“Bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW adalah mencerap energi kebaikan untuk diri sendiri”.
Oleh: Admin*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku yang dikasihi Allah SWT, kadangkala seseorang yang sudah malang melintang di dunia gelap penuh dosa terlintas di dalam pikirannya untuk berubah dan mengamalkan perbuatan-perbuatan baik. Namun, seringkali perubahan yang ia inginkan itu hanyalah mimpi yang setiap kali ia ingin memulainya selalu saja diserang rasa malas, kurang bergairah, cepat bosan, pesimis, skeptis dan halangan lainnya. Jangan begitu saudaraku!
Janganlah berputus asa dari rahmat Allah SWT. Itu nasehat Allah SWT bagi kita semua, para pendosa dan pelaku maksiat. Sebagaimana firman-Nya:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوْا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَحْمَةِ اللّٰهِ إِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ۞
“Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS Az-Zumar, [39]: 53).
Jika keadaannya seperti itu (malas, kurang bergairah, cepat bosan, pesimis dan skeptis), perbanyaklah shalawat kepada Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. In syã Allãh, perbuatan-perbuatan baik akan dipermudah oleh Allah SWT untuk bisa diamalkan. Mengapa? Karena Allah SWT memberikan energi kebaikan yang kuat kepada Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana detailnya? Silahkan simak makna hakiki shalawat berikut ini.
Salah satu ibadah yang sangat sering dianjurkan oleh para guru untuk dilakukan oleh para muridnya adalah memperbanyak bacaan shalawat kepada Rasulullah Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Ini perlu, mengingat banyaknya keistimewaan shalawat yang tidak dimiliki oleh amalan-amalan selainnya.
Secara bahasa as-shalawât ( الصلوات ) merupakan bentuk jamak dari kata as-shalât ( الصلاة ) yang berarti berdoa. Karenanya, maka bershalawat kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berarti mendoakan kebaikan bagi beliau. Ini secara bahasa.
Namun demikian, apakah perintah untuk bershalawat kepada Nabi memang ditujukan dan dimaksudkan agar umat ini mendoakan beliau? Ada banyak penjelasan ulama tentang hal ini.
Allah subhânahû wa ta’âlâ di dalam Surat Al-Ahzab [33] ayat 56 berfirman:
إِنَّ اللّٰهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا ۞
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya selalu bershalawat kepada Nabi Muhammad. Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kalian kepadanya dan bersalamlah dengan sungguh-sungguh.”
Setidaknya ada dua poin besar yang bisa dipahami dari ayat di atas, yakni: Pertama, Allah dan para malaikat selalu bershalawat kepada Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Kedua, adanya perintah bagi orang-orang mukmin untuk bershalawat dan bersalam kepada beliau.
Dari kedua poin besar itu kemudian lahir beberapa pertanyaan di antaranya: Apa makna shalawat yang berasal dari Allah, para malaikat dan orang-orang mukmin? Bila shalawat memiliki makna dasar berdoa sebagaimana dijelaskan di atas, maka apa maksud Allah bershalawat kepada Nabi, apakah Allah mendoakan beliau? Bila iya, lalu Allah berdoa kepada siapa? Bila Allah telah bershalawat kepada Nabi, lalu apa faedah shalawatnya para malaikat dan faedahnya orang-orang mukmin juga diperintah untuk bershalawat? Tidakkah shalawat-Nya Allah sudah lebih dari cukup sehingga tak dibutuhkan lagi dari selain-Nya?
Imam Al-Qurtubi di dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa shalawatnya Allah kepada Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam berarti rahmat, barakat dan keridhoan-Nya kepada beliau. Sedangkan shalawatnya para malaikat berarti doa dan permohonan ampun (istighfar) mereka bagi Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Adapun shalawatnya umat beliau merupakan doa dan pengagungan terhadap kedudukan Rasulullah Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam (Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân, Kairo, Darul Hadis, 2010, jil. VII, hal. 523).
Makna-makna ini tidak saja disampaikan oleh Al-Qurthubi tapi juga oleh para mufassir di dalam berbagai kitab mereka. Dari sini bisa dipahami bahwa shalawat yang disampaikan oleh Allah, para malaikat, dan orang-orang mukmin memiliki makna yang berbeda satu sama lain.
Shalawatnya Allah kepada Nabi jelas tidak mungkin diartikan sebagai doa bagi beliau. Karena mendoakan kebaikan bagi seseorang berarti memohonkan suatu kemanfaatan bagi orang tersebut dari pihak ketiga. Bila shalawatnya Allah dimaknai demikian maka kepada siapakah Allah memintakan kebaikan bagi Nabi-Nya? Jelas ini mustahil.
Selanjutnya, ada kesamaan makna antara shalawat yang disampaikan oleh para malaikat dan shalawat yang dibacakan oleh orang-orang mukmin, yakni sama-sama bermakna doa atau permohonan kebaikan bagi beliau. Dengan bershalawat, para malaikat dan orang-orang mukmin memohon kepada Allah untuk selalu mencurahkan rahmat, barakat dan pengagungan-Nya kepada Baginda Rasulullah Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Hanya saja, perlu digaris bawahi pula, bahwa yang demikian itu bukan berarti Rasulullah membutuhkan doanya para malaikat dan umat untuk kebaikan diri beliau. Bila Rasulullah butuh terhadap doanya malaikat dan umatnya yang berupa shalawat maka kiranya shalawat Allah kepada beliau sudah lebih dari cukup, tak ada kebutuhan doa shalawat dari selain-Nya.
Berbeda-bedanya makna shalawat yang dilakukan oleh Allah dan para malaikat serta orang-orang mukmin semuanya sejatinya dimaksudkan untuk satu hal, yakni memperlihatkan pengagungan kepada beliau dan menghormati kedudukan beliau yang luhur sebagaimana mestinya. Hal ini sama dengan ketika Allah memerintahkan kita untuk selalu mengingat-Nya, bukan berarti Allah butuh diingat oleh hamba-Nya namun karena untuk menunjukkan kebesaran dan kedudukan-Nya.
Dalam hal ini Imam Fakhrudin Ar-Razi di dalam kitab tafsir Mafâtîhul Ghaib menjelaskan:
الصَّلَاةُ عَلَيْهِ لَيْسَ لِحَاجَتِهِ إِلَيْهَا وَإِلَّا فَلَا حَاجَةَ إِلَى صَلَاةِ الْمَلَائِكَةِ مَعَ صَلَاةِ اللّٰهِ عَلَيْهِ، وَإِنَّمَا هُوَ لِإِظْهَارِ تَعْظِيْمِهِ، كَمَا أَنَّ اللّٰهَ تَعَالَى أَوْجَبَ عَلَيْنَا ذِكْرَ نَفْسِهِ وَلَا حَاجَةَ لَهُ إِلَيْهِ، وَإِنَّمَا هُوَ لِإِظْهَارِ تَعْظِيْمِهِ مِنَّا شَفَقَةً عَلَيْنَا لِيُثِيْبَنَا عَلَيْهِ
“Bershalawat kepada Nabi bukanlah karena kebutuhan beliau kepadanya. Bila Nabi membutuhkan shalawat maka tak ada kebutuhan terhadap shalawatnya malaikat yang bersamaan dengan shalawatnya Allah kepada beliau. Shalawat itu hanya untuk menampakkan pengagungan terhadap beliau, sebagaimana Allah memerintahkan kita untuk mengingat Dzat-Nya sementara Allah tak memiliki kebutuhan untuk diingat. Hal itu semata-mata karena untuk menampakkan sikap pengagungan terhadap beliau dari kita dan untuk Allah memberikan ganjaran bagi kita atas pengagungan tersebut.” (Fakhrudin Ar-Razi, Mafâtîhul Ghaib, 2000 [Beirut: Darul Fikr, 1981], Jil. XXV, hal. 229)
Imam Baidlowi dalam tafsirnya menyampaikan bahwa Allah dan para malaikat bershalawat kepada Nabi artinya memberikan perhatian dalam menampakkan kemuliaan beliau dan mengagungkan kedudukannya. Sedangkan perintah kepada orang-orang mukmin untuk bershalawat kepada beliau berarti perintah agar mereka ikut serta memperhatikan pengagungan tersebut karena mereka lebih selayaknya mengagungkan Baginda Rasulullah dengan membaca shalawat Allâhumma shalli ‘alâ Muhammad. (Nashirudin Al-Baidlowi, Anwârut Tanzîl wa Asrârut Ta’wîl, 2000 [Damaskud: Darur Rosyid], Jil. III, hal. 94)
Lebih lanjut, diperintahkannya orang-orang mukmin bershalawat kepada Nabi selain untuk mengagungkan beliau juga dimaksudkan agar shalawat menjadi sarana bagi mereka untuk mendapatkan pahala dan anugerah dari Allah yang berlimpah ruah. Dalam hal ini Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ عَشْرًا
“Barangsiapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali.”
Orang yang mendapat shalawat dari Allah berarti dia mendapatkan anugerah yang sangat besar dari-Nya. Hal ini bisa dipahami setidaknya dari ekspresi Rasulullah ketika diberitahu malaikat Jibril perihal orang yang bershalawat kepada Nabi akan mendapat sepuluh shalawat dari Allah. Saat itu Rasulullah seketika bersujud sangat lama sekali sebagai rasa syukur bahwa umatnya mendapat anugerah yang begitu besar dari Allah hanya dengan bershalawat sekali saja.
Dari makna-makna yang diuraikan di atas, dapatlah digeneralisir bahwa amaliyah shalawat yang dilakukan umat Nabi Muhammad SAW shallallâhu ‘alaihi wa sallam, pada hakekatnya adalah untuk kebaikan diri si pengamal shalawat itu sendiri. Rahmat, barakat dan keridhoan yang Allah limpahkan kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam pada hakekatnya berada di dalam diri kita sendiri.
Mengingat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah “role model” manusia sempurna dengan akhlaqnya yang agung, maka setiap kita dituntut untuk bercermin dengan “role model” tersebut untuk mendapatkan parameter manusia dengan akhlaq yang agung. Karena itu, dapatlah disimpulkan bahwa laku shalawat, dari sekedar melafalkan kalimat shalawat sampai dengan mamanifestasikannya pada laku nyata -seperti shadaqah misalnya, adalah untuk kebaikan si pengamal shalawat itu sendiri. Dari sini, energi kebaikan yang kuat sehingga tekad untuk menjadi orang baik akan mudah dicapainya.
Dengan demikian, sesungguhnya yang membutuhkan shalawat bukanlah sekedar diri Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, tetapi juga umat beliau, kita semua. Semakin diri kita dipupuk dan disirami dengan shalawat, semakin tumbuh di dalam hati kita mahabbah kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Itulah maqamat tertinggi umat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Semoga saja Allah SWT memperkenankan kita semua untuk bisa mencapainya, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، اَللّٰهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَالْعَمَلَ الَّذِى يُبَلِّغُنِى حُبَّكَ، اَللّٰهُمَّ اجْعَلْ حُبَّكَ أَحَبَّ إِلَىَّ مِنْ نَفْسِيْ وَأَهْلِيْ وَمِنَ الْمَاءِ الْبَارِدِ
Allãhumma shalli wa sallim wa bãrik ‘alã sayyidinã muhammadin wa ‘alã ãli sayyidinã muhammad, Allãhumma innî as’aluka hubbaka wa hubba man yuhibbuka wal-‘amalal ladzî yuballighunî hubbak, Allãhummaj’al hubbaka ahabba ilayya min nafsî wa ahlî wa minal mã’il bãrid.
“Ya Allah, sampaikanlah shalawat, keberkahan dan salam atas junjungan kami Muhammad dan atas keluarga junjungan kami Muhammad, Ya Allah, aku mohon pada-Mu cinta-Mu, dan cinta orang yang mencintai-Mu, dan amalan yang mengantarkanku menggapai cinta-Mu, Ya Allah, jadikanlah kecintaanku kepada-Mu lebih aku cintai daripada cintaku pada diriku sendiri, keluargaku, dan air yang dingin”.