“Masih banyak orang yang merasa bahwa amal ibadahnya terbaik dan cenderung merendahkan amal ibadah orang lain.”
Oleh: H. Derajat*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Saudaraku terkasih, yakinlah bahwa setiap risalah yang aku kirimkan kepada kalian semua hanyalah pertanda bahwa aku menyayangi hingga aku menjadikannya sebagai bekal hidupku untuk kembali kepadaNya, insya Allah…
Bermulai dari ayat Al Qur’an :
مَا مِنۡ دَآبَّةٍ اِلَّا هُوَ اٰخِذٌ ۢ بِنَاصِيَتِهَا ۞
“Tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasainya).” (Q.S. Hud: 56)
Dari ayat ini telah nyata bahwa setiap amal ibadah perbuatan baik kita semua bergantung pada rahmatNya untuk kita. Allah yang menyuruh kita beribadah, Dia juga yang memberikan kekuatan kepada kita melakukannya, Dia juga yang menerima ibadah itu karena sesungguhnya Dia tak pernah sedikitpun bergeser dari kita semua. Kekuatan untuk melakukan amal baik adalah kekuatanNya tidak lain dan tidak bukan…!!!
لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللّٰهِ العَلِيِّ العَظِيْمِ ۞
Lā haula wa lā quwwata illā billāhil ‘aliyyil azhīm(i).
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya amal seseorang itu tidak akan memasukkannya ke dalam surga.”Lalu sahabat bertanya: “Apakah juga engkau, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. bersabda: “Demikian juga aku, kecuali Allah mencurahkan anugerah dan rahmat-Nya kepadaku.” (Hadits riwayat Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ibn Majah, dan Imam Ahmad, dari Abu Hurairah).
Syaikh Sa’id Ramadhan Al-Buthi berkata bahwa hubungan antara manusia dengan Allah berbeda sifatnya dengan hubungan antara manusia dengan manusia. Hukum yang berlaku dalam hubungan antara manusia dengan manusia ialah manusia berbuat dan memperoleh imbalan dari perbuatannya. Tetapi tidak demikian halnya hubungan antara manusia dengan Allah. Allah memberikan hidayah kepada manusia dan memberikan daya dan kekuatan sehingga manusia sanggup beramal, mengerjakan perintah, dan meninggalkan larangan.
Allah berfirman: “Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepada-Ku dengan keislaman kamu, sebenarnya Allah yang melimpahkan nikmat kepada kamu dengan menunjukkan kamu pada iman”. (QS. Al-Hujrat: 17).
Maka ganjaran yang diberikan Allah janganlah dipandang sebagai imbalan atas ibadah yang engkau lakukan. Sebagaimana dikatakan di dalam Jawharah Al-Tawhīd, “Jika Allah memberi pahala kepada kami adalah semata-mata karena anugerah-Nya, dan jika Allah menimpakan siksa adalah semata-mata karena keadilan-Nya”. Salah satu dari makna yang terkandung dalam iman dan tauhid kepada Allah ialah kita percaya bahwa segala sesuatu datang dari Allah dan bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali atas pertolongan-Nya. Demikian ditulis oleh Syaikh Sa’id Ramadhan Al-Buthi di dalam uraiannya mengenai hikmah tersebut di atas.
Demikian pula ketika kita diberi rahmat Allah untuk mengenalNya kepada DzatNya, SifatNya, AsmaNya, Af’alNya bahkan WujudNya semua tidaklah lepas semata dari kehendakNya berupa rahmat yang menarik kita ke dalam pengenalan kepadaNya (makrifatullah). Itu semua bukan karena amal ibadah perbuatan kita tetapi mutlak karena rahmatNya untuk kita yang wajib disyukuri.
Telah berkalam Mursyid kami yang mulia Syekh Ibnu Athaillah As Sakandari dalam Kitab Al Hikam:
إِذَا فَتَحَ لَـكَ وِجْهَةً مِنَ التَّعَرُّفِ فَلاَ تُبــَالِ مَعَهَا أِنْ قَلَّ عَمَلُكَ فَإِنَّـهُ مَا فَـتَـحَهَا لَكَ إِلاَّ وَهُوَ يُرِ يْدُ أَنْ يَـتَـعَرَّفَ إِلَيكَ. أَلَمْ تَـعْلَمْ أَنَّ الـتَّــعَرُّفَ هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ، وَاْلأَعْمَالُ أَنْتَ مُــهْدِ يْــهَا إِلَـيْهِ، وَأَيــْنَ مَا تُــهْدِ يْهِ إِلَـيْهِ مِمَّا هُـوَ مُوْرِدُهُ عَلَـيْكَ
“Ketika Dia membukakan bagimu (suatu) Wajah Pengenalan, maka jangan engkau sandingkan (hadirnya) pengenalan itu dengan sedikitnya amal-amalmu; karena sesungguhnya Dia tidak membukakan pengenalan itu bagimu kecuali (bahwa) Dia semata-mata menginginkan untuk memperkenalkan (Diri-Nya) kepadamu.Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya (suatu) pengenalan itu (semata-mata) Dia yang menginginkannya atasmu, sedangkan amal-amal itu (semata-mata) suatu hadiah dari engkau kepada-Nya; maka tidaklah sebanding antara apa-apa yang engkau hadiahkan kepada-Nya dengan apa-apa yang Dia inginkan untukmu.”
Telah di syarahkan oleh saudara kita dalam link qudusiyah.org :
Ada rahasia yang sangat halus dibalik kalimat-kalimat Syekh Ibnu Athaillah dalam pasal ini. Ibnu Athaillah bukan hendak mengatakan bahwa amaliah tidak berarti, karena itu adalah tanda kepatuhan kepada-Nya. Namun ada persoalan yang lebih besar dari itu yang harus dimiliki setiap pejalan suluk.
Ketika Allah membuka “Wajah Pengenalan”, maka yang Dia anugrahkan kepada seorang hamba adalah Diri-Nya, Eksistensi-Nya, bukan semata perbuatan-Nya, karunia-Nya, atau surga-Nya. Maka tidaklah sebanding ketika Allah menyerahkan seluruh Diri-Nya untuk dikenali, sementara seseorang hanya menyerahkan amal perbuatannya, bukan dirinya.
Adalah Nabi Muhammad SAW memberi nasihat kepada putrinya Fatimah r.a. untuk senantiasa berdoa pada setiap pagi dan petang:
يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ! أَصْلِحْ لِي شَأْنِيَ كُلَّهُ، وَلاَ تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ
“Wahai (Dzat) yang Maha Hidup dan Maha Berdiri! Dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan. Perbaikilah urusanku seluruhnya; dan jangan Engkau serahkan aku kepada diriku walau hanya sekejap mata.” (H.R. Imam An-Nasai, Imam Al-Hakim.)
Dalam hadits yang lain dikatakan:
اَللّٰهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو، فَلاَ تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ
“Ya Allah, hanya rahmat-Mu yang kuharapkan! Maka janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku meski sekejap mata, dan perbaikilah urusanku seluruhnya. (Sungguh) tidak ada tuhan selain Engkau.” (H.R. Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban).
Bahwa kebanyakan manusia mengandalkan urusannya kepada dirinya, kepintarannya, amal perbuatannya. Dan sangatlah sedikit manusia yang menginginkan berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Sementara dalam Al-Quran dikatakan bahwa sebaik-baik agama seseorang adalah yang: aslama wajhahu (menyerahkan wajahnya), seluruh eksistensinya, seluruh jiwa-raganya, hidup dan matinya, hanya kepada Allah.
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلّٰهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۞
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang menyerahkan wajahnya kepada Allah, sedang diapun seorang yang ihsan dan mengikuti millah Ibrahim yang lurus?“. (Q.S. An-Nisa [4]: 125)
Demikianlah bahkan seorang Nabi Muhammad yang mulia sekalipun tidak pernah merasa bahwa amal ibadahnya adalah mulia dan sempurna selain daripada rahmat Allah yang dianugerahkan kepada beliau sehingga dapat melakukan ibadah kepada Rabbnya dengan sebaik-baiknya dan sempurna.
Aku berserah diri kepadaMu wahai Allah dengan segala kebodohan yang ada pada diriku untuk saling mengingatkan dalam perbuatan baik.
____________
* Ketua Pasulukan Loka Gandasasmita