Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat Al Fath. Karena itu disebut Bai’atur Ridwan, Bai’atur Ridwan ini menggetarkan kaum musyrikin sehingga mereka melepaskan Usman dan mengirim utusan untuk mengadakan perjanjian damai dengan kaum muslimin, dan perjanjian ini terkenal dengan nama Sulhul Hudaibiyah.
[2] Sa’id Hawa, Tarbiyyatuna al-Ruhiyyah.
[3] Hasan Kamil al-Malthawi, al-Murabbi Tamhidun fit Tashawwuf, hal 47.
[4] Menurut Shah Waliyullah Dahlawi di dalam kitabnya Al-Qaulul Jamil Bai’at terdapat beberapa macam, yaitu:
1. Bai’at untuk taat setia kepada Khalifah.
2. Bai’at untuk menerima Agama Islam.
3. Bai’at untuk tetap teguh berpegang dengan Taqwa.
4. Bai’at untuk ikut berhijrah dan berjihad.
5. Bai’at untuk tetap setia menyertai Jihad.
[5] Dari akar kata tersebut diketahui bahwa kata bai’at pada mulanya dimaksudkan sebagai pertanda kesepakatan atas suatu transaksi jual beli antara dua pihak. Kesepakatan itu biasanya dilakukan dengan berjabatan tangan. Istilah ini kemudian berkembang sebagai ungkapan bagi kesepakatan terhadap suatu perjanjian antara dua pihak secara umum.
[6] Orang yang baru saja melakukan ikrar bai’at secara simbolis dianggap seperti terlahir kembali (reborn) dari kehidupan kelam sebelumnya yang tanpa petunjuk dan bimbingan. Suasana batin bagaikan kondisi bayi yang baru dilahirkan ke dunia ini, bahagia, cerah, bersih dari dosa dan lepas dari beban masa lalu. [Prof. Dr. Nasarudin Umar, harian Republika, 12 Januari 2012]
[7] Banyak cara orang untuk memperoleh ketenangan dan sekaligus motivasi untuk menggapai rasa kedekatan diri dengan Allah. Salah satu di antaranya ialah menyatakan komitmen spiritual kepada Allah di depan atau melalui mursyid yang dipilih. Jika pada suatu saat mengalami krisis spiritual, ia merasa sangat terbantu oleh kehadiran sahabat spiritual yang berfungsi sebagai konsultan spiritualnya.
[8] Dalam berbagai literatur hadits disebutkan banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan sahabat kepada Rasulullah Saw. Hal tersebut menunjukkan hak para sahabat sebagai umat di hadapan Rasul-Nya.
[9] Terjemah bebas: Barang siapa yang membatalkan janji (tidak komitmen) atas sumpah setianya maka sesungguhnya dia telah membatalkan perjanjian pada dirinya sendiri, tidak pada Allah, Rasul dan para Khalifahnya. Alias yang rugi di pihak dirinya sendiri. Sebaliknya barang siapa yang sungguh-sungguh pasca bai’at, ijazah dan talqin dengan mencurahkan seluruh pikiran, ingin memperbaiki diri, masuk ke dalam bimbingan yang paripurna maka Allah berjaniji akan memberikan kepadanya pahala yang agung.
[10] Seorang yang sering membuat jengkel orang tua dengan berbagai kelakuan buruknya, ketika mendapatkan ridha dari orang tuanya, maka orang tuanya akan melupakan segala apa yang telah dilakukan oleh anaknya itu. Sebaliknya jika seseorang sedang merasa benci seseorang, maka ia lupa akan segala kebaikannya. Yang dilihat adalah sisi buruknya saja. Jika ia seorang suami yang sedang dibenci, akan berubahlah wajah suaminya yang sebelumnya kelihatan ganteng menjadi buruk rupa.
Orang yang sedang marah menahan kebencian, hendaknya ia bercermin. Maka akan terlihat wajahnya yang paling buruk keadaannya. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya menyerupakan kondisi orang yang sedang marah seperti boneka yang sedang dipermainkan oleh syetan. Ia akan dipermainkan syetan semaunya, sedang ia tidak bisa apa-apa (tak berdaya).
Pada zaman sekarang banyak terjadi kasus pembunuhan istri oleh suaminya sendiri, anak dicekik ibunya sampai mati, dan lain sebagainya. Semua itu disebabkan karena jiwanya telah dikuasai oleh syetan.
[11] Sebagai contoh mengutamakan uang dan kesenangan dunia, meremehkan dan tidak memikirkan agamanya.
[12] Formula dzikir yang diberikan saat menerima Ijazah, bai’at atau talqin bisa berubah (mengalami inovasi) sesuai kondisi zamannya. Perubahan tersebut adalah bagian dari kebijakan Allah yang dinamis. Allah senantiasa melakukan Perbuatan-Nya (Fa’-’aalul limaa yuriid). Sebagai murid mesti memanfaatkan waktu dalam mewujudkan penghambaan diri kepada-Nya. Waktu menurut filsafat ibarat air mengalir yang tidak pernah berhenti. Waktu terus bergulir seiring pergerakan matahari dan bulan. Waktu tidak akan berhenti apalagi mundur.