“Rindukanlah Rasulullah SAW, karena sesungguhnya beliau pun merindukanmu”
Oleh: H. Derajat
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Washshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Telah berkata Mursyid kami yang mulia Abah Guru Sekumpul: “Betapa meruginya orang yang sudah berusia lebih 40 tahun namun belum pernah bertemu Rasulullah”.
Tercantum dalam kitab-kitab awliya Allah bahwasanya barangsiapa membaca amalan di bawah ini sebanyak 15 kali, jangan lebih jangan kurang dalam keadaan berbaring setiap hari maka Allah Ta’ala akan mempertemukannya dengan Rasulullah SAW.
Dikatakan oleh Gurunya Abah Guru Sekumpul bahwa amalan ini tidak akan lebih 7 hari akan dipertemukan dengan Nabi Muhammad SAW.
Amalan dimaksud adalah:
اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَلدُّرِّ الْأَزْهَرِ وَالْيَاقُوْتِ الْأَحْمَرِ وَنُوْرِ الْأَوْهَرِ وَسِرِّ اللّٰهِ الْأَكْبَرِ
Allãhumma shalli wa salim ‘alã Sayyidinã Muhammad, Addurril azhar, wal-Yaqũtil ahmar, wa Nũril auhar, wa Sirrillãhil akbar
“Wahai Allah, sampaikanlah shalawat dan salam kepada Junjungan kami Muhammad, Bunga yang Merekah, Batu Yaqut yang Merah, Cahaya yang Memancar, Rahasia Allah yang Agung”.
Salah satu impian terbesar seorang Muslim adalah dapat menghadirkan Nabi Muhammad shallallãhu ‘alaihi wa sallam dalam mimpinya. Mengingat ada salah satu janji yang disebutkan dalam hadits:
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي الْيَقَظَةِ، وَلَا يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِي
“Barang siapa melihatku di dalam mimpi maka ia akan bertemu denganku dalam keadaan terjaga dan setan tidak dapat menyerupaiku” (HR al-Bukhari)
Menurut Syekh Hasan Muhammad Syaddad, hadits di atas menegaskan bahwa orang yang bermimpi bertemu Nabi, maka mimpinya adalah mimpi yang benar, bukan mimpi yang sebatas khayalan atau mimpi yang berasal dari bisikan setan. Dalam kitab Kaifiyah al-Wushûl li Ru’yati Sayyidina ar-Rasûl beliau menjelaskan:
وَمَعْنَى الْأَحَادِيْثِ أَنَّ رُؤْيَاُه صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ صَحِيْحَةٌ وَلَيْسَتْ بِأَضْغَاثِ أَحْلَامٍ وَلَا مِنْ تَشْبِيْهَاتِ الشَّيْطَانِ
“Makna hadits di atas: sesungguhnya mimpi bertemu Nabi adalah mimpi yang benar, bukan mimpi yang sia-sia dan juga bukan hasil penyerupaan setan,” (Syekh Hasan Muhammad Syaddad, Kaifiyah al-Wushûl li Ru’yati Sayyidina ar-Rasûl, hal. 21)
Maka dapat disimpulkan bahwa orang yang mimpi bertemu Nabi tidak dapat disepelekan, karena mimpinya adalah mimpi yang benar secara syara’. Bahkan hadits di atas juga menegaskan tentang kesamaan antara bentuk Nabi yang tampak dalam mimpi dengan melihat Nabi secara langsung dalam kondisi terjaga. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh ulama hadits kenamaan, Syekh Ibnu Hajar al-‘Asqalani:
وَمَعْنَاهُ أَنَّهُ لَوْ رَآهُ فِي الْيَقَظَةِ لَطَابَقَ مَا رَآهُ فِي الْمَنَامِ فَيَكُونُ الْأَوَّلُ حَقًّا وَحَقِيقَةً وَالثَّانِي حَقًّا وَتَمْثِيلًا
“Maksud dari hadits di atas bahwa jika seseorang bertemu Nabi dalam keadaan terjaga, tentu akan sama dengan apa yang ia lihat dalam mimpi di tidurnya. Maka yang awal (melihat Nabi dalam keadaan terjaga) adalah benar dan nyata dan yang kedua (melihat Nabi dalam mimpi) adalah benar dan merupakan sebuah perumpamaan,” (Syekh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bãri, juz 12. hal. 384).
Namun meski demikian, menurut sebagian ulama setiap orang yang bermimpi bertemu Nabi Muhammad akan tampak pada mereka bentuk Nabi Muhammad dengan bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat keistiqamahannya dalam menjalankan syariat. Semakin seseorang istiqamah dalam menjalankan kewajiban dan kesunnahan maka semakin tampak padanya bentuk Nabi Muhammad dalam kepribadian yang teramat mulia. Sebaliknya, semakin rendah seseorang dalam keistiqamahan menjalankan kewajiban dan kesunnahan maka semakin tampak padanya bentuk Nabi Muhammad dalam kepribadian yang ‘kurang’ menyeluruh seperti yang disifati dalam beberapa kitab yang menjelaskan tentang kepribadian Nabi Muhammad.
“Ketahuilah bahwa orang yang diberi pertolongan dan kemuliaan oleh Allah dengan mampu melihat Nabi Muhammad shallallãhu ‘alaihi wa sallam (dalam mimpi) maka ia akan melihat Nabi dalam bentuk yang banyak. Perbedaan bentuk ini berdasarkan keadaan orang yang bermimpi dalam keistiqamahan, rasa takut kepada Allah, dan kesesuaian pelaksanaan kefardhuannya dengan tuntunan yang benar. Semakin baik perbuatan orang yang bermimpi, semakin baik pula bentuk Nabi Muhammad yang tampak pada dirinya. Terkadang seseorang melihat Nabi Muhammad dalam mimpinya sama seperti yang disifati dalam syamã’il (kepribadian Nabi) namun terkadang pula sebagian orang melihat Nabi Muhammad dalam mimpinya dengan keadaan kurangnya sebagian syamã’il Nabi yang mulia. Hal ini kembali pada tingkah laku orang yang bermimpi karena pasang-surutnya dalam keistiqamahannya. Sesungguhnya Nabi (yang tampak dalam mimpi) layaknya seperti cermin (bagi orang yang bermimpi)” (Syekh Hasan Muhammad Syaddad, Kaifiyah al-Wushûl li Ru’yati Sayyidina ar-Rasûl, hal. 24).
Hadits di atas juga menegaskan jaminan bagi orang yang bermimpi bertemu Nabi bahwa ia akan melihat Nabi Muhammad SAW dalam keadaan terjaga. Menurut Ibnu Hajar al-Haitami mayoritas orang awam yang bermimpi bertemu Nabi akan tampak padanya Nabi Muhammad secara nyata padanya di akhir hayatnya, tepatnya saat sakaratul maut. Sedangkan bagi selain orang awam (khawãsh) Nabi Muhammad akan tampak padanya secara nyata kapan pun sebelum mendekati kematiannya. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab Fatãwã al-Hadîtsiyyah:
وَمُرَادُهُ بِعُمُوْمِ ذَلِكَ وُقُوْعُ رُؤْيَةِ الْيَقَظَةِ الْمَوْعُوْدِ بِهَا لِمَنْ رَآهُ فِي النَّوْمِ وَلَوْ مَرَّةً وَاحِدَةً تَحْقِيْقًا لِوَعْدِهِ الشَّرِيْفِ الَّذِيْ لَا يَخْلِفُ، وَأَكْثَرُ مَا يَقَعُ ذَلِكَ لِلْعَامَّةِ قَبْلَ الْمَوْتِ عِنْدَ الْاِحْتِضَارِ فَلَا تَخْرُجُ رُوْحُهُ مِنْ جَسَدِهِ حَتَّى يَرَاهُ وَفَاءً بِوَعْدِهِ وَأَمَّا غَيْرُهُمْ فَيَحْصُلُ لَهُمْ ذَلِكَ قَبْلَ ذَلِكَ بِقِلَّةٍ أَوْ بِكَثْرَةٍ بِحَسَبِ تَأَهُّلِهِمْ وَتَعَلُّقِهِمْ وَاتِّبَاعِهِمْ لِلسُّنَّةِ إِذْ الْإِخْلَالِ بِهَا مَانِعٌ كَبِيْرٌ
“Maksud dari hadits tentang mimpi bertemu Nabi di atas secara umum adalah mungkin terjadi melihat Nabi dalam keadaan terjaga yang dijanjikan bagi orang yang melihat Nabi dalam mimpi, meski hanya sekali. Hal ini sebagai wujud pembenaran terhadapa janji mulia Nabi Muhammad yang tidak akan diingkari. Bagi orang awam, bertemu Nabi Muhammad dalam keadaan terjaga seringkali terjadi saat sebelum kematiannya, tepatnya saat sedang sekarat. Maka ruhnya tidak akan keluar dari jasadnya sampai dia melihat Nabi Muhammad sebagai bukti janji Nabi yang ditepati. Sedangkan bagi selain orang awam, bertemu Nabi dalam keadaan terjaga bisa terjadi sebelum kematian dan sekaratnya, baik dalam jeda waktu yang sedikit ataupun lama, dengan mempertimbangkan kedekatan, ketergantungannya pada Nabi dan ketekunannya mengikuti sunnah Nabi, sebab tidak mengikuti sunnah Nabi adalah penghalang utama (untuk bertemu Nabi)”. (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Fatãwã al-Hadîtsiyyah, hal. 212).
Bertemu Rasulullah dalam mimpi, apalagi dalam keadaan terjaga akan membuat kita merindukannya sepanjang masa, kita akan merasa kehilangan apabila kita tidak bertemu dengan beliau, kita akan merasa hidup yang sepi seolah dunia ini tak ada artinya tanpa bertemu kembali dengan Nabi SAW.
Tidakkah engkau tahu wahai sahabatku, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW merindukan kalian semua sebagaimana hadits yang disampaikan Anas Ibn Malik, Rasulullah ﷺ bersabda,
وَدِدْتُ أَنِّى لَقِيتُ إِخْوَانِى، قَالَ، فَقَالَ أَصْحَابُ النَّبِىِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَوَلَيْسَ نَحْنُ إِخْوَانَكَ؟ قَالَ: أَنْتُمْ أَصْحَابِى وَلَكِنْ إِخْوَانِى الَّذِينَ آمَنُوا بِى وَلَمْ يَرَوْنِى .
“Aku rindu ingin sekali berjumpa dengan saudara-saudaraku, para shahabat nabi radliyallahu ‘anhum berkata: “Bukankah kami saudara-saudaramu? Beliau menjawab: “Kalian adalah para sahabatku. Saudara-saudaraku adalah orang-orang yang beriman kepadaku walaupun mereka belum pernah berjumpa denganku.” (H.R. Imam Ahmad dalam musnadnya, Jilid: 20/37).
Sungguh bahagia menjadi Saudaranya Rasulullah, semoga engkau adalah bagian daripada itu. Ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn
Wallãhu A’lam bish-Shawãb