Era reformasi yang telah berjalan lebih dari 15 tahun ternyata tanpa ada kemajuan yang signifikan, kecuali kebebasan yang sudah semakin kebablasan karena banyak elemen bangsa yang kurang menyadari bahwa sebenarnya kebebasan berpotensi untuk “dikorupsi” dalam bentuk merusak ketenangan dan kenyamanan hidup berbangsa dan bernegara seperti unjuk rasa yang anarkis, kurangnya menghargai pluralism dan fanatisme sempit, karena liberty tends to corrupt.
Era reformasi juga telah memberi peluang kepada ideologi-ideologi trans nasional yang sebenarnya tidak diakui atau tidak dikenal dalam khasanah budaya Indonesia semakin berkembang dan mendapatkan wahana ataupun tempat untuk mewujudkan eksistensinya dengan menggunakan cover demokrasi, HAM dan lingkungan hidup.
Jenderal Purn DR. AM Hendropriyono melalui bukunya yang berjudul “Dari Terorisme Sampai Konflik TNI-Polri : Renungan dan Refleksi Menjaga Keutuhan NKRI (2013)” menilai, dalam perspektif filsafat, akar ketidakstabilan terjadi akibat benturan antar ideologi. Dalam sejarah kebangsaan kita, benturan ideologi terjadi ketika komunisme menyusup ke dalam ideologi kita yang berasas Pancasila. Bahkan, jawaban terhadap tantangan reformasi yang kebablasan adalah menjaga agar berbagai praktik dalam kehidupan kita selalu konsisten terhadap nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis dari Pancasila.
“Oleh karena itu, dalam menyusun ketahanan nasional di berbagai aspek kehidupan harus disertai dengan upaya merevitalisasi Pancasila. Ketahanan nasional yang diperlukan berdiri diatas konsep nasionalisme yang tidak chauvinistis merupakan kekuatan nyata untuk mampu bersaing di arena global,” tambah Abdullah Mahmud Hendropriyono yang juga mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).
Memanfaatkan Reformasi
Seperti sinyalemen diatas, kelompok eks komunis ataupun pendukungnya sampai saat ini masih terus intens melakukan kegiatan dalam rangka merefleksikan dan mewujudkan tujuan perjuangan dan agenda politiknya ke depan, sehingga momentum reformasi yang bergulir di Indonesia sejak 15 tahun yang lalu juga telah memberi andil sangat besar sebagai “pintu masuk” kebangkitan “hantu komunisme” di Indonesia, sehingga tidak dapat disangkal jika banyak tokoh agama tetap menetapkan komunisme adalah ancaman nasional bagi bangsa Indonesia.
Salah satu contohnya adalah Masyarakat Indonesia Perantauan Peduli Penegakkan HAM (Diaspora) Indonesia di Belanda mengeluarkan pernyataan terkait kasus pembubaran pertemuan generasi muda PKI di Yogyakarta yang dilakukan Front Anti Komunis Indonesia (FAKI). Pernyataan tersebut berisi antara lain, kasus pembubaran pertemuan generasi muda PKI telah menjadi perhatian dan mendatangkan protes dunia internasional.
Tindakan FAKI dinilai telah melanggar Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 24 ayat (1) UU HAM. Tindakan pembiaran aparat kepolisian dalam kasus tersebut dianggap telah berpihak kepada para pelaku kekerasan, sehingga dianggap sebagai bagian dari pelaku pelanggaran UU. Oleh karena itu, Diaspora Indonesia di Belanda menuntut pemerintah mengambil tindakan hukum yang tegas kepada anggota FAKI, memberikan dan menjamin rasa aman kepada para korban 1965-1966, serta menuntut Polri untuk melindungi dan mengayomi setiap warga negara yang dijamin oleh UUD 1945. Pernyataan serupa juga disampaikan Diaspora perwakilan di masing-masing negara dan sudah ditandatangani 167 anggotanya. Pernyataan Diaspora selanjutnya akan dijadikan petisi untuk dikirim ke Lembaga Amnesti Internasional PBB dan dikirim ke Pemerintah Indonesia.
Menurut penulis, apa yang disampaikan Diaspora Indonesia sebenarnya masih tidak lengkap dan tidak berimbang, karena sejatinya pembubaran acara pertemuan generasi muda PKI di Yogyakarta tersebut disebabkan karena panitia tidak memperoleh ijin pelaksanaan kegiatan dari aparat keamanan, namun tetap berupaya menyelenggarakannya, sehingga adalah tepat juga jika penyelenggara kegiatan tersebut melanggar peraturan yang ada, dimana setiap peraturan di Indonesia merupakan pengejawantahan atau derivasi dari UUD 1945. Disamping itu, masyarakat di tempat lokasi penyelenggaraan juga kurang sepakat dan tidak menerima kegiatan tersebut dilingkungannya, karena mereka khawatir lingkungannya menjadi tidak kondusif ke depan.
Oleh karena itu, tidak elok jika Diaspora Indonesia mengeluarkan petisi atau pernyataan yang berpijak pada UUD 1945, namun dalam tataran praksisnya mereka juga melanggar UUD 1945.
Sementara itu, sebanyak 1.264 korban pelanggaran HAM hingga September 2013, menuntut bantuan medis dan konseling psikologis. Namun belum dapat direalisasikan karena belum ada pengusutan, sehingga tidak ada kepastian hukum bagi para korban kasus kejahatan HAM berat, termasuk kasus tragedi kemanusian 1965. Selain itu, lemahnya ketentuan reparasi terhadap korban dalam UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, dan minimnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap pentingnya pemberian reparasi korban.
Sedangkan, Poengky Indarti, Direktur Eksekutif Imparsial mengatakan, Kejaksaan Agung tidak beritikad baik untuk menuntaskan kasus-kasus kejahatan HAM berat dan melindungi HAM sesuai amanat reformasi. Bahkan upaya LPSK juga turut dihambat, karena para korban tidak bisa mendapat ganti rugi serta tidak ada kepastian dan putusan hukum dari hasil proses peradilan HAM yang membutuhkan peran Kejagung.
Menurut penulis, pernyataan ini adalah hak dari Imparsial yang mungkin karena visi misi organisasinya ingin berupaya “membongkar” kasus-kasus kejahatan HAM berat di Indonesia, walaupun kita tidak mengetahui secara persis agenda setting apa yang sedang dimainkan Imparsial terhadap Indonesia. Namun, sekali lagi isu-isu HAM, demokratisasi dan lingkungan hidup seringkali dijadikan titik picu oleh berbagai kelompok dalam memperjuangkan kepentingan pragmatis masing-masing, walaupun demikian upaya tersebut tampaknya kurang berhasil, karena sejauh ini Indonesia masih dipandang sebagai negara yang menghormati HAM dan menjunjung tinggi demokratisasi.
Menurut mantan Kepala BAKIN, Letjen Purn HM Soedibyo kepada penulis, aktivitas yang mencoba mengungkap kembali peristiwa G 30 S/PKI dengan tujuan membela orang-prang PKI dan pengikut PKI yang menjadi korban akan sia-sia belaka pasti akan menghadapi perlawanan kelompok Anti Komunis yang kuat di Indonesia, khususnya dari massa Islam. Reaksi dari golongan anti PKI akan lebih besar dan justru masih terus bersemanat menghancurkan PKI, karena faham komunis juga sangat laten (tahan hidup secara terselubung). Oleh karena itu, diprediksi aktivitas Poengky Indarti pasti akan menghadapi perlawanan yang lebih keras dari golongan anti PKI.
Ancaman kebangkitan komunisme sama berbahayanya dengan ancaman terorisme, karena modus operandi dan strategi kelompok teroris dengan kelompok komunis dalam rangka menebar teror ataupun menyebarluaskan ajaran atau doktrin ideologinya dengan menggunakan struktur sel atau klandestin.
Menurut mantan agen intelijen Amerika Serikat, Ulius Louis Amoss (1960) mengatakan, intelijen AS menghadapi ancaman komunisme di negaranya dimana kelompok komunis menggunakan struktur sel phantom yaitu sebuah sistem organisasi berbasis sel, tapi tidak mempunyai jalur kontrol atau perintah yang terpusat. Struktur sel phantom terus bermutasi dalam jaringan terorisme terjadi karena faktor eksternal dan internal. Faktor internal karena sifat gerakan ini adalah klandestin dan tandzim sirri (organisasi rahasia). Rasa curiga antar anggota dan ketakutan adanya penyusupan menjadi dinamika tidak terpisahkan dari gerakan terorisme.
Last but not least tidak perlu diperdebatkan lagi yaitu komunisme memang merupakan ancaman terhadap kepentingan nasional dan ideologi negara Pancasila, dan reformasi serta ruang kebebasan berdemokratisasi di Indonesia telah menjadi “pintu masuknya”.
*) Penulis adalah peneliti muda pada Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi serta Forum Dialog (Fordial)