Penulis : M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)
Peperangan asimetris atau asymmetric warfare kini kerap diperbincangkan orang dan banyak kalangan sebab dinilai sebagai kecenderungan baru dalam jagat politik dan keamanan. Tak boleh dipungkiri, bahwa kharakter, ciri, serta sifatnya lebih soft dan seolah-olah lebih murah daripada peperangan simetris (symmetric warfare) yang mutlak harus mengerahkan kekuatan militer secara terbuka lagi cenderung high cost. Kendati watak dan perilaku asimetris lebih ‘lembut – murah’ dibandingkan hingar-bingar perang simetris, namun dalam hal korban serta kerugian-kerugian yang diderita sebuah negara tidak kalah ‘besar’ akibatnya daripada kerugian dan korban pada perang secara militer. Demikian pula capaian hasil atau tujuan, tidak akan jauh berbeda antara keduanya atau mungkin sama bahkan bisa jadi lebih hebat lagi.
Istilah lain asymmetric warfare yang mengemuka selain disebut perang non militer, dalam bahasa populer juga dinamai smart power, atau perang non konvensional, irreguler dan lain-lain. Berdasar penelusuran di berbagai literatur, inti dari definisi asymmetric warfare bisa dirangkum sebagai berikut:
“suatu model peperangan yang melibatkan dua aktor atau lebih, dikembangkan melalui tata cara tidak lazim di luar aturan perang konvensional. Memiliki spektrum dan medan tempur yang luas meliputi hampir di setiap aspek astagatra (geografi, demografi, sumber daya alam/SDA, ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya, dll)”.
Barangkali inilah benang merah asymmetric warfare yang NETRAL. Pertanyaanya: kenapa netral, apakah ada definisi yang tidak netral atau tendensius?
Dewan Riset Nasional (DRN), 2008, Jakarta misalnya, menekankan asymmetric warfare lebih kepada keadaan dimana ada ketidakberimbangan kekuatan antara aktor-aktor yang berkonflik. Kemudian substansi pengertian menurut Wikipedia.com, 2 Juli 2013, hanya menyoroti perbedaan kekuatan dan strategi atau taktik yang berbeda. Sedangkan Robert Tomes, 2004, dalam buku Relearning Counterinsurgency Warfare, Parameter, US Army War College lain lagi. Ia lebih spesifik mendefinisikan perang asimetris, karena selain melihat perbedaan para aktor yang berkonflik juga mencermati cara berinteraksi dan upaya saling mengeksploitasi kelemahan-kelemahan lawan. Sudah barang tentu hal tersebut terkait dengan strategi dan taktik perang unconvensional.
Selanjutnya Land Warfare Doctrine 1, 2008, The Fundamentals of Land Warfare, Australia’s Department of Defence, cenderung menekankan tentang kemunculan asimetris. Asimetris dapat pula diartikan dengan perbedaan tujuan, komposisi pasukan, kultur, teknologi dan lain-lain. Artinya tatkala ada perbedaan perbandingan antara pihak-pihak yang berperang maka disitu asimetris akan lahir.
Hingga kini, belum ada pengertian baku yang dapat dijadikan referensi tunggal perihal asymmetric warfare. Masih debatable, beragam definisi, terdapat aneka penafsiran baik arti, maksud maupun bagaimana perang asimetris itu sendiri.
Ketika beberapa literatur mencoba memberi contoh bahwa perang asimetris itu semacam “perlawanan” al Qaeda terhadap Amerika Serikat (AS), atau penembakan-penembakan anggota Polri oleh orang tak dikenal (OTK) —-bukannya salah— menurut hemat penulis kok kurang tepat. Walau pendapat apapun soal asimetris, sebenarnya syah-syah saja, wong namanya juga kebebasan berpendapat. Akan tetapi penulis tidak ingin terjebak debatisasi, atau saling menyalahkan, merasa benar sendiri, dan lainnya, oleh karena kebenaran ilmu dan pengetahuan sifatnya juga nisbi, relatif dan masih bergerak sesuai tuntutan zaman. Alasan pokok kenapa demikian, sebab jika sebuah peperangan dianalogikan sebagai “sistem”, maka dua contoh peristiwa di atas cuma sebatas metode belaka. Ya, bahwa penembakan dan teror hanya ujung terakhir (hilir) dari sebuah sistem. Bukankah di dalam sistem itu ada unsur man power, ada manajemen, ‘mesin’, materil, terdapat marketing, ada metode, dll? Pertanyaan lagi: bagaimana disimpulkan sebuah sistem (asimetris) jika yang dikaji hanya cara dan metode (al Qaeda dan OTK)-nya saja?
Sekali lagi, terlalu sederhana —jika tidak boleh mengatakan didangkalkan— memberi contoh perang asimetris melalui kedua peristiwa di atas. Penulis cenderung sepakat bila dua contoh tadi dinilai sebagai tindakan (taktik) gerilya. Entah itu gerilya kota, hutan, gerilya teknologi, dan lain-lain. Motivasi gerilya memang bermula dari ketidakseimbangan kekuatan berbagai sumberdaya antara pihak-pihak yang saling bertikai. Inti ilmunya: “memukul lawan disaat ia lengah dan lemah!”.
Seandainya kita menelan bulat-bulat gambaran permisalan atas ‘perjuangan’ (al Qaeda dan OTK) tanpa kritik sama sekali, niscaya akan terkesan, bahwa asymmetric warfare seolah-olah hanya domain, atau cara —perlawanan— yang berasal dari kelompok miskin, bangsa terjajah, golongan marginal, dll terhadap atau melawan kelompok kaya, kaum kolonial, atau negara-negara lebih kuat dan lebih super daripadanya. Bukankah di era kini, justru peperangan asimetris —atau smart power— menjadi pola favorit di kalangan negara kolonial Barat guna melebarkan sayap imperialisme di negara-negara ‘target’?
Menyimak perdebatan tentang apa dan bagaimana peperangan asimetris terjadi, selayaknya ditelusuri dulu asal muasal kenapa ia ada (being), nyata (reality) dan berada (existance). Tak bisa tidak. Ini penting, mengingat urgensi peranan “sesuatu” dari perspektif filsafat mutlak harus menyatu unsur ketiganya. Ada-nyata-berada. Sesuatu yang ada pasti nyata dan yang nyata niscaya berada, berperan, berekspresi, dan lain-lain. Bila sesuatu yang ada namun tidak nyata, pasti tidak memiliki peran sama sekali.
Mimpi misalnya, ia ada tetapi toh tak nyata. Karena tatkala orang terbangun maka mimpi pun bubar. Sekedar bunga tidur semata. Tak memiliki peran signifikan (mimpi) dalam kelanjutan kehidupan orang. Entah bagi individu-individu atau sosok tertentu yang tergolong sakti, “waskita”, atau weruh sak durunge winarah —- katanya mimpi bisa merupakan isyarat, wangsit, petunjuk, dll. Banyak contoh. Tetapi tulisan ini tidak membahas hal yang sifatnya transendental. Entar dikira dukun!
Latar belakang uraian asymmetric warfare adalah kecenderungan perubahan atas pola dan model (pattern) kolonialisme di abad XXI dari hard power menjadi smart power. Tak kurang, Wakil Menteri Pertahanan RI Sjafrie Samsoedin, Senin (14/3) mengatakan, dunia strategi dan pertahanan sedang memasuki babakan baru, yakni perang asimetris. ”Kita harus menanggalkan cara berpikir perang konvensional. Banyak hal yang terjadi tanpa disadari adalah dampak perang asimetri. Media digunakan sedemikian rupa mengumbar sensasi. Perang asimetri itu bukan menghadapkan senjata dengan senjata atau tentara melawan tentara”.
Selanjutnya maksud hard power ialah symmetric warfare yang kharakternya lebih mengkedepankan kekuatan militer secara terbuka daripada tata cara lain. Ini ciri perang konvensional sejak dahulu kala. Kemudian istilah-istilah semacam hard power, atau symmetric, peperangan militer, dan lainnya akan digunakan penulis bergantian karena secara makna tidak berbeda. Dan sebagai tambahan, kebalikan dari hard power adalah smart power, atau perang non militer yaitu asymmetric warfare itu sendiri.
Bombardier, Kavaleri dan Infanteri
Sebagaimana tulisan terdahulu, kecuali berbagai model perang gerilya, maka manuver militer modern dimanapun pada peperangan simetris (militer) pasca intelijen memberi input awal (prakiraan) perihal mapping sasaran, pola lazimnya diawali bombardier oleh pesawat-pesawat tempur guna mengacaukan dan melumpuhkan wilayah target. Inilah tahap permulaan.
Setelah daerah sasaran porak-poranda, kacau-balau, atau melemah akibat serbuan pesawat, maka tank-tank kavaleri mengambil alih manuver untuk mempertebal serangan secara detail, terutama di titik-titik yang masih berdaya tatkala serangan bombardier belum dapat melumpuhkan lawan atau daerah target. Ini tahapan kedua.
Sedangkan tahap terakhir ialah masuknya infanteri untuk menduduki wilayah. Dalam sebuah pertempuran, manakala pasukan infanteri telah masuk di daerah operasi, itu merupakan indikasi bahwa tahap akhir daripada inti peperangan tengah dijalankan, meski tak menutup kemungkinan peranan angkatan udara (bombardier) dan kavaleri masih diperlukan. Itulah pola lazim peperangan simetris secara garis besar oleh militer dimana pun.
Hasil diskusi terbatas di Global Future Institute (GFI), Jakarta (17/1/2013), dengan merujuk beberapa literatur dan artikel sejarah, ditemukan tahapan tak kalah penting dalam sebuah peperangan yang bertujuan menjajah bangsa lain. Artinya selain dijumpai ketiga pola di atas —bombardier, kavaleri dan infanteri— temuan GFI ini boleh dianggap sebagai model berulang dalam kolonialisme, yaitu ‘pengaburan atau pembengkokan sejarah’ bagi negara yang dijajah.
Adapun langkah pengaburan sejarah suatu bangsa tadi melalui beberapa tahap. Pertama, penghancuran bangunan fisik bangsa terjajah agar generasi baru tidak dapat menemui, mengenang, atau menyaksikan bukti-bukti atas kejayaan nenek moyangnya, sehingga otomatis selain tak mampu menarik hikmah dan nilai-nilai emas histori, juga tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Kedua, memutus hubungan histori dengan leluhur melalui penciptaan stigma dan opini bahwa nenek motangnya dulu bodoh, tidak beradab, primitif, dan lain-lain. Ketiga, dibuat sejarah baru versi penjajah. Inilah pola berulang dalam kolonialisasi.
Pendudukan militer Paman Sam dan sekutu di Irak merupakan contoh aktual soal pemutusan histori bangsa. Oleh karena pasca Presiden Saddam Hussein digantung (2007), maka semua situs-situs kuno, perpustakaan, pusat sejarah dan kebudayaan Irak dihancurkan oleh tentara koalisi pimpinan Amerika Serikat (AS). Bisa ditebak, generasi Irak yang lahir dekade 2000-an niscaya tidak akan dapat mengenali dan sulit menemukan bukti-bukti kejayaan ‘Negeri 1001 Malam’. Betapa hampir seluruh peninggalan sejarah dimusnahkan, nyaris tak ada sisa!
Demikian pula bagi negara dan wilayah-wilayah lain yang menjadi obyek jajahan. Kisah suku Indian di Benua Amerika misalnya, selain terusir dari tanah leluhur, dirampas hasil buminya, distigma pula sebagai kaum suka perang, haus darah, tidak beradab dan lain-lain. Ketika dulu (mungkin kini masih) menonton film cowboy, kemudian tanpa sadar penontonnya bertepuk tangan senang tatkala menyaksikan suku Indian dikejar dan dihalau oleh kaum imigran (cowboy), maka boleh dikatakan bahwa mindset dan culture set kita telah ‘tersihir’ serta terseret arus agenda yang diciptakan oleh Barat. Betapa dahsyat peran media. Inilah yang tengah berlangsung dan sungguh memprihatinkan, justru banyak elemen berbagai bangsa tidak menyadarinya.
Ada retorika menggelitik: bagaimana generasi Indonesia bisa melihat kebenaran atas kejayaan Sriwijaya dan Majapahit wong sudah sekian abad dijajah oleh asing? Jangan-jangan sejarah nusantara di buku-buku sekolah juga versi kaum penjajah?
Isue, Tema dan Skema
Mengurai lebih jauh perang non miiter pada catatan ini, maka pola perang simetris (militer) sebagai pedoman awalnya. Artinya, breakdown dan pembahasan asymmetric warfare melalui analog atas pola symmetric warfare sebagaimana diurai sekilas tadi. Pertanyaannya: bukankah ilmu, teori, dll diketemukan manusia —salah satunya— melalui penelitian (research) serta analogi peristiwa?
Tersirat memang ada kesamaan kharakter antara peperangan simetris dengan model perang asimetris (non militer). Bombardier di awal serangan contohnya, dalam asimetris identik dengan tebaran atau pelemparan isue-isue di suatu wilayah yang hendak ditarget. Semacam bombardier tetapi melalui rumor, hasutan, berita, isue, kejadian, ‘penciptaan kondisi’, dll. Inilah awalan. Contoh Arab Spring kemarin, negeri target semacam Tunisia, Yaman, Mesir dan lain-lain diterpa dahulu dengan aneka isue demokrasi, korupsi, kemiskinan, pemimpin tirani, secara gegap gempita melalui berbagai media dan jejaring sosial sehingga dalam benak rakyat hanya ada satu kata: “rakyat menjadi miskin akibat bercokol rezim tirani dan koruptif”. Inilah penciptaan opini.
Tahap berikut dalam manuver simetris pasca bombardier ialah masuknya kavaleri. Manuver tank-tank kavaleri sebagai penebalan serangan, dalam analog asimetris dimaknai sebagai TEMA. Secara empiris, Arab Spring atau Musim Semi Arab yang melanda Jalur Sutera merupakan “tema gerakan” via kekuatan massa setelah opini dibentuk sebelumnya melalui isue-isue yang digencarkan media, jejaring sosial, dan lain-lain.
Tahap terakhir dalam peperangan secara militer ialah masuknya pasukan infanteri ke wilayah target. Pada analog asimetris atau non militer, manuver infanteri ini disebut SKEMA gerakan. Inilah inti strategi peperangan yakni ‘pendudukan’ wilayah (sasaran) target. Pendudukan dalam konteks asimetris ialah penguasaan (ekonomi) negara dimaksud serta pencaplokan SDA via perubahan —kudeta— rezim sebagai titik mula. Lengsernya Ben Ali di Tunisia, Abdullah Ali di Yaman, Mobarak dan seterusnya cuma kunci pembuka skema untuk penguasaan ekonomi yang lebih luas.
Hal lain yang perlu dicatat, bahwa geliat penguasaan ekonomi niscaya berimplikasi juga terhadap pemberdayaan sumberdaya alam (SDA) menjadi hardcash. Itu mutlak. Maka wajar jika kebanyakan negara koloni merupakan daerah serta jalur-jalur kaya SDA sebagaimana kelompok negara di lintasan Silk Road atau Jalur Sutera (Asia Tengah, Timur Tengah dan Afrika Utara). Oleh sebab mencaplok SDA negara dimaksud identik menguasai ekonominya, demikian sebaliknya.
Dengan demikian, apapun asymmetric warfare di muka bumi, bahwa isue-isue dan tema boleh bervariasi serta beragam warna, akan tetapi SKEMA tidak akan berubah sepanjang masa, bahkan identik dengan tujuan symmetric warfare dimana inti skema selalu ‘satu tarikan nafas’ antara penguasaan ekonomi dan pencaplokan SDA. Bedanya hanya soal penggunaan peluru (symmetric) dan tanpa mesiu sama sekali (asymmetric).
Dalam kenyataan empiris, antara perang militer dan non militer lazimnya berpola menurut kharakter masing-masing. Namun sering pula keduanya bersinergi secara simultan dengan intensitas berbeda. Gejolak politik (Arab Spring) di Jalur Sutera dan gerakan reformasi di Jakarta dekade 1998-an adalah contoh aktual atas implementasi tersebut. Meski samar namun toh masih terbaca. Mana sinergi, siapa berpola tunggal. Siapa duluan, pihak mana yang mengakhiri, dll.
Berikut akan digambarkan sepintas terkait komparasi budget seperti disinggung pada awal tulisan ini. Pertanyaannya: apakah peperangan asymmetric lebih murah dari aspek biaya daripada symmetric warfare? Memang belum ada studi ataupun belum ditemui data perbandingan secara spesifik. Alasan pokok kenapa trend kolonial sekarang bergeser dari hard power ke smart power, salah satu urgensinya karena perang non militer dinilai lebih murah daripada hingar-bingar hard power yang belum tentu menjamin kemenangan, sebagaimana kegagalan militer AS dan sekutu sewaktu menginvasi Afghanistan dan Irak.
Selanjutnya arti murah disini bukan bermakna rendahnya cost, sedikit budget dalam menjalankan peperangan non militer, bukan itu maksudnya. Olah smart power yang cenderung non kekerasan —manuver tanpa asap mesiu— tampaknya favorit dalam model kolonialisasi di tengah gaduh demokrasi, HAM dan isu-isu lingkungan.
Hal yang perlu dicermati pada kancah peperangan asimetris —sebenarnya perang simetris pun demikian— adalah kuat dan berperannya (pemanfaatan) media massa serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam geliat konstalasi, terutama para LSM dan media (mainstream) yang berafiliasi kepada asing. Maksud afiliasi disini selain memiliki link up ke luar, khususnya kelompok LSM tertentu yang memperoleh gelontoran dana dari asing. Itu alasan utama. No free lunch. Entah sponsornya negara, LSM donor, person, lembaga internasional, dll maka kiprah LSM dimaksud niscaya tidak lagi netral dalam mengemban aspirasi (rakyat), sebaliknya mungkin akan sarat (pesanan) kepentingan dari pihak sponsor.
Ciri menonjol lain yang mutlak diwaspadai, bahwa LSM dan media di atas memiliki kecenderungan menghadapkan —kalau tidak boleh disebut mengadu domba— antara pemerintah versus rakyatnya melalui “kompor” media massa, sehingga pesan yang disampaikan cenderung mengeksploitasi benih-benih ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan yang diterbitkan, ataupun kegagalan serta penyimpangan program-program pemerintah. Secara lebih detail, merujuk hasil diskusi terbatas GFI (19/9), pimpinan Hendrajit, pihak LSM sengaja menciptakan isu untuk djadikan agenda. Kemudian agenda berubah program dan ujungnya (proposal) proyek. Tapi ini mekanisme intern, tak dibahas dalam catatan ini.
Kembali ke topik smart power. Dalam tataran ISUE misalnya, tidak sedikit LSM yang didirikan, atau media online tertentu di-launching hanya untuk melayani kepentingan asing melalui menyebarkan isue guna membentuk opini publik. Atau seringkali isue dihembuskan oleh “sosok ciptaan”, kemudian sosok tersebut diherokan berbagai media seakan-akan (dicitrakan) berani melawan hegemoni Barat padahal justru ia sendiri bekerja untuk kepentingan Barat. Inilah false flag operation yang tidak disadari banyak elemen bangsa-bangsa di dunia.
Lain LSM bidang “isue”, lain pula LSM yag mengawaki TEMA. Bahkan dalam rangka mengusung sebuah “tema”, bukan sekedar memakai LSM saja, tetapi sering pula diawaki lembaga non pemerintah —institusi ekstra-yudisial, komisi, dan lainnya— yang proses pendiriannya atas inisiasi asing atau lembaga donor berkedok capacity building, pengawasan, dan seterusnya.
Sedangkan untuk operator SKEMA kolonial biasanya elit tertentu ataupun (komprador) pejabat yang sengaja ‘ditanam’ pada departemen atau kementerian-kementerian strategis. Kenapa demikian, oleh karena komprador inilah yang kelak menelorkan berbagai kebijakan pemerintah namun pro asing. Maka terdapat fenomena pada institusi dan lembaga tertentu yang dianggap strategis, khususnya institusi terkait food and energy security banyak dijadikan sarang serta “peternakan” bagi asing.
Selanjutnya akan digambarkan secara sederhana bekerjanya isu, tema dan skema dalam asymmetric warfare serta bagaimana ia diawaki. Kiranya anatomi ringkas tentang Arab Spring di bawah ini, mampu menjawab keremangan pemahaman tentang peperangan non konvensional selama ini.
Tak dapat dipungkiri. Tatkala ‘Musim Semi Arab’ menggoyang Jalur Sutera, ternyata “isue”-nya ditebar oleh Julian Assange lewat WikiLeak. Siapa tak kenal Assange? Kemudian “tema” gerakan adalah aksi massa non kekerasan diusung oleh Central Applied Non Violence Action and Strategies (CANVAS), anak organisasi National Endowment for Democracy (NED), LSM milik Pentagon. NED kerap dijuluki sebagai LSM spesial ganti rezim; sedang eksekusi “skema” diawaki Mohamad Morsi melalui kendaraan Ikhwanul Muslimin.
Adakah link up antara Assange, NED dan Morsi? Belum ditemui data dan informasi pasti, hanya upaya-upaya mereka sepertinya “disatukan” oleh media mainstream. Inilah bukti keadaan (circumstance evidence) yang harus disimak. Tak bisa tidak. Bukti keadaan tersebut mirip upaya tiga faksi pemberontak di Syria ketika berusaha menggusur Bashar al Assad. Mereka terkesan terpecah belah, tetapi sesungguhnya saling bekerjasama pada penciptaan opini publik: “betapa kejam dan brutalnya rezim Assad dalam membantai rakyatnya sendiri”. Dengan kata lain, ada invesible hand meremot dinamika konflik Syria dari kejauhan agar para pemberontak tetap satu tujuan meskipun berbeda cara dan jalan.
Pertanyaan lagi: apakah pelembagaan isu, tema dan skema tersebut tanpa biaya? Tentunya tidak. Dalam asymmetric warfare yang melanda Indonesia di bidang tembakau misalnya, kampanye (penyebaran isue) anti rokok yang dikeluarkan Bloomberg Initiative relatif besar. Ini sebagain kecil datanya:
(1) Dinas Kesehatan Kota Bogor: 228.224 dolar AS 2009-2010; (2) Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: 280.755 dolar AS 2008-2010; (3) Dirjen Pengendalian Penyakit Tidak Menular: 529.819 dolar AS 2008-2010; (4) Komnas Perlindungan Anak Indonesia: 455.911 dolar AS dan 210.974 dolar AS 2008-2010; (5) Swisscontact Indonesia: 360.952 dolar AS 2009-2011; (6) Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI): 454.480 dolar AS 2008-2010; (7) Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA): 366 dolar AS 2010-2012, dan lain-lain.
Data soal pendanaan untuk pelembagaan isue-isue di atas, belum termasuk fatwa haram merokok yang konon juga tidak gratis. Sesuai dokumen GFI dalam pernyataan sikapnya (5/7/20120), ternyata Indonesia Corruption Watch (ICW) pun menerima USD 45.470. Luar biasa!.
Dari data-data ini dapat dibaca, bahwa salah satu serangan asimetris asing —baru salah satu lho, banyak sektor lainnya— terhadap perekonomian Indonesia melalui skenario penghancuran industri rokok dan petani tembakau sesungguhnya ‘satu komando’ dan sistematis karena melibatkan lintas elemen bangsa di internal negeri. Mereka tahu, atau pura-pura tidak tahu karena turut menikmati? Bukankah secara koridor, aktivitas ICW di luar ranah kampanye anti rokok? Ada alasan pembenar memang, bahwa gelontoran dana ke ICW dikemas dalam paket kampanye good governance terkait transparansi dan akuntabilitas pemerintah soal kebijakan tembakau.
Analisa Karen Brooks mungkin dapat dijadikan rujukan akhir untuk menyudahi bahasan tentang asymmetric warfare ini. Ia mengisyaratkan, bahwa Arab Spring di Mesir sejatinya belajar dari aksi-aksi massa di Jakarta pada 1998-an yang berujung ambruknya rezim Orde Baru.
Agaknya telaahan Brooks, disamping informatif, inspiratif, mutlak masih perlu ditelusuri lebih tajam terkait perkembangan situasi dahulu, kini dan kedepan. Maknanya telah jelas kok. Jika Arab Spring yang dalam kajian ini dinilai sebagai asymmetric warfare yang digelar Barat di Jalur Sutera, bukankah pola NED sewaktu mengoyak Mesir itu meniru pola arus reformasi di Jakarta? Maka tidak sulit jika berniat membuka tabir lengsernya Pak Harto dulu. Ya. Bahwa gelombang reformasi yang melanda Indonesia beberapa dekade yang lalu tersirat sebagai pagelaran peperangan non militer yang dilancarkan oleh Barat dengan difasilitasi oleh lakon lokal dan dibantu elemen-elemen internal di republik ini, berbahan isu Anti-Korupsi, Anti-Kolusi, Anti-Nepotisme (Anti-KKN) yang ketika itu marak terjadi (sekarang justru lebih marak lagi). Sadarkah kita?
Demikianlah gambaran sederhana tentang apa dan bagaimana asymmertic warfare itu berlangsung. Contoh dan permisalan mungkin ada yang tidak detail, kurang lengkap, kurang menggigit, atau mungkin kurang pas. Mohon dimaafkan. Dipersilahkan mencari dan menganalogkan sendiri pada aspek lainnya. Yang ingin penulis tekankan adalah, bahwa peperangan non militer bukanlah domain kaum miskin, atau semata-mata ‘milik’ negara kecil, kelompok marginal, dll guna melawan golongan yang dianggap lebih kuat daripadanya, sebagaimana ilustrasi di awal tulisan soal aktivitas OTK dan al Qaeda. Bukan! Tidak begitu. Akan tetapi seperti halnya peperangan konvensional yang menggunakan kekuatan militer, perang non militer juga sebuah “sistem” dalam peperangan, hanya sifat dan karakter tempurnya selain soft tanpa bunyi peluru, non kekerasan, juga spektrum dan medan perangnya luas terbentang.
Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.