أَلَا إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ مُحِيطٌ
“Ingatlah bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.”(QS Fushshilat [41]:54)
“Ada atau tidak ada cermin, yang becermin selamanya ada dan benar-benar ada, sedangkan adanya cerminan fana, seolah-olah ada padahal sesungguhnya tiada. Hanya pantulan, imaji, bayangan. Cerminan hanyalah citra dari kesejatian yang becermin. Cerminan mengalami sirna dari cermin, tetapi yang becermin tetap abadi. Ia yang becermin ada karena ada-nya sendiri, sedangkan ada-nya cerminan bergantung pada kemutlakan yang becermin, keniscayaan cahaya, dan keberadaan cermin. Ia yang becermin tunggal, hanya satu. Sedangkan cerminan tidak dapat mengatasi jumlahnya sendiri. Di cermin rias yang jamak, yang merias-diri tetap satu, cerminannya banyak. Ia yang becermin memiliki kehendak dan melaksanakan kehendak itu sesuai kemauannya, sedangkan cerminan, meniru persis gerakan yang becermin. Ia yang becermin berwenang atas dirinya dan cerminannya, sedangkan cerminan mengikuti segala apa yang dilakukan yang becermin dan seluruh ikutannya itu bukan atas dasar kemauannya sendiri. Namun, kiranya perlu dicermati, jika yang becermin mengangkat tangan kanan maka tangan yang manakah dari cerminan yang mengikuti gerakan tangan yang becermin? Jika sama tangan kanan maka itu tidak sejajar dengan tangan yang becermin, tidak pula sesuai sifat bayangan. Jika tangan kiri cerminan yang mengikuti gerakan maka ia bukan bayangan tangan kanan. Inilah hakikat cerminan : ia bukan kiri, bukan pula kanan. Ia bukan kesejatian.”- (Candra Malik, dalam “Makrifat Cinta”);
Mana segala sesuatu selain Allah? Siapa yang lain?
Adakah jejak yang ditinggalkannya?
Demi Allah, selain Dia, tak ada sesuatu yang maujud
“Tiada maujud selain Allah (La mawjuda illallah)”
Segenap “wujud mungkin” bagaikan cermin. Dan segenap capaian mereka, yang bersifat fisikal maupun spiritual, di dalamnya tak lain hanyalah refleksi dari Nama-nama dan Sifat-sifat Allah. Seseorang mestilah membayangkan seluruh alam semesta ini sebagai cermin, dan “melihat”* (* bukan makna harfiah) Allah di dalamnya dengan segenap Nama dan Sifat-Nya, agar ia bisa dimasukkan ke dalam orang-orang yang telah menyaksikan Allah (ahl al-musyahadah).
Lebih jauh, jika seseorang menggambarkan alam semesta, maka ia mesti memahami bahwa “ego”-nya meliputi seluruh alam semesta dan segala sesuatu pun terkandung di dalamnya. Artinya, ego adalah cermin baginya, dan kini ia menyaksikan-Nya dalam ego (diri)-nya sendiri.
Melangkah lebih jauh lagi. Dengan membayangkan semua wujud yang bersifat “mungkin” dengan sendirinya adalah “Ketiadaan” (‘adam), ia pun tidak memperhatikannya. Alih-alih, ia memandang semuanya itu sebagai sekedar bentuk-bentuk manifestasi dari Wujud Hakiki, Wujud Mutlak, Al-Haqq, yang hidup dalam dan ditopang oleh Al-Haqq sendiri. Kesemuanya itu hanyalah sekadar bentuk-bentuk keindahan dan kesempurnaan Al-Haqq, dan ia pun menyaksikan semuanya itu di dalam-Nya.
Langkah berikutnya masihlah menafikan wujud diri sendiri dan memandang Al-Haqq sebagai satu-satunya Wujud Hakiki–Dzat Yang mengamati dan menyaksikan. “Dia Mengamati dan sekaligus diamati.”
“Mengapa hatimu bersedih dalam cinta-Nya. Tataplah Dia! Mengapa engkau merasa ditinggalkan? Seluruh alam semesta adalah cermin pantulan-Nya. Apapun yang engkau lihat hanyalah pantulan-Nya semata.” (Mawlana Ra’uf Ahmad Raf’at)
“Jadikan kami cermin-Mu agar kami bisa menatap-Mu.” (Khwaja Mirdard)
Dalam syair berikut ini, Jami mengungkapkan keadaan ini dengan nada sedikit berbeda :
Engkau ada di depan mataku, namun aku tak melihat-Mu
Engkau muncul dalam qalb-ku, namun aku merindukan-Mu
Kujelajahi seluruh alam semesta untuk mencari-Mu
Dan tak tahu bahwa seluruh alam semesta hanyalah Diri-Mu
[disarikan dari : Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf (“Contemplative Disciplines in Sufism; Mir Valiuddin)]
Alam semesta dan seisinya ini termasuk manusia adalah pernyataan atau ‘pertunjukan’ yang merupakan bukti adanya Wujud (Allah Ta’ala)
“Tiada maujud selain Allah (La mawjuda illallah)”
Wujud adalah Dzat Allah yang Ada dan keber-Ada-annya itu tanpa bentuk, tanpa ukuran, dan tanpa batas, karena Wujud dipandang dari segi hakikatnya, tidak dapat diungkap oleh akal, angan-angan, ataupun perasaan.
Ke-Esa-an Allah Swt sebagaimana firman-Nya dalam QS Al-Ikhlas. Wujud adalah Dzat Allah Yang Maha Esa, yang mana ke-Esa-an Allah itu Mutlak. Artinya ke-Esa-an Allah meliputi Dzat, Sifat-sifat, Asma-asma, dan Perbuatan-Nya.
Meyakini ke-Esa-an Allah, merupakan hal yang sangat prinsipil, sehingga seseorang dianggap muslim atau tidak, bergantung pada pengakuan tentang ke-Esa-an Allah.
Laisa kamitslihi syaiun, ”…Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia…”(QS Asy-Syuura [42]:11)
Allah adalah berlainan dan berbeda dengan makhluk.
Wujud Allah adalah hakiki atau benar.
Wujud alam jika dibandingkan dengan wujud Allah, adalah “tidak nyata”. Wujud alam dikatakan tidak berhakikat, karena wujud alam tidak hakiki sementara Wujud Tuhan adalah hakiki.
Allah menciptakan mahkluk dari tidak ada, walaupun makhluk menjadi ada setelah diciptakan, namun hakikatnya tetap tidak ada. Zat makhluk adalah ‘adam (tidak ada), walaupun sifat berubah namun zat tidak berubah.
Kayu yang dijadikan almari, kursi, pintu, dan sebagainya adalah tetap kayu pada zatnya sekalipun sifat sudah berubah bentuk dan berubah nama. Hal lain, air dijadikan uap, ombak, es batu, dan buih, adalah tetap air zatnya, ‘adam (yang tidak ada) tetap ‘adam walaupun sudah menjadi ada.
Kewujudan berjuta-juta ‘adam yang tidak ada, tidak akan mengubah status Allah Yang Maha Esa. Allah tetap Esa walaupun Dia membuat makhluk menjadi ada, karena pada sisi Tuhan makhluk tidak mempunyai hakikat wujud.
Bagaimana ini mungkin terjadi?
Menjadi mungkin karena Allah membuatnya menjadi mungkin, dan kewujudan demikian dinamakan “wujud (yang) mungkin” (mumkinul wujud). Hanya Tuhan yang berkuasa mengadakan yang mungkin itu. Sebab itulah ‘dakwaan’ bahwa Diri-Nya adalah Tuhan memang benar. Yang boleh berbuat demikian hanyalah Allah. Yang selain Tuhan tidak ada kuasa untuk melakukannya. Hanya Allah Swt Yang berkuasa menciptakan makhluk tanpa mengubah status Wujud-Nya Yang Esa.
Hanya akal orang bingung yang mencoba menguraikan teka-teki Wujud Tuhan dan wujud makhluk. Orang yang berakal sehat akan menyerah tanpa takwil, tanpa syarat, tanpa hujjah, bahwa sesungguhnya : Tidak ada sesuatu yang berkongsi dengan-Nya, baik dari segi Wujud, Sifat, Perbuatan, dan apapun bentuknya. Dia tidak disekutukan oleh siapa pun dan dalam perkara apapun.
Pada hakikatnya, Dia tidak bersekutu dengan sesuatu, maka mempersekutukan-Nya dengan sesuatu menjadi kesalahan yang paling besar, yang tidak Dia maafkan.
Ada-nya Allah tidak didahului oleh sebab-sebab tertentu : “Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”(QS Al-Hadid [57]:3).
Allah Swt bersifat Qidam, maka jadilah Dia Qadim (sesuatu yang tiada permulaan baginya).
Wujud senantiasa ada, kekal ada, dan tiada akhir-Nya.
Wujud pada hakikatnya ialah menafikan adanya kesudahan bagi Wujud Allah Ta’ala.
(disarikan dari : Wujud-Menuju Jalan Kebenaran; Hb. Zulkifli bin Muhammad bin Ibrahim Banahsan bin Syahab dan Sentot Budi Santoso bin Danuri bin Abdullah)