Telaah Kecil Filosofi Geopolitik dalam Gelaran Pemilu 2024
PascaDeklarasi Capres/Cawapres Anies-Cak Imin di Hotel Majapahit, Surabaya (2/9/2023), diksi ‘pengkhianatan’ kini viral lagi heboh. Sudah tentu, suhu politik jelang Pemilu 2024 pun mulai memanas. Mana berkhianat kepada siapa, modus pengkhianatan, dan apa yang sesungguhnya terjadi di masing – masing kubu. Ya. Isu-isu tersebut, tak pelak menjadi trending topic.
Akan tetapi, catatan ini tidak larut dalam ‘bab pengkhianatan’ dimaksud. Hemat penulis, bab khianat cuma isu hilir, atau dinamika di level pion alias wayang. Sekadar bahasan kulit. Memang terlihat gemerlap dan gaduh di permukaan, tapi miskin substansi. Tak menyentuh sama sekali pada Kepentingan Nasional RI, apalagi kepentingan rakyat. Blas!
Meski ada juga bahasan publik yang sudah mulai nyrempet ke substansi. Tentang modus kemenangan Pilpres 2019, misalnya, atau konflik internal pada salah satu kubu atas penyikapan kekalahannya dulu, ataupun beberapa orang yang dianggap memahami ‘kunci’ proses dan modus di 2019 lalu. Sekali lagi, memang mulai nyengggol sedikit, namun masih jauh dari hulu agenda yang sesungguhnya.
Jujur. Sejatinya ada pengkhianatan lebih dahsyat yang dilakukan oleh para elit politik dan kaum cendikia terhadap para pendiri bangsa (the Founding Fathers). Apa itu? Yakni dikuburnya Pancasila dan UUD 1945 Naskah Asli dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang ini. Tetapi, lain waktu kita bahas. Sebab, butuh sesi tersendiri.
Kembali ke laptop. Supaya tidak terombang-ambing dalam gelombang isu yang nanti akan silih berganti, maka merujuk judul telaah kecil ini — mari kita petakan struktur pagelaran terlebih dulu agar mudah memahami apa yang sesungguhnya terjadi. Bukan hanya apa yang terjadi.
Tak boleh dipungkiri, ada tiga level atau tingkatan di setiap pagelaran apapun, dimanapun, kapanpun.
Adapun tingkatan tersebut meliputi:
Tingkat atau level pertama disebut wayang alias pion. Keterangannya, bahwa apapun jenis wayang. Entah wayang golek, wayang wong, ludruk dst itu tergantung ki dalang. “Sutradara”. Dalang atau sutradara-lah yang menggerakkan wayang dan/atau pion. Mau dijungkir, dipromosi, atau dikepret, ditancap (didiamkan) — itu terserah dalang. Wayang manut saja. Pion tidak memiliki daya untuk melawan ki dalang. Pasrah bongko’an;
Level kedua adalah dalang. Inilah sutradara atas seluruh tema dari sebuah pertunjukan. Ia yang merumus prolog, dialog, hingga epilog. Mau dibuat balada, drama percintaan, atau ontran-ontran dan seterusnya semua dalam genggam ki dalang. Sebab, ia pengendali panggung. Dalam manajemen strategis, level dalang mirip intelijen marketing. Ada dimana-mana. Di kubu musuh, di tempat kawan, ‘main dua kaki’ dan seterusnya. Dalang mengatur jalannya pagelaran agar segala sesuatunya berproses sesuai skenario.
Lantas, adakah sosok di balik layar yang meremot gerak ki dalang? Jawabannya: “Ada!”. Siapa dia?
Ya, level tertinggi dalam pagelaran disebut si penanggap alias pemilik hajatan. Inilah ‘dalang’-nya ki dalang, atau dalang dari segala dalang. Karena, ia adalah pengendali pagelaran yang sesungguhnya. Manuver ki dalang pun atas kendali serta kemauan dari si pemilik hajatan atau penanggap. “Hari ini, saya ingin temanya Petruk Dadi Ratu”, kata penanggap, maka ki dalang pun sibuk membuat alur cerita, membagi dialog, memilih sosok yang akan dijadikan lakon, dan lain-lain. Boleh jadi, tiba-tiba ia nyletuk, “Ah, besok ganti tema Anoman Obong”. Lagi-lagi, ki dalang pun sibuk merajut skenario serta mencari siapa yang hendak ditumbalkan (dibakar), bagaimana epilog, siapa akan dipahlawankan (diboyong), dst. Sekali lagi, di setiap pagelaran niscaya ada wayang, ada dalang, dan ada pemilik hajatan.
Nah, babak pengkhianatan yang kini tengah ditonton oleh publik jelang tahap pendaftaran capres/cawapres 2024, sebenarnya cuma dinamika di tataran wayang alias pion. Tak lebih. Cuma kegaduhan di level pertama. Besok, bisa saja Cak Imin di-“kardus duren”-kan; atau Anies di-“Formula E”-kan; ataupun Ganjar di-“eKTP”-kan, atau Prabowo digembosi melalui haluan partai koalisi. Semua tergantung ‘gerak tangan’-nya dalang dan sudah tentu, atas restu si pemilik hajatan.
Barangkali, di lain episode si pemilik hajatan nyeplos, “Saya pingin hanya dua calon pasangan saja biar hemat biaya,” bisik si pemilik hajatan kepada dalang. Siaaap! Atau, “Saya mau ada ontran-ontran biar timbul kegentingan memaksa, supaya ada alasan untuk nenunda Pemilu”. Siaaap! Ucap ki dalang.
Mungkin, itulah bab-bab lanjutan setelah ‘bab pengkhianatan’ berlalu ditiup angin.
Pertanyaan menarik muncul, “Bagaimana cara memahami hasrat dan agenda si pemilik hajatan agar tak terombang – ambing dalam lautan isu di level pertama (wayang) dan pada level kedua (dalang)?”
Jawabannya, mungkin ada di geopolitik. Ya. Geopolitik memberi isyarat, bahwa hari ini — Indonesia telah terjebak dan terjepit oleh dua skema besar para adidaya global.
Skema Pertama: One Belt One Road (OBOR) atau kini istilahnya Belt and Road Initiative (BRI)-nya China punya;
Skema Kedua: One Goverment One System (OGOS) atau populer dengan istilah New World Order (NWO) atau Tata Dunia Baru ala Barat.
Ada dua pertanyaan penting guna mengakhiri telaah bab pengkhianatan ini, namun sekaligus dianggap basis yang tepat untuk menguak agenda penanggap alias si pemilik hajatan.
Pertama, “Apa saja program dari skema OGOS dan OBOR yang tengah dijalankan di Indonesia?”
Kedua, “Program manakah dari kedua skema (OBOR dan OGOS) yang belum rampung pada 2024?”
Tepat atau tidaknya jawaban dimaksud sifatnya relatif. Nisbi. Tak masalah. Namun, sekurang-kurangnya bisa dijadikan rujukan guna memahami agenda dari para pemilik hajatan agar kita tak terlalu ‘capek’ menyaksikan gaduh skenario di level pertama (wayang) alias isu-isu di tataran hilir.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
______________
Oleh: M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Source: theglobal-review.com