Home / Agama / Improvisasi Salik / Amar Ma’ruf Nahi Munkar; Pendidikan Khilafah Bagi Manusia

Amar Ma’ruf Nahi Munkar; Pendidikan Khilafah Bagi Manusia

Oleh: Syeikh al-Barakat

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيم
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Allahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad wa ‘ala aali Sayyidina Muhammad.

Arti dari judul di atas adalah “menyeru perbuatan baik dan mencegah perbuatan munkar”. Sebuah frasa dalam al-Qur’an yang sudah menjadi kaidah dalam cara beragama pada kehidupan sosial.

Nash yang menyebutkan tentang frasa tersebut terdapat dalam Q.S. Luqman ayat 17 :

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”.

Baiklah, mari kita kupas satu persatu frasa “amar ma’ruf nahi munkar” ini; bagaimana hubungannya dalam prilaku seseorang sehari-hari dengan kehidupan sosial.

Amar Ma’ruf

Perbuatan baik dalam terminologi al-Qur’an ada beberapa sebutan diantaranya; Ihsan (hasan), ishlah (shalih), khair, ma’ruf, dst. Namun al-Qur’an memilih kata “ma’ruf” untuk dijadikan obyek perintah yang dijadikan kaidah dalam prilaku kehidupan manusia. Al-Qur’an tidak memakai kalimat “amar hasan…” atau “amar shalih…” atau “amar khair…“, tetapi yang dipilih adalah “Amar Ma’ruf Nahi munkar”. Mengapa?

Secara bahasa, “ma’ruf” berasal dari perubahan kata “‘arafa” yang artinya mengenal atau mengetahui. Atas rumusan “isim maf’ul” (obyek) pada satu bentuk perubahan kata (sharf) dalam tata Bahasa Arab. Maka, “ma’ruf” adalah kata obyek yang berarti “dikenal” atau “diketahui”.

Kata “ma’ruf” yang berarti “dikenal” atau “diketahui” sehingga dipakai untuk penyebutan perbuatan baik bukanlah tanpa makna. Allah mensyari’atkan itu untuk sebuah tujuan (maqaashid asy-syarii’ah); bagaimana seharusnya manusia menjalani dirinya sendiri dalam kehidupan sosialnya. Intinya, manusia diperintahkan oleh Allah untuk mengetahui setiap perbuatan yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Apapun bentuk perbuatan itu.

Pretensi “ma’ruf” sebagai perbuatan baik terletak pada kesadaran bahwa kausalitas hidup manusia memerlukan sebuah penuntasan nilai. Barometer dari penuntasan nilai yang dimaksud terletak pada Tuhan. Jadi, setiap perbuatan harus disandarkan pada rangkaian ‘pohon kehidupan’ (syajaratul kawn) yang berujung pada kesadaran ilahiyah, pada adanya peran Tuhan. Tanpa kesadaran itu perbuatan manusia akan kosong tak bermakna. Bahkan terjebak pada klaim bahwa perbuatan baiknya itu sebagai “miliknya sendiri”, dilakukan atas inisiatif pikirannya sendiri atau atas kehendaknya sendiri. Itu yang saya maksud dengan penuntasan nilai.

Nah, suatu perbuatan akan dinilai sebagai perbuatan baik, dalam makna ini, adalah ketika perbuatan itu disadari sebagai proyeksi dari perbuatan Tuhan (Af’alullaah). Dalam kondisi ini manusia tak kan lepas dari kesadaran terhadap peran Tuhan di setiap perbuatannya. Hal ini mengimplikasikan bahwa kausalitas hukum Tuhan adalah sangat bergantung pada kehendak dan Kasih-sayang Tuhan. Bahwa perbuatan baik yang engkau lakukan itu adalah bentuk kasih sayang Tuhan yang dipancarkan ke dalam dirimu. Karena itu, perbuatan baikmu itu adalah mililk Tuhan. Hal ini tercermin pada makna kalimat hauqalah: “laa haula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘adziim“. (tak ada daya dan kekuatan kecuali dengan (daya/kekuatan) Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung).

Ketiadaan daya pada manusia adalah makna bahwa Allah berperan dalam Kehidupan manusia bagaimanapun situasi dan kondisinya. Jadi, Manusia tanpa peran Tuhan itu adalah “nol besar”, nisbi, fana, dan “ketiadaan mutlak”. Kalimat hauqalah di atas adalah kalimat yang sering kita ucapkan namun jarang kita sadari. Bahwa kalimat tersebut adalah sebuah kepasrahan total manusia akan “ketiadaan dirinya” sekaligus ikrar akan “keber-Wujud-an” Tuhan. Kalimat itu secara terperinci “diungkapkan” lahir bathin dalam ritual shalat. karena kalimat itu juga sebagai salah satu jawaban dari kalimat adzan; “hayya ‘alash shalaah…“, “hayya ‘alal falaah…“.

Lha, kalau begitu manusia berbuat maksiat itu dengan peran Tuhan juga dong??? Hehehe… kesimpulan dangkal itu namanya. Bagaimana mungkin Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, menjerumuskan manusia pada perbuatan buruk?

Begini… , diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, bahwa ketika Allah Subhaanahu wa Ta’aala selesai menciptakan alam semesta ini dengan segala dimensi yang ada, kemudian Allah Subhaanahu wa Ta’aala menulis di atas ‘arsy:

إِنَّ رَحْمَتِيْ غَلَبَتْ غَضَبِيْ

“Sesungguhnya rahmat (kasih sayang) Ku mengalahkan kemurkaan-Ku”

Kasih sayang dalam setiap af’al (perbuatan) Tuhan menjadi semacam “cahaya pedoman” di setiap bentuk perbuatan baik manusia. Cahaya tersebut menuntaskan prilaku manusia hingga disebut sebagai perbuatan baik (ma’ruf ) jika perbuatan baik itu disadari sebagai cahaya dari Tuhan. Dari situlah barometer sebuah perbuatan hingga disebut sebagai perbuatan yang baik. Sampai di sini, are you get it?

Dengan demikian, setiap perbuatan yang tanpa kesadaran bahwa ada peran Tuhan di dalamnya berarti perbuatan itu dikategorikan sebagai ‘tidak dikenal’ (ghairu ma’ruf). Sehingga siapapun yang mengklaim itu sebagai perbuatannya sendiri berarti ia telah mengabaikan peran Tuhan. Nah, pengabaian peran Tuhan dalam prilaku baik akan bermakna perbuatan tersebut menjadi tidak “ma’ruf“, alias tidak dikenal.

Pengabaian peran Tuhan atas sebuah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang bermakna ia telah “memutus” keterhubungannya sendiri dengan Tuhan. Hal itu juga bermakna bahwa Tuhan telah “ditiadakan”. Walhasil, shalat menjadi runtuh dalam makna hakikinya. Berhubung bahwa shalat bermakna menguatkan keterhubungan atau ketersambungan manusia dengan Tuhannya.

Karena itu, amar ma’ruf dalam pengertian ini adalah “memerintahkan perbuatan yang sudah dikenal/diketahui bahwa ada peran Tuhan di dalamnya”. Dalam kalimat lain dapat dikatakan bahwa “amar ma’ruf” adalah menyeru seseorang untuk “melakukan perbuatan yang mengandung cahaya Tuhan dan disaksikan atau sudah dikenal oleh seluruh alam semesta, langit dan bumi, beserta isinya dan seluruh MalaikatNya.”

Jika belum dikenal, maka perbuatan itu tak kan bisa dinikmati sebagai perbuatan baik. Artinya, tak kan ada kemanisan iman (halaawah al-iimaan) yang dirasakan muncul dari akibat melakukan perbuatan baik tersebut. Akibatnya, banyak para da’i (pendakwah) yang belum sepenuhnya mengerti tentang kebenaran yang didakwahkannya. Ibaratnya, tak pernah merasakan nikmatnya minum kopi tapi menyuruh orang lain minum kopi.

Manusia mampu berbuat baik itu bukanlah muncul dari sifat manusianya sendiri. Akan tetapi, Allah telah hadir dalam dirinya sebagai Wujud Haqq yang merealisasikan perbuatan baik melalui Nama-NamaNya yang baik (Asmaa al-Husnaa). Manusia pada sejatinya selalu dalam keadaan dzalim dan bodoh. Selalu berada pada kegelapan nafsu yang ‘la-ammaaratun bissuui’ (sangat amat mendorongnya pada keburukan). Nah, dari Allah lah manusia mampu melakukan perbuatan-perbuatan baik itu.

Dalam sebuah hadits Qudsiy, Allah memerintahkan :

تَخَلَّقُوْا بِأَخْلَاقِ اللّٰهِ

“Berakhlaqlah kalian dengan Akhlaq Allah”

Jadi, ma’ruf itu adalah bentuk kasih sayang Tuhan yang disadari (diketahui) oleh manusia sehingga manusia merasakan halaawah al-iimaan (kemanisan iman) yang terbungkus pada perbuatan baik. Dalam hal ini, tak ada klaim atas perbuatan baik semata-mata karena hasil keinginan manusianya sendiri. Tuhanlah yang memberikan itu sebagai bentuk kasih sayangNya.

Karena itu, pengejawantahan amar ma’ruf sebagai perintah untuk menebarkan kebaikan dan sebagai visi substansial dari dakwah haruslah mempersyaratkan terlebih dahulu penuntasan nilai oleh si pendakwah dengan kesadaran ilahiyah seperti pada penjelasan di atas. Tanpanya, maka dakwah hanyalah berisi celotehan kosong atau sebuah strategi buta yang pada akhirnya menjerumuskan para pendakwah ke dalam kubangan sifat ujub dan sombong. Na’uudzu billaah tsumma na’uudzu billaah.

Nahi Munkar

Sementara itu, makna “nahi munkar” secara umum diterjemahkan sebagai “mencegah keingkaran”. Istilah Munkar diambil dari rumusan muf’al. Dalam kamus Lisaan al-‘Arab, salah satu terjemahan munkar adalah ( غير مُعترَفٍ به ) ghairu mu’tarafin bihi, artinya perkara yang tak dikenal.

Perhatikan ayat yang terdapat pada QS. An-Nuur (24) : 21, di bawah ini.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۚ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَىٰ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَٰكِنَّ اللّٰهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللّٰهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Kasih sayang Tuhan pada ayat di atas termaktub pada kalimat “… Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya …“.

Pembersihan diri (oleh Tuhan) tidaklah sekonyong-konyong dilakukan dengan hanya sekedar beristighfar (memohon ampunanNya) melalui lisan beribu-ribu kali. Meski hal tersebut tidaklah buruk. Namun tak cukup hanya dengan proses-proses kontemplasi secara rutinitas ritual.

Proses kontemplasi secara berkesinambungan terletak pada mengisi segala perbuatan dengan kebaikan. Dan sebuah perbuatan dikategorikan sebagai perbuatan baik adalah dengan memunculkan kesadaran akan peran Tuhan di dalamnya. Jika muncul kesadaran Tuhan, maka perbuatan itu disebut sebagai perbuatan yang dikenal (ma’ruf). Jika tak ada kesadaran Tuhan, atau perbuatan tersebut diklaim muncul semata-mata dari diri sendiri, maka perbuatan tersebut mengalami kekosongan, yang artinya tidak dikenal (munkar) / (ghairu mu’tarafin bihi).

Perbuatan yang munkar adalah perbuatan yang didalamnya terdapat pengabaian akan peran Tuhan. Tuhan telah “hilang” dalam kesadarannya. Seribu kali melakukan perbuatan baik tanpa ada kesadaran Tuhan di dalamnya, maka seribu kali juga perbuatan itu menjadi kosong tak bernilai. Hal ini bisa kita perhatikan lewat fenomena-fenomena dari laku lampah sehari-hari manusia. Biasanya, hasil dari prilaku-prilaku yang tanpa ada kesadaran Tuhan di dalamnya akan terdistorsi secara manfaat dan tujuannya. Terbang melayang terbawa angin seperti anai-anai.

Lalu, bagaimana cara mencegah keingkaran sebagaimana diperintahkan Allah SWT dalam ayat di atas?

Sebagaimana diketahui, bahwa keingkaran (munkar) adalah hilangnya kesadaran akan Tuhan pada setiap laku lampah. Mencegah keingkaran, dalam hal ini, bermakna memunculkan “Daya Tuhan” pada diri sendiri. Melakukan perbuatan baik apapun, jika itu disadari muncul dari “Daya Tuhan”, maka perbuatan baik tersebut tak pernah diklaim sebagai hasil perbuatan yang semata-mata muncul dari diri sendiri. Kesadaran ini juga akan memunculkan jiwa yang lapang dan ikhlas. Dan takkan terjebak pada sifat ujub dan sombong.

Mencegah keingkaran di dalam diri sendiri akan mendatangkan berkah Tuhan di setiap amal kebaikan yang dilakukan. Sebagaimana tercermin dalam substansi ritual shalat yang puncaknya berada pada tasyahud. Bacaan pada tasyahud adalah puncak shalat itu sendiri; “attahiyyaatul mubaarakaatush shalawaatut thayyibaatu lillaah…” (segala kehormatan, keberkahan, doa-doa, dan seluruh kebaikan adalah Millik Allah…).

Bacaan tasyahhud adalah sebuah prosesi penyerahan diri secara total kepada Sang Pemilik Wujud, Pemilik Daya, Pemilik seluruh perbuatan baik dan seluruh keberkahan. Itulah kesadaran sejati yang dimunculkan dalam shalat secara hakiki.

Keingkaran bukanlah berada pada materi perbuatan itu sendiri. Bukan pada realitas perbuatan yang kasat mata. Akan tetapi, berada pada kesadaran yang tak kasat mata. Ketika keingkaran itu diaktualisasi menjadi perbuatan yang menyimpang, maka perbuatan tersebut dikategorikan sebagai perbuatan keji (fakhsyaa). Bisa jadi perbuatan munkar itu, pada dzhahirnya, nampak seperti perbuatan baik. Namun, ketika perbuatan baik itu diklaim semata keluar dari pikiran manusia, maka perbuatan baik itu berkategori sebagai munkar. Ketika dzhahirnya menyimpang, maka perbuatan itu dikategorikan sebagai fakhsyaa (Keji).

Dalam terminologi al-Quran, fakhsyaa dan munkar selalu digandeng menjadi satu paket yang saling mempengaruhi dan proses pencegahannya disebut dengan shalat.

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللّٰهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. al-‘Ankabuut (29): 45)

Kesimpulan

“Amar ma’ruf nahi munkar” adalah sebuah frasa yang Allah syari’atkan kepada manusia untuk melakukan suatu perbuatan yang bertangkai kepadaNya. Sandaran perbuatan manusia adalah Allah. Allah yang memberikan energi kebaikan. Allah yang berkehendak kepada seseorang sehingga ia mampu berbuat baik. Jika tidak dengan Allah, maka manusia tak akan mampu berbuat baik. Sekali lagi, manusia tak akan bisa berbuat baik. Mengingat manusia adalah ciptaan Allah yang sangat lemah, dzalim dan bodoh.

Lho, kata Allah manusia itu adalah khalifah fil ardhi (khalifah di muka bumi)? Lalu kenapa disebut lemah, dzalim dan bodoh? Kok khalifah dzalim dan bodoh? Kenapa bisa begitu? why?

Ya, betul. Khalifah adalah gelar yang disematkan oleh Allah kepada manusia. Sebagaimana yang difirmankanNya:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. al-Baqarah: 30).

Namu di sisi lain, manusia juga disebut oleh Allah sebagai makhluq yang teramat dzalim dan bodoh. Perhatikanlah ayat di bawah ini.

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (QS. al-Ahzab: 72).

Kedua ayat di atas terkesan kontradiktif; digelari khalifah oleh Allah tapi Allah juga menyebutnya sebagai bodoh, dzalim dan lemah. Bahkan dalam ayat lain, Allah menyebut manusia sebagai makhluq yang lebih sesat dan lebih bodoh dari binatang ternak.

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (QS. al-A’raf: 179)

Coba perhatikan, apakah Allah inkonsisten dalam berfirman? Manusia manakah yang disebut Khalifah dan manusia manakah yang disebut lebih rendah dari binatang ternak? Apakah Khalifah itu adalah seseorang yang bodoh dan dzalim? Rasanya, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak perlu terlebih dahulu menjadi ahli tafsir. Jika engkau berpotensi menjadi Khalifah fil ardhi, maka  untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan akan firman Allah yang seolah kontradiktif di atas, sangatlah mudah. Sekali lagi, sangat teramat mudah.

Intinya, “amar ma’ruf nahi munkar” yang bermula dan dirasakan oleh diri sendiri, yang disyari’atkan Allah kepada manusia, adalah sebuah metode pendidikan Allah agar manusia melepaskan dirinya dari kerendahan status “dzalim, bodoh, bahkan lebih sesat dari binatang ternak”, untuk mencapai manusia yang berstatus sebagai Khalifah fi ardhi (Pemimpin di muka bumi).

Amar ma’ruf nahi munkar” bukanlah soal dakwah dengan berbagai metodologinya, yang hanya menampilkan koar-koar ceramah yang tak berisi atau ucapan-ucapan ringan yang berterbangan dihempas angin. Tapi ia adalah kawah “candradimuka” untuk mendidik diri sendiri agar selalu terhubung pada kesadaran adanya Peran Tuhan (Af’aalullah) di muka bumi.

Amar ma’ruf nahi munkar” adalah memerintahkan diri sendiri untuk selalu sadar bahwa Tuhan mempedomani dirinya dengan penuh kasih dan sayang. Sebuah bentuk kasih sayang Tuhan kepada manusia agar manusia terbebas dari keterbelengguan hawa nafsunya sendiri.

Ringkasnya, “amar ma’ruf nahi munkar” adalah proses pendidikan kepemimpinan manusia yang diadakan oleh Tuhan untuk kemakmuran alam semesta beserta isinya. Wallaahu A’lam, wa Huwa Muwaffiq ilaa sabiilittaufiq.

*Penulis adalah seorang Salik di Peguron Pasulukan Loka Gandasasmita

 

About admin

Check Also

Mintalah Allah dan Tidak Meminta MakhlukNya

“Bila meminta masuk surga dan terhindar dari neraka maka berarti kita masih meminta makhluk ciptaanNya” ...