Home / Agama / Kajian / Api Neraka Bisa Padam?

Api Neraka Bisa Padam?

Oleh: H. Derajat

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Saudaraku dan sahabatku, kembali kita membedah Kitab al-Futuhât al-Makkiyyah tulisan Mursyid kami, Syeikh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi. Gaya pembahasan tentang neraka oleh beliau yang bersifat aksidental juga diamini oleh Mursyid kami pasca beliau, Syaikh ‘Abd Al-Karîm Al-Jîlî ra., (w. 832/1428).

Pada Bab 65 al-Futuhât al-Makkiyyah Guru kami memaparkan tentang surga dan perkara-perkara yang terkait dengannya, seperti karakteristik surga, level-level penghuninya, pembagian surga menjadi tiga (surga amal, surga warisan dan surga spesial), tingkatan-tingkatan surga, gambaran bagaimana penghuni surga melihat Allah SWT di Surga ‘Adn dan hal-hal detail lainnya.

Posisi hamba ketika melihat Allah SWT tergantung pada sejauh mana ilmu dan ma‘rifah-nya tentang Allah SWT dan maqām kedekatan mereka dengan-Nya di dunia. Cahaya yang membekas pada diri para penghuni surga saat melihat Allah SWT juga berbeda-beda tergantung pada kedekatan jaraknya. Bekasan cahaya tersebut akan terbawa hingga mereka kembali ke tempat kediaman mereka di surga-surga amal.

Pancaran cahaya itu kemudian menerangi surga-surga mereka dan mewujud secara fisik hingga menambah kemegahan dan keindahannya. Tambahan kemegahan dan keindahan tersebut bisa jadi mengalahkan surga-surga para ahli amal lahiriah yang tidak memiliki ilmu dan ma‘rifah tentang Allah SWT. Di sinilah kemudian terlihat keutamaan ma‘rifah dan kedekatan dengan Allah SWT melebihi amal ibadah. Karena bisa jadi sebelumnya surga amal seorang ahli ibadah lahiriah lebih banyak dan lebih megah dari surga amal seorang ahli ma‘rifah.

Setelah mengutip kelanjutan hadits riwayat Abû Bakr An-Naqqâsy RA tentang maukif-maukif hari kiamat yang bagian awalnya disebutkan pada bab sebelumnya, Syaikh kembali menyinggung tentang rahmat Ilahi untuk penghuni surga dan neraka. Bahwa konsep tentang rahmat Ilahi bagi penghuni neraka yang membuat siksaan fisik di neraka tidak kekal, juga diamini oleh ulama-ulama tasawuf lainnya. Salah satunya adalah Syaikh ‘Abd Al-Karîm bin Ibrâhîm bin ‘Abd Al-Karîm Al-Jîlî RA.

Gambaran detail bernuansa mukâsyafah dan visi ruhani tentang surga dan neraka seperti yang ada pada kitab ini juga bisa kita temukan dalam karya fenomenal Al-Jîlî RA, al-Insân al-Kâmil fî Ma‘rifah al-Awâkhir wa al-Awâ’il bab 58 tentang al-Shûrah al-Muḥammadiyyah.

Sejalan dengan Syaikh Ibn Al-‘Arabî RA, Al-Jîlî RA juga menyandarkan konsep ini pada firman Allah SWT; “Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu” (QS. 7:156) dan hadits Rasulullah SAW tentang rahmat Allah SWT yang mendahului murka-Nya. Setelah memaparkan perspektif beliau tentang dua nash tersebut, Al-Jîlî RA berbicara tentang kemungkinan hilangnya azab di neraka:

“Ketahuilah, karena neraka adalah perkara yang bersifat aksidental dalam eksistensi, maka ia memiliki kemungkinan untuk hilang. Karena jika tidak, ia akan menjadi perkara yang mustahil. Hilangnya neraka tiada lain adalah dengan tidak adanya lagi pembakaran di sana. Ketika tidak ada lagi pembakaran di neraka maka malaikat-malaikatnya juga akan pergi. Tatkala malaikat-malaikatnya pergi, datanglah malaikat-malaikat pembawa nikmat (malâ’ikah al-na‘îm). Seiring dengan datangnya malaikat pembawa nikmat, neraka ditumbuhi tumbuhan arugula (al-jirjîr: adalah sejenis tanaman sayuran berwarna hijau yang bisa dimakan) berwarna hijau, dan warna hijau adalah warna yang paling indah di surga. Maka neraka yang sebelumnya dipenuhi dengan api yang menyala-nyala (jahîm) berbalik menjadi tempat yang nikmat dan damai (na‘îm). Tempat neraka tetap sebagaimana adanya, tetapi api yang ada di dalamnya sudah tidak ada lagi”. (‘Abd Al-Karîm Al-Jîlî, al-Insân al-Kâmil, DKI, 2016, juz 2 hal. 249).

Pada bab yang sama, Al-Jîlî RA juga memerinci tingkatan-tingkatan surga dan Nama-nama Ilahi yang ber-tajallî di dalamnya menurut sudut pandang mukâsyafah yang dibukakan Allah SWT kepada beliau.

Saudaraku dan sahabatku, pemaknaan Mursyid kami akan neraka yang bersifat aksidental, memerlukan pendalaman secara bathiniyah. Berhubung kedalaman ilmu beliau yang sudah berderajat “qurbah” telah diperlihatkan oleh Maha Pemilik alam semesta, Allah SWT. Karena itu, tak ada jalan lain untuk memahaminya kecuali dengan menenggelamkan diri kita dalam lautan dzikr dengan bimbingan para ‘Ãrifîn Billãh Ta’ãlã. Semoga Allah memudahkan jalan kita untuk menuju kepada-Nya. Ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

Wallãhu A’lamu bish-Shawãb

 

About admin

Check Also

Mengapa Harus Bulan Ramadhan?

”Mengapa Allah SWT menurunkan perintah berpuasa kepada orang-orang beriman jatuh di bulan Ramadhan?”. Oleh: Admin ...