Hari ini adalah peringatan 15 tahun aksi teror spektakuler 9/11 yang dilakukan 19 orang dari kelompok pelaku bunuh diri dengan membajak empat pesawat AS. Teror yang dilakukan pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai peristiwa 911, dimana pembajak menabrakkan dan mampu meruntuhkan menara kembar World Trade Center di New York yang merupakan simbol keperkasaan ekonomi AS, disamping juga Pentagon sebagai Markas Pertahanan.
Disebutkan warga dan pemerintah AS menangis dan marah, dan dimulailah operasi kontra teror untuk mengejar siapa dibalik itu semua. Dalam mengikuti pembacaan aksi teror maupun kontra teror, hanya bisa dilakukan dengan disiplin ilmu intelijen, karena disitulah teror sebagai sebuah mazhab ideologis bermukim sebagai bagian (sarana) dari fungsi intelijen penggalangan (conditioning).
Dalam dunia intelijen dikenal istilah intelijen taktis dan strategis. Untuk memenangkan sebuah pertempuran, yang dipergunakan adalah intelijen taktis. Sementara intelijen strategis dipergunakan untuk memenangkan peperangan, terdiri dari sembilan komponen intelstrat (komponen ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, biografi, demografi dan sejarah).
Dari sisi Intelstrat, menilai sebuah kasus saat bermain dalam dunia politik, nafas gerakannya dikenal sebagai “the art of possible”, dimana kepentingan menjadi muara dari segala gerakan. Selama kepentingannya sama, semua bisa diatur. Tetapi apabila kepentingan berbeda semua bisa saling bermusuhan. Dilain sisi, dalam dunia terorisme, nafasnya adalah “the art of impossible”. Sebelum kasus 911, tak seorangpun pernah berpikir akan ada segelintir orang yang nekad menerbangkan dan menubrukan pesawat ke WTC hingga runtuh. Semua pihak awalnya akan berpikir “impossible”, tapi nyatanya “possible”.
Lima Belas Tahun Setelah Serangan
Pada setiap mendekati tanggal 11 September, para pemimpin kelompok Al-Qaeda selalu mengeluarkan pernyataan melalui media sosial. Pada hari Jumat (9/9/2016) pemimpin tertinggi Al Qaeda, Ayman al-Zawahiri muncul dalam sebuah video online menjelang ulang tahun ke 15 serangan 9/11 yang mereka akui. Zawahiri menyebut serangan mematikan dahulu itu sebagai sebuah “tamparan” ke AS dan sekutu-sekutunya.
Sebelumnya, dalam pesan audio yang dirilis AFP dua hari setelah ulang tahun ke-12 (2013) serangan 9/11, Ayman al-Zawahiri mengatakan Amerika bukanlah “kekuatan mistis ” dan bahwa para mujahidin, pejuang suci Islam itu di tanahnya sendiri bisa mengalahkannya dengan serangan. Zawahiri (biasa dipanggil juga Zawahri) sebagai pucuk pimpinan Al-Qaeda, kepalanya dihargai USD 25 juta oleh pemerintah AS, diyakini kini bersembunyi di wilayah perbatasan Pakistan – Afghanistan, atau di Afrika Utara. Belajar dari penyergapan Osama bin Laden, dia selalu bergerak.
Dikatakannya, pada 9 September 2016, “Kami selalu menandai setiap hari yang berlalu selama 15 tahun sejak serangan ke Washington, New York dan Pennsylvania,” kata Zawahiri dalam video yang diterjemahkan oleh kelompok Intelijen SITE. Selain itu dia mengeluarkan ancaman ke AS, menyatakan, “Selama anda terus melanjutkan kejahatan, maka peristiwa 11 September akan diulang seribu kali, dan Allah akan mengizinkan,” tegasnya.
Direktur CIA, John Brennan mengatakan dalam sebuah wawancara baru-baru bahwa kekuatan al-Qaeda telah “berkurang” melalui upaya kontraterorisme agresif pihaknya, tetapi ditegaskannya tentang Al Qaeda, “Still a very serious concern and threat, and the core of al-Qaeda – Zawahiri and others of that ilk – still think of the West as the major enemy.” Brennan percaya bahwa mereka masih menganggap Amerika Serikat tetap sebagai sasaran prinsip seperti yang dikatakannya di West Point.
Kini, warga dan pemerintah AS semakin tidak nyaman dengan munculnya ISIS yang kini bernama Islamic State. Setelah serangan 9/11, Presiden AS George Bush menetapkan pengejaran pemimpin Al-Qaeda dengan menyerang pemerintahan Taliban di Afghanistan. Bush mengatakan peristiwa runtuhnya menara kembar WTC pada peristiwa serangan teroris 9/11 sebagai perang pertama pada abad ke-21.
Sejak itu, maka kampanye melawan terorisme global merupakan tujuan utama kebijakan luar negeri dan pertahanan AS, dan tujuan-tujuan internasional lain akan berada dibawah tujuan besar ini. Sejak itulah operasi besar pengejaran terhadap Osama bin Laden dilakukan, tokoh yang dianggap bertanggung jawab. Menlu AS yang saat itu dijabat Collin Powel bahkan mengatakan lebih serius, pemerintah AS akan mengejar kekuatan dibalik serangan tersebut yang disebutnya sebagai “along and bloody war”.
Bush menyatakan perkiraan bahwa operasi kontra teror, hanya berlangsung lima tahun, paling lama satu dekade. Tetapi ternyata dia salah. Hingga kini AS terus terancam oleh aksi teror, baik oleh sel Al-Qaeda, Islamic State maupun simpatisan yang melakukan teror, dikenal sebagai serigala tunggal (lone wolf).
Presiden Amerika Serikat, Barack Obama mengatakan perlawanan terhadap kelompok yang menyebut dirinya Islamic State mengalami kemajuan. ISIS bukan tidak tak terkalahkan, katanya. Dikatakannya juga bahwa dalam sebelas bulan terakhir, sebanyak 25.000 teroris IS terbunuh, serta dimana dalam waktu setahun sebelumnya 20.000 lainnya telah tewas. Jenderal McFarlan, Panglima Komando Pasukan Koalisi Perlawanan terhadap IS mengatakan, kekuatan Islamic State kini jumlahnya diantara 15-30.000 orang yang tersebar di Suriah dan Irak.
Tetapi, Presiden Obama memperingatkan bahwa kelompok itu masih tetap merupakan ancaman, “The possibility of an actor who acts alone or in a small cell that kills people is real,” katanya. Mereka telah mengaktifkan sel di AS dan ada signal mereka akan aktif menyerang di luar negeri.
Kepala BIN Baru dan Ancaman Teror di Indonesia
Penulis baru menulis tentang pemilihan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang baru dilantik (Komjen Pol Budi Gunawan), yang sebelumnya menjabat sebagai Wakapolri, dikaitkan dengan peristiwa serangan WTC 11 September 2001. Mengapa? Penulis ingin Budi Gunawan melihat kadar ancaman teror global yang semakin berbahaya.
Dalam peristiwa 9/11, rakyat dan pemerintah AS demikian terguncang oleh aksi teror yang sukses menyerang simbol pusat perekonomian Amerika yang demikian terjaga kuat, juga kekuatan militer pertahanan maupun intelijen. Toh, beberapa belas pelaku teror mampu menerobos rintangan sekuriti penerbangan, melakukan desepsi kontra teror, dan membuat perencanaan spektakuler. Ini artinya Amerika kecolongan? Kira-kira begitu, WTC pernah coba di bom tetapi tidak sukses. Konsep pesawat sebagai bom bakar ternyata tidak masuk agenda pengawasan ketat dari badan intelijen AS.
Nah, dengan perkembangan ancaman teror masa kini, badan intelijen AS kemudian lebih diberdayakan dan menjadi penjuru dalam mengantisipasi ancaman teror dan ancaman keamanan nasional lainnya. Washington Post menyiarkan pembocoran informasi dari mantan kontraktor intelijen Edward Snowden tentang adanya black budget intelijen sebesar USD 52,6 miliar, yang memetakan lanskap birokrasi dan operasional yang belum pernah tunduk pada pengawasan publik. Ringkasan Snowden menjelaskan tentang teknologi intelijen terdepan, perekrutan para agen komunitas intelijen AS, yang berjumlah 107.035 karyawan dan operasi intelijen yang sedang dilaksanakan.
Direktur Nasional Intelijen, James Clapper Jr R. Menyatakan, “Amerika Serikat telah melakukan investasi yang cukup besar dalam Komunitas Intelijen sejak serangan teror 9/11, mencakup juga perang di Irak dan Afghanistan, Arab Spring, proliferasi senjata pemusnah massal teknologi, dan ancaman asimetris dari perang cyber,” ungkapnya. Dokumen Snowden menggambarkan konstelasi intelijen bertugas melacak jutaan target surveilans dan melaksanakan operasi yang mencakup ratusan serangan yang mematikan .
Mereka diorganisir dalam lima prioritas yaitu, memerangi terorisme, menghentikan penyebaran senjata nuklir dan konvensional lainnya, memperingatkan para pemimpin AS tentang peristiwa penting di luar negeri, menangkal spionase asing, dan melakukan operasi cyber. Setelah serangan 11 September 2001, pemerintah AS telah menghabiskan anggaran sebesar USD 500 miliar dimana dikatakan bahwa AS berhasil menangkal ancaman teroris. Dan hasilnya menurut data Snowden adalah terbentuknya kekaisaran intelijen, sebuah kerajaan yang melampaui kemampuan musuh dan negara manapun. Itulah AS yang sadar bahwa terorisme adalah ancaman bagi negaranya, hanya bisa diantisipasi oleh intelijen yang kuat.
Bagaimana dengan Indonesia masa kini dan kedepannya terkait ancaman teror dan keamanan nasional lainnya. Bagaimana dengan posisi BIN yang seharusnya ditempatkan sebagai sebagai penjuru? Dalam penanganan terorisme, ada tiga institusi yang menangani aktif pada saat ini, yaitu BNPT, BIN dan Polri (baca Densus 88). Teror harus ditempatkan sebagai sebuah ancaman serius terhadap negara. Yang terjadi di Indonesia saat ini adalah semacam tindakan kriminal beberapa kelompok dan mulai lebih aktif di kontrol dari luar negeri.
Perang teror yang saat ini terjadi di Suriah dan Irak sudah merupakan sebagai gerakan insurgency, membentuk negara. Maka perang yang berlangsung adalah pengerahan kekuatan militer dengan penjuru badan intelijen. Titik rawan Islamic State adalah tidak dimilikinya pertahanan udara dan alutsista udara. Disitulah mereka dengan mudah dihancurkan hingga dalam dua tahun perang menurut Obama 45.000 penempur mereka tewas.
Oleh karena itu, para pejabat yang menangani masalah teror di Indonesia, bukan sekedar mengedepankan deradikalisasi, anti radikalisasi saja, tetapi dibutuhkan ketegasan dan kesiapan aturan, UU yang segera berjalan tanpa debatable apabila terjadi peningkatan signifikan ancaman terorisme. BNPT sebagai badan yang bertanggung jawab dalam penanggulangan terorisme sebaiknya diperkuat sisi intelijennya, bukan hanya meninjau dan memperkuat penanggulangan terorisme dari sisi agama, psikologi, sosiologi dan, hukum . Intelijen meneliti dari sisi yang komprehensif sehingga hasilnya utuh tidak sepenggal-sepenggal. Apakah BNPT bisa mendapat informasi intelijen dari badan lainnya? Agak diragukan juga.
Suatu hal yang positif dalam penanggulangan teror dengan duduknya Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai Kepala BIN, karena link dengan Polri, dimana Kapolrinya (Jenderal Pol Tito Karnavian) adalah seorang pakar Terorisme. Penulis perkirakan kerjasama BIN-Polri mendatang akan lebih erat dan lebih mampu memetakan ancaman teror di Indonesia. Sebagai catatan, Densus 88 jelas membutuhkan analisis intelijen dari sisi ancaman, lebih luas dibandingkan hanya sebagai tindak kriminal saja. Kini, informasi intelijen bisa didapat dari BIN dengan lancar pastinya.
Nah, khusus untuk Kepala BIN yang baru, penulis ucapkan selamat bertugas, amanah di Pejaten itu jelas sangat berat dan selalu mudah disalahkan. Apabila terjadi serangan teror misalnya, maka intelijen dituduh tidak berbuat. Badan intelijen Perancis juga dikatakan kecolongan dengan serangan Bataclan, demikian juga Belgia dengan serangan di Bandara Brussel, Turki juga kecolongan dengan aksi teror di Bandaranya, Jakarta dengan teror di Thamrin. BG harus siap disalahkan karena ada pandangan berbagai pihak soal kapabilitas.
Dalam uraian diatas panjang lebar penulis menyampaikan besarnya ancaman khusus terorisme. Belum lagi apabila dibahas, asimetris war, proxy war, currency war, dal lain-lain ancaman clandestine yang juga porsi BIN. Sebagai penutup disampaikan bahwa analisa intelijen itu adalah kegiatan yang sangat sulit, dan pada akhirnya akan merupakan sebuah prediksi. Karena itu banyak dan luas yang harus ditangani Budi Gunawan. Sukses selalu demi bangsa dan negara. Bravo!
Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan, Analis Intelijen, www.ramalanintelijen.net