بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Taqiyuddin as-Subki (683 – 756 H) seorang hakim agung (Qâdhil Qudhât) sekaligus pucuk pimpinan Mazhab Syafi’i di Mesir, yang juga dijuluki sebagai Syaikhul Islam (guru besar Islam), berpesan pada putranya, Tajuddin as-Subki (727 – 771 H):
يَا بُنَيَّ تَعَوَّدِ السَّهْرَ وَلَوْ أَنَّكَ تَلْعَبُ وَالْوَيْلُ كُلَّ الْوَيْلِ لِمَنْ يَرَاهُ نَائِمًا وَقَدْ اِنْتَصَفَ اللَّيْلُ
“Wahai anakku, biasakanlah begadang. Meskipun tidak melakukan apapun. Sungguh celaka, orang yang tidur, sementara tengah malam telah tiba.” (lihat ad-Durar al-Lawami bi Tarriri Jam’il Jawami, juz 1, hal. 36)
Tajuddin as-Subki juga merupakan seorang hakim (Qâdhi) terkenal di Damaskus. Kalau di pesantren, kita kenal namanya lewat kitab Jam’ul Jawami’. Kitab Ushul Fiqh karyanya yang merupakan ringkasan dari kurang lebih 100 kitab.
Membaca pesan Taqiyuddin as-Subki untuk putranya, Tajuddin as-Subki, saya berkesimpulan bahwa seorang Tajuddin as-Subki dibesarkan di tengah keluarga yang begitu kental nuansa spiritualnya.
Dari pesan spiritual itu, ada kalimat yang saya garisbawahi, “Meskipun tidak melakukan apapun.”
Mungkin, kalau terjemah sekarangnya, “Meskipun sambil main game.”
Dalam tradisi pesantren, gadang juga menjadi tradisi dan “tirakat” para santri. Bahkan, penulis pernah mendengar ucapan salah seorang kiai, bahwa santri sebisa mungkin begadang. Meskipun seandainya hanya ngopi-ngopi dan ngobrol ngalor ngidul nggak jelas. Intinya “gadang”. Asal tidak untuk kemaksiatan.
Entah, ada sirr (rahasia) apa di balik gadang malam. Sampai seandainya gadang hanya untuk guyonan, lebih dianjurkan daripada tidur lebih awal.
Mungkin, hemat penulis, saat tengah malam itu banyak para kekasih Allah mendoakan orang Muslim. Oleh karena itu, supaya bisa lebih mendapat cipratan doanya, minimal satu frekuensi; sama-sama tidak tidur malam. Bedanya, para kekasih Allah beribadah dan berdoa, kalau kita cuma nunggu cipratan berkahnya. Sambil ngopi.
Namun, penulis mendapat alasan yang lebih logis terkait gadang malam. Syekh Az-Zarnuji (w. 591 H), dalam kitab Ta’lim Muta’allim secara tegas menganjurkan pencari ilmu agar memanfaatkan waktu malam untuk belajar. Berikut redaksinya,
وَلَابُدَّ لِطَالِبِ الْعِلْمِ مِنْ سَهْرِ اللَّيَالِي
“Sudah semestinya. Bagi pencari ilmu, untuk tidak tidur saat malam hari.”
Selanjutnya, Az-Zarnuji mengutip syair Imam Syafi’ie berikut:
بِقَدرِ الكدِّ تُكتَسَبُ المَعَالِي ۞ وَمَن طَلبَ العُلا سَهْرَ اللَّيَالي
“Keluhuran adalah bagaimana kesulitan diperoleh. Siapa yang mencari keluruhan, janganlah tidur di waktu malam.”
وَمَن رَامَ الْعُلَا مِنْ غَيْرِ كَدٍ ۞ أضاعَ اْلعُمرَ في طَلَبِ الْمُحَالِ
“Siapa yang menginginkan keluhuran tanpa kesulitan, sungguh telah menyia-nyiakan usianya untuk mencari sesuatu yang tidak mungkin.”
تَرُوْمُ الْعِزَّ ثُمَّ تَنامُ لَيلًا ۞ يَغوصُ الْبَحْرَ مِنْ طَلَبِ الَّلآلِي
“Kau ingin kemuliaan, tapi tidur di malam hari. Sungguhpun penyelam akan menyelami laut untuk mendapat permata.”
عُلُوُّ الْقَدْرِ بِالْهِمَمِ الْعَوَالِي ۞ وَعِزٌّ الْمَرْءِ فِي سَهْرِ اللَّيَالِي
“Kedudukan yang tinggi diraih dengan semangat yang tinggi pula. Kemuliaan sesorang, ada di terjaga saat malam.” (Lihat Ta’lim Muta’allim, hal. 61)
Dari penjelasan Az-Zarnuji di atas, dengan mengutip syair Imam Syafii, kita bisa menyimpulkan, bahwa seorang pelajar hendaklah memiliki semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu. Bahkan jika malam haripun, saat semua orang nyenyak dalam tidurnya. Harus tetap belajar.
Nampaknya, begadang untuk belajar juga merupakan tradisi ulama sejak dulu. Syekh Khatib al-Baghdadi (392 – 463 H), seorang ulama ahli hadis dan sejarawan, berkata,
وَأَفْضَلُ الْمُذَاكَرَةِ مُذَاكَرَةُ اللَّيْلِ، وَكَانَ جَمَاعَةٌ مِنَ السَّلَفِ يَفْعَلُوْنَ ذَلِكَ وَكَانَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ يَبْدَأُوْنَ مِنَ الْعِشَاءِ فَرُبَّمَا لَمْ يَقُوْمُوْا حَتَّى يَسْمَعُوْا أَذَانَ الصُبْحِ
“Waktu belajar yang paling baik adalah malam hari. Para ulama terdahulu biasa melakukannya. Sebagian mereka ada yang mulai setelah shalat Isya. Kadang tidak berhenti sebelum mendengar suara azan Subuh”. (Lihat ‘Uluwwul Himmah, hal. 165)
Syekh Muhammad Hasan as-Syaibani (131 – 189 H ), salah satu murid Imam Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi), tidak pernah tidur saat malam hari. Bahkan, saat malam, di sampingnya sudah tersedia wadah berisi air untuk mengusap matanya jika sudah ngantuk. Ia pernah berkata, “Tidur itu disebabkan oleh panas, maka cegahlah dengan air yang dingin.” (Lihat ‘Uluwwul Himmah, hal. 165)
Imam Syafii (150 – 205 H), seorang mufti Besar Sunni yang juga pendiri Mazhab Syafi’i, memiliki kebiasaan belajar saat malam hari. Bahkan, menurut penuturan putrinya, ia harus menyalakan lampu sebanyak 70 kali untuk ayahnya dalam semalam.
Imam Bukhari (194 – 256 H), ulama ahli hadits termasyhur di antara para ahli hadits lainnya, bahkan dijuluki Amîrul Mukminîn fil Hadîts (pemimpin orang-orang yang beriman dalam hal ilmu hadits). Ketika terlintas faedah (ide) pada malam hari, ia nyalakan lampu untuk menulisnya. Dalam semalam bisa dilakukannya sebanyak 20 kali.
Seorang ulama pernah ditanya, “Dengan apa engkau memperoleh ilmu?”
Ia menjawab,
بِالْمِصْبَاحِ وَالْجُلُوْسِ إِلَى الصَّبَاحِ
“Dengan lampu dan duduk belajar sampai waktu Subuh.”
Terakhir, penulis tutup dengan sebuah syair,
وَبَادِرِ اللَّيْلَ بِمَا تَشْتَهِيْ ۞ فَإِنَّمَا اللَّيْلُ نَهَارُ الْأَرِيب
“Gunakanlah malam hari untuk mempelajari ilmu, karena malam hari adalah siangnya orang-orang cerdas.”
_________
Oleh: Muhamad Abror
Source: Alif.Id