Home / Ensiklopedia / Analisis / Bagaimana Agama Membentuk Kalender Paling Berpengaruh di Dunia

Bagaimana Agama Membentuk Kalender Paling Berpengaruh di Dunia

Hari yang tanggal
dalam lembaran. Awal
mula yang tinggal.

Semuanya berawal dari keinginan Gereja Katolik untuk memperoleh waktu perayaan Paskah yang paling tepat pada abad ke-16. Kala itu, sistem kalender yang digunakan di Eropa adalah sistem kalender yang dibuat oleh Julius Caesar, yang disebut sistem Kalender Julian. Sistem kalender itu ternyata tidak akurat.

Seperti dituliskan oleh Jennifer Powell McNutt dalam jurnal berjudul “Hesitant Steps: Acceptance of the Gregorian Calendar in Eighteenth-Century Geneva” (2006), dalam perhitungan kalender Julian, panjang rata-rata satu tahun adalah 365,25 hari. Alhasil, kekaisaran Julius Caesar kemudian memandatkan bahwa pada setiap tahun keempat dihitung menjadi 366 hari, sementara sisanya adalah 365 hari. Inilah pertama kali sistem tahun kabisat diperkenalkan.

Masalahnya, sistem Kalender Julian ini ternyata sedikit lebih lama dari perhitungan tahun tropis yang lebih akurat yakni 365,2424 hari. Situasi ini membuat setiap tahun perhitungan Kalender Julian berlebih 11 menit 14 detik. Sebagai catatan, tahun tropis adalah lamanya waktu matahari untuk kembali ke posisinya yang sama di sepanjang jalur ekliptiknya jika diamati dari bumi.

Seperti dituliskan oleh Encyclopaedia Britannica, pada tahun 1545, Gereja Katolik yang masih mendasarkan penentuan perayaan Paskah pada ekuinoks musim semi dibuat geger sebab Paskah bergeser 10 hari dari tanggal yang seharusnya. Alhasil, pada bulan Desember Konsili Trente memberikan kuasa pada Paus Paulus III untuk mengkoreksi kesalahan tersebut.

Pelbagai usaha dilakukan, tetapi belum juga muncul solusi hingga akhirnya Paus Gregorius XIII terpilih pada 1572.

McNutt menuliskan, pada tahun 1577, Paus Gregorius menyebarkan sebuah proposal untuk pembaruan perhitungan waktu kepada para ahli matematika dan astronom. Maksud dari langkah Paus Gregorius ini adalah agar perayaan Paskah dapat dirayakan dalam waktu yang paling tepat.

Pada 25 Februari 1582, setelah melalui berbagai proses perdebatan dalam komisi yang dibentuk untuk mengawasi perubahan sistem ini, Paus Gregorius akhirnya mengeluarkan bulla kepausan—sebuah surat putusan publik—berjudul “Inter gravissimas” (artinya dalam keprihatinan besar) yang intinya memperbarui perhitungan kalender. Perhitungan baru ini kemudian dikenal sebagai kalender Gregorius.

Kalender Gregorius memperkenalkan sistem tahun kabisat yang sedikit diubah dari sistem kalender Julius, di mana tiga tahun kabisat setiap 400 tahun—yang tidak habis dibagi 400—dihilangkan. Pada saat yang sama, ia juga menerapkan penghapusan sepuluh hari yang berlaku hanya sekali dari tanggal 5 hingga 14 Oktober. Ini dilakukan untuk mengatasi kesalahan perhitungan kalender Julian.

McNutt menuliskan, sepuluh hari yang harus dihilangkan itu dipilih pada bulan Oktober sebab bulan itu merupakan bulan yang memiliki jumlah hari raya santo dan santa paling sedikit.

Sistem kalender ini diberlakukan pertama kali pada 15 Oktober 1582, tepat hari ini 436 tahun lalu, dan segera berlaku di negara-negara yang memiliki agama resmi Katolik. Spanyol, Italia, dan Portugal merupakan beberapa di antaranya.

Merambah Dunia Luas

Penerapan Kalender Gregorian secara luas tidaklah mulus. Pada kenyataannya, tidak semua negara-negara di Eropa mengadopsi Katolik Roma sebagai agama resmi negaranya. Salah satu perlawanan paling kencang di Eropa kala itu datang dari negara dengan penduduk mayoritas dari kalangan Protestan, seperti Jerman dan Inggris Raya.

McNutt mencatat, ada beberapa alasan yang menjadi keberatan dari kalangan Protestan. Yang utama, mereka merasa sistem kalender ini merupakan suatu upaya dominasi religius dan politik dari Kepausan Roma.

Faktor lain yang memengaruhi keputusan mereka adalah fakta bahwa komisi pembentukan Kalender Gregorius dipimpin oleh Christoper Clavius yang merupakan seorang Jesuit. Para pendeta Protestan merasa diakuinya Kalender Gregorian akan membuat kredibilitas Jesuit meningkat yang berujung pada meningkatnya pula pengaruh ordo “tangan kanan” Gereja tersebut.

Namun, lambat laun negara-negara tersebut mulai luluh, utamanya karena alasan memudahkan perdagangan internasional, demikian seperti dilansir dari Stratfor Worldview. Inggris Raya, misalnya, baru mengadopsi Kalender Gregorian pada 1752.

Perubahan ini membuat Inggris Raya harus memangkas 11 hari dari 2 September hingga 14 September 1752. Orang-orang sempat memprotes pemangkasan ini. “Kembalikan 11 hari kami!” teriak orang-orang yang turun ke jalan kala itu, seperti ditulis McNutt.

Rusia, negara raksasa Eropa lainnya pada kala itu, baru mengadopsi sistem kalender ini pada 1918 setela revolusi Rusia terjadi pada 1917. Meski demikian, Gereja Ortodoks Rusia masih menggunakan sistem Kalender Julian.

Yunani menjadi negara Eropa terakhir yang mengadopsi Kalender Gregorian untuk kepentingan sipil pada tahun 1923.

Sejumlah upaya untuk mengganti penggunaan Kalender Gregorian juga terjadi di sejumlah negara. Perancis, misalnya, sempat mengganti sistem tersebut pada 1793 seiring dengan revolusi Perancis. Pemerintah Perancis mengganti kalender itu dengan Kalender Republik Perancis, namun upaya ini hanya bertahan selama 12 tahun.

Sejumlah faktor penyebabnya antara lain inkonsistensi sistem kalender itu dalam menentukan hari pertama setiap tahunnya, 10 hari kerja dalam seminggu dan kesulitan dalam perdagangan internasional karena penanggalan yang berbeda.

Tidak semua negara menggunakan sistem Kalender Gregorian hingga saat ini. Afghanistan, Saudi Arabia dan Iran merupakan beberapa di antaranya. Meski demikian, seperti dilaporkan oleh Independent, Arab Saudi menggunakan Kalender Gregorian sebagai basis pembayaran gaji pegawai negeri mereka.

Sejumlah negara lain, masih dilansir dari Stratfor Worldview, menggunakan Kalender Gregorian yang dimodifikasi. Negara-negara seperti Sri Lanka, Kamboja, Thailand, Jepang, Korea Utara, dan Cina. Cina, misalnya, meski sudah menerapkan Kalender Gregorian, mereka masih menggunakan kalender lunar untuk merayakan festival serta menentukan tanggal-tanggal penting seperti pernikahan dan pemakaman, demikian seperti dikutip dari South China Morning Post.

Ini mirip dengan yang dilakukan oleh sejumlah orang Jawa di Indonesia yang masih menggunakan kalender Jawa untuk menentukan hari baik pernikahan.

Sistem yang Sempurna?

Meski lebih akurat dibandingkan perhitungan Kalender Julian, perhitungan Kalender Gregorian tidaklah sempurna. Kalender ini masih memiliki selisih penghitungan sebesar 26 detik tiap tahunnya. Hasilnya, masih terdapat perbedaan beberapa jam yang hingga kini terus terakumulasi, demikian dilansir dari History.

Pada tahun 4909, kalender Gregorian diperkirakan akan memiliki selisih satu hari penuh dari perhitungan tahun tropis.

Sejumlah usaha perbaikan, sementara itu, terus dilakukan. Salah satunya pada tahun 2012, saat Richard Conn Henry, mantan astrofisikawan NASA, dengan rekannya, Steve H. Hanke, seorang ekonom terapan, memperkenalkan Kalender Permanen Hanke-Henry.

Namun demikian, berbagai upaya itu gagal seperti dilaporkan oleh Stratfor Worldview, karena upaya-upaya itu tidak meneruskan adanya hari Sabat atau hari istirahat pada hari ke-7, mengubah jumlah perhitungan tujuh hari dalam satu minggu, atau karena menyimpang dari siklus musim.

Selain itu, potensi disrupsi ekonomi yang ditimbulkan karena perubahan sistem kalendar juga menjadi salah satu penyebab penting.

Kendati demikian, sejarah membuktikan bahwa perubahan sistem kalender dapat terjadi. Yang menjadi pertanyaan kapan itu dapat terjadi? Rasa-rasanya tidak dalam waktu dekat jika melihat situasi geopolitik yang ada saat ini.

Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti
Source: Tirto.Id

About admin

Check Also

Syaikh Jumadil Kubro; Moyang Para Wali Nusantara

“Dari data peta migrasi genetik, secara ilmiah terbukti jika leluhur Syekh Jumadil Kubro berasal dari ...