“Sedangkan segala sesuatu itu terjadi karena keberadaan dirinya yang dimuliakan Allah”
Oleh: H. Derajat*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Sahabat-sahabatku yang terkasih bermula dari hadist Rasulullah saw yang bersabda :
قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ وَلَا فَخْرَ
“Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku penghulu anak Adam, dan tidak sombong,’” (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah).
Qashidatul Burdah karya Muhammad Sa‘id Al-Bushiri menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai semacam sebab penciptaan alam semesta. Oleh karena itu, Al-Bushiri menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mungkin berambisi mengejar duniawi.
Dalam lirik Qashidatul Burdah berikut ini, Imam Al-Bushiri menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW yang menjadi sebab penciptaan dunia takkan mungkin berhajat kepada dunia karena beliau SAW sendiri adalah penghulu dunia:
وَكَيْفَ تَدْعُوْ إلَى الدُّنْيَا ضَرُوْرَةُ مَنْ ** لَوْلَاهُ لَمْ تَخْرُجِ الدُّنْيَا مِنَ الْعَدَمِ
“Bagaimana orang yang kalau bukan karena dirinya niscaya dunia ini takkan keluar dari ketiadaannya berkepentingan terhadap dunia?”
Pernyataan Imam Al-Bushiri tidak berlebihan. Pernyataan Al-Bushiri cukup beralasan karena didasarkan pada hadits qudsi riwayat Al-Hakim dan Al-Baihaqi yang menyatakan bahwa kalau bukan karena Nabi Muhammad SAW, Allah takkan menciptakan Nabi Adam AS.
وَالْأَصْلُ فِيْ ذَلِكَ مَا رَوَاهُ الْحَاكِمُ وَالْبَيْهَقِيُّ مِنْ قَوْلِ اللّٰهِ تَعَالَى لِآدَمَ لَمَّا سَأَلَهُ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ أَنْ يَغْفِرَ لَهُ مَا اقْتَرَفَهُ مِنْ صُوْرَةِ الْخَطِيْئَةِ وَكَانَ رَأَى عَلَى قَوَائِمِ الْعَرْشِ مَكْتُوْبًا لَآ إِلَهَ إِلَّا اللّٰهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللّٰهِ سَأَلْتَنِيْ بِحَقِّهِ أَنْ أَغْفِرَ لَكَ وَلَوْلَاهُ مَا خَلَقْتُكَ فَوُجُوْدُ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ مُتَوَقِّفٌ عَلَى وُجُوْدِهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dasar atas pernyataan ini adalah hadits riwayat Al-Hakim dan Al-Baihaqi perihal jawaban Allah SWT kepada Nabi Adam AS yang meminta dengan nama Nabi Muhammad SAW ampunan terkait kekeliruannya. Nabi Adam AS ketika itu melihat catatan ‘Lâ ilâha illallâh, Muhammadur Rasûlullâh’ pada tiang-tiang Arasy. Allah menjawab, ‘Kau meminta dengan namanya (Nabi Muhammad SAW) agar Aku mengampunimu. Sungguh, kalau bukan karenanya, Aku tidak akan menciptakanmu.’ Jadi, ujud Nabi Adam AS bergantung pada ujud Nabi Muhammad SAW,”
Dalam Hasyiyatul Baijuri dikatakan bahwa kalau bukan karena Nabi Muhammad SAW, niscaya Allah takkan menciptakan Nabi Adam AS. Kalau Nabi Adam AS tidak diciptakan oleh Allah, niscaya anak Adam atau bani Adam takkan diciptakan. Sedangkan nyatanya, Allah menciptakan Nabi Adam AS dan anak keturunannya. Allah juga menciptakan alam semesta ini hanya untuk keperluan manusia. Jadi, hanya karena Nabi Muhammad SAW Allah menciptakan alam semesta raya ini.
Syekh Ibrahim Al-Baijuri yang pernah memimpin Universitas Al-Azhar di zamannya mencoba membangun logika ini dalam Hasyiyatul Burdah berikut ini:
وَآدَمُ أَبُو الْبَشَرِ وَقَدْ خَلَقَ اللّٰهُ لَهُمْ مَا فِي الْأَرْضِ وَسَخَّرَ لَهُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَاللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَغَيْرَ ذَلِكَ كَمَا هُوَ نَصَّ الْقُرْآنُ قَالَ تَعَالَى، خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيْعًا وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَإِذَا كَانَتْ هَذِهِ الْأُمُوْرُ إِنَّمَا خُلِقَتْ لِأَجْلِ الْبَشَرِ وَأَبُو الْبَشَرِ إِنَّمَا خُلِقَ لِأَجْلِهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتِ الدُّنْيَا إِنَّمَا خُلِقَتْ لِأَجْلِهِ فَيَكُوْنُ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ السَّبَبُ فِي وُجُوْدِ كُلِّ شَيْءٍ
“Nabi Adam AS memang bapak manusia. Allah menciptakan apa yang ada di bumi untuk anak manusia. Allah juga menundukkan matahari, bulan, malam, siang, dan lain sebagainya untuk anak manusia sebagaimana tercantum dalam Al-Quran, ‘Dia menciptakan untukmu apa yang ada di bumi semuanya,’ (Surat Al-Baqarah ayat 29) dan ‘Dia menundukkan bagimu matahari dan bulan silih berganti dan Dia menundukkan bagimu malam dan siang,’ (Surat Ibrahim ayat 33). Jadi, ketika semesta alam raya itu diciptakan untuk manusia, sementara Nabi Adam AS adalah bapak manusia diciptakan karena Nabi Muhammad SAW, maka dunia ini diciptakan karena Nabi Muhammad SAW. Jadi, Nabi Muhammad SAW adalah sebab bagi segala ujud,”
Mursyid kami Abah Guru Sekumpul menerangkan bagaimana seharusnya kita memandang Rasulullah SAW agar mencapai derajat Waliyullah :
Syekh Khalid bin Abdullah Al-Azhari dalam Syarah Burdah menyatakan bahwa karena Rasulullah SAW sendiri adalah sebab atas penciptaan alam semesta, maka beliau SAW tidak berhajat dan berhasrat pada kesenangan duniawi yang fana:
وَمَعْنَى الْبَيْتَيْنِ أَنَّهُ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَدْعُوْهُ الضَّرُوْرَة اِلَى حِطَامِ الدُّنْيَا الْفَانِيَةِ فَإِنَّ الدُّنْيَا مَا أُخْرِجَتْ مِنَ الْعَدَمِ إِلَى الْوُجُوْدِ إِلَّا لِأَجْلِهِ وَكَيْفَ يَكُوْنُ كَذَلِكَ وَهُوَ سَيِّدُ أَهْلِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَسَيِّدُ الْاِنْسِ وَالْجِنِّ وَسَيِّدُ الْعَرَبِ وَالْعَجَمِ
“Makna bait ini adalah bahwa Nabi Muhammad SAW tidak berkepentingan untuk mengumpulkan harta benda duniawi yang fana karena dunia tidak diciptakan dari ketiadaan menjadi ada kecuali karena dirinya. Lalu bagaimana bisa demikian (haus harta duniawi) dengan Rasulullah SAW, sedangkan beliau adalah penghulu (pangkal atau permulaan) penduduk dunia dan akhirat, penghulu manusia dan jin, dan penghulu bangsa Arab dan bangsa ajam,”
Dari pelbagai keterangan ini, tidak berlebihan ketika Sayyid Bakri Syatha dalam mukaddimah I‘anatut Thalibin menganjurkan kita untuk bersyukur kepada Rasulullah SAW karena jasanya yang mengajarkan kita mengenal dan bersyukur kepada Allah. Sayyid Bakri Syatha menyebut Rasulullah SAW tidak lain adalah asal penciptaan bagi semua makhluk Allah. Sayyid Bakri menganjurkan kita untuk membaca banyak shalawat. Hanya saja, “asal” dan kata “sebab” penciptaan di sini mesti dipahami sebagai asal atau sebab secara majazi karena pada hakikatnya perbuatan Allah tidak tergantung pada ‘illat atau sebab. Meskipun demikian, shalawat terhadap Nabi Muhammad SAW merupakan bentuk terima kasih atau syukur kita umat manusia terhadap Rasulullah SAW sebagai penghulu segenap manusia sebagaimana sabdanya yang mulia.
Abah Guru Sekumpul dalam video youtube di atas memulai penjelasannya dengan ungkapan yang sangat dikenal dalam dunia tasawuf, di mana untuk mengenal Allah seseorang harus terlebih dahulu mengenal akan dirinya.
Maksudnya, untuk sampai kepada pengenalan terhadap Allah, haruslah terlebih dahulu dipahami dua hal. Pertama, ia harus terlebih dahulu mengenal asal mula akan kejadian dirinya sendiri. Dari mana, di mana dan bagaimana ia dijadikan?
Kedua, harus terlebih dahulu mengetahui apa sesuatu yang mula-mula dijadikan oleh Allah SWT. Kedua perkara itu menjadi prasyarat kesempurnaan bagi penuntut ilmu tasawuf (salik) dalam mengenal (makrifah) kepada Allah.
Yang mula-mula dijadikan oleh Allah adalah Nur Muhammad SAW lalu dijadikanlah roh dan jasad alam semesta. Roh (dan roh manusia) diciptakan Allah, sedangkan jasad manusia diciptakan mengikut kepada dan dari jasad Nabi Adam AS.
Karena itu, Nabi Muhammad SAW nenek moyang roh, sedangkan Nabi Adam AS adalah nenek moyang jasad. Hakikat dari penciptaan Adam AS sendiri berasal dari tanah, tanah berasal dari air, air berasal dari angin, angin berasal dari api, dan api berasal dari Nur Muhammad.
Pada prinsipnya, roh manusia diciptakan dari Nur Muhammad, jasad atau tubuh manusia pun hakikatnya berasal dari Nur Muhammad. Jadilah kemudian cahaya di atas cahaya (QS An-Nuur 35). Di mana roh yang mengandung Nur Muhammad ditiupkan kepada jasad yang juga mengandung Nur Muhammad. Bertemu dan meleburlah kemudian roh dan jasad yang berisikan Nur Muhammad ke dalam hakikat Nur Muhammad yang sebenarnya.
Bersumber pada satu wujud dan nama yang sama, maka roh dan jasad tersebut haruslah disatukan dengan mesra menuju kepada pengenalan Yang Maha Mutlak. Zat Wajibul Wujud yang memberi cahaya kepada langit dan bumi, dan yang semula menciptakan, sebagaimana mesranya hubungan antara air dan tumbuhan. Di mana ada air di situ ada tumbuhan, dan dengan airlah segala makhluk dihidupkan (QS Al-Anbiya 30).
Abah Guru Sekumpul menjelaskan bahwa Nur Muhammad sumber segala penciptaan berikutnya. Syarat dan jalan untuk makrifah kepada Allah. Pengetahuan terhadap Nur Muhammad merupakan ilmu yang sempurna.
Bagaimana pandangan tokoh sufi terhadap Nur Muhammad? Dalam kitab asalnya, yakni Hikayat Nur Muhammad diceritakan bahwa tubuh manusia (anak Adam) mengandung tiga unsur, yakni jasad, hati dan roh. Di dalam roh terdapat hakikat, tersimpan rahasia yang dinamakan makrifah Allah.
Di dalam makrifah ada zat yang tidak menyerupai sesuatu pun. Rahasia atau makrifah Allah itu dinamakan insan kamil. Insan Kamil dijadikan dari nur yang melimpah dari zat Haqq Taala.
Al-Hallaj yang mencetuskan teori hulul menyatakan bahwa Nur Muhammad mempunyai dua bentuk, yakni Nabi Muhammad yang dilahirkan dan menjadi cahaya rahmat bagi alam dan yang berbentuk nur.
Nur Muhammad adalah cahaya semula yang melewati dari Nabi Adam ke nabi yang lain bahkan berlanjut kepada para imam maupun wali. Cahaya melindungi mereka dari perbuatan dosa (maksum) dan mengaruniai mereka dengan pengetahuan tentang rahasia ketuhanan.
Allah menciptakan Nur Muhammad jauh sebelum diciptakan Adam AS. Lalu, Allah menunjukkan kepada para malaikat dan makhluk lainnya. “Inilah makhluk Allah yang paling mulia”.
Oleh karena itu, harus dibedakan antara konsep nur (Muhammad) sebagai manusia biasa (seorang nabi) dan nur muhammad secara dimensi spiritual yang tidak dapat digambarkan dalam dimensi fisik dan realita.
Menurut sufi, Muhyiddin Ibn Arabi penulis kitab Futuhat Makkiyah, Nur Muhammad sebagai prinsip aktif di dalam semua pewahyuan dan inspirasi. Melalui nur itu pengetahuan yang kudus itu diturunkan kepada semua nabi, tetapi hanya kepada roh Muhammad saja diberikan jawami’ al-kalim (firman universal).*
Sedangkan menurut pencetus teori insan kamil, Abdul Karim bin Ibrahim al-Jilli (1365-1428 M) menyatakan bahwa lokus tajalli al-Haq yang paling sempurna adalah Nur Muhammad. Ada sebelum alam ini ada, ia bersifat qadim lagi azali.
Nur Muhammad berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam berbagai bentuk para nabi, yakni Adam, Nuh, Ibrahim, Musa hingga dalam bentuk nabi penutup, Muhammad SAW.
Membandingkan apa-apa yang digambarkan oleh Guru Sekumpul berkenaan dengan Nur Muhammad dengan uraian ulama terdahulu, tampaknya tidak jauh berbeda sebagaimana pandangan umum para sufi dalam melihat Nur Muhammad sebagai yang terawal diciptakan kemudian menjadi sumber segala penciptaan.
Di samping itu, menurut Abah Guru Sekumpul maqam Nur Muhammad adalah maqam paling tinggi dari pencarian dan pendakian sufi menuju makrifah kepada Allah. Tiada lagi maqam atau stasiun paling tinggi sesudah itu. Oleh karena itu, berbahagialah orang-orang yang dapat menyandingkan penyatuan sumber asal mula penciptaannya dalam satu harmoni, yakni Nur Muhammad.
Ku tutup risalah ini:
رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُوْرَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ
Rabbanã atmim lanã nûranã waghfir lanã innaka ‘alã kulli syai’in qadîr
“Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. At-Tahrim: 8)
___________
* Ketua Pasulukan Loka Gandasasmita