Home / Agama / Kajian / Alienasi manusia modern dan Ki Ageng Suyomentaram (1892 – 1962)

Alienasi manusia modern dan Ki Ageng Suyomentaram (1892 – 1962)

Tidak banyak orang masa kini  yang mengenal nama Ki Ageng Suryomentaram, seorang filsuf Jawa yang memiliki sumbangsih besar dalam pemikiran tentang hakikat kepribadian manusia. Meski namanya sempat disinggung di kalangan psikologi di Indonesia dan beberapa peneliti telah menggunakan ajaran beliau sebagai sumber menyusun model teoritik penelitiannya, reputasi Ki Ageng Suryomentaram tetap saja masih kalah populer bila dibandingkan dengan Sigmund Freud,  Skinner, atau Abaraham Maslow,  kendati di Jawa sekalipun yang merupakan tempat asal Ki Ageng Suryomentaram.

Hal ini yang menyebabkan ajaran Ki Ageng Suryomentaram tentang manusia, yang dinamakan oleh beliau sebagai Ilmu Jiwa Kramadangsa atau pengawikan pribadi, masih luput dari perhatian. Penekanannya berfokus pada konsep rasa. Menurut Paul Stange (1984), rasa merupakan konsep yang fundamental dalam alam spiritual masyarakat Jawa yang bukan hanya mengaitkan antara dunia estetika, etika, dan mistisme dalam benang merah, namun juga terkait dengan konsep tentang kekuasaan dan otoritas: rasa adalah sub-struktur (logika) yang mendasari kosmologi dan perilaku orang Jawa. Menurut Ki Ageng Suryomentaram, rasa adalah bagian dari diri manusia yang menyadari atau mengetahui obyek. Rasa jugalah yang mendorong seseorang untuk bertindak. Oleh karena itu, mempelajari rasa tidak lain adalah mempelajari manusia itu sendiri.

Namun, konsep psikologi Ki Ageng Suryomentaram tidak sama dengan teori psikologi modern yang melihat manusia sebagai organisme dengan sistem eksklusif semi-terbuka terhadap dunia luar. Manusia dalam perspektif psikologi modern merupakan  satuan-satuan psike yang terisolasi dari orang lain meski saling menerima pengaruh satu sama lainnya. Kondisi demikian justru menjadi masalah menurut Suryomentaram karena relasi manusia yang satu dengan yang lain didasarkan pada atribut-atribut yang tampak belaka. Alih-alih membenarkan kondisi keterisolasian ini, manusia hendaknya beralih ke dimensi yang lebih tinggi sebagai manusia tanpa ciri.

Menurut Suryomentaram, manusia tanpa ciri tidak lagi diombang-ambing lagi oleh rasa senang dan susah (mulur mungkret)  sehingga dapat menembus keterisolasian antar-manusia. Dalam keterisolasiannya, menurut Suryomentaram, manusia seringkali salah menghayati rasa dirinya sendiri dan rasa orang lain. Kesalahan dalam menghayati ini  yang berusaha untuk dikenali olehnya melalui pengawikan pribadi, yaitu mengobservasi rasa-nya sendiri. Apabila dalam diri kita muncul rasa (misalkan “rasa marah”), maka ketimbang melampiaskan amarah kita, sebaiknya kita mengamati rasa itu untuk mengenalinya. Dengan mengenali rasa itu, maka muncullah manusia tanpa ciri dalam diri seseorang, yang menghayati rasa dirinya dan rasa orang lain dengan akurat sehingga muncul rasa sama antara manusia yang satu dengan lainnya.

Jadi, apabila psikologi modern yang dirancang untuk memahami keunikan manusia, Ilmu Jiwa Kramadangsa Ki Ageng Suryomentaram justru dihelat untuk meyelami rasa sama antara manusia yang satu dengan lainnya. Namun, jangan salah memahami bahwa Ki Ageng Suyomentaram berusaha menyeragamkan semua manusia. Rasa sama yang muncul sebagai hasil dari pengawikan pribadi, menurut Suryomentaram, sebenarnya bersifat fana, muncul sesaat dan kemudian mati lagi. Oleh karena itu, manusia tanpa ciri bukanlah sifat yang melekat terus menerus pada diri seseorang yang pernah mengaksesnya, melainkan suatu kondisi yang harus diupayakan terus menerus dalam proses tiada henti. Ketimbang menjadi doktrin yang dipaksakan agar manusia berpikir dengan seragam, pengawikan pribadi adalah proses olah rasa tiada henti yang berlangsung dalam batin seorang manusia guna mencapai keharmonisan dengan lingkungannya. Pada titik ini, sebenarnya terdapat kesamaan antara Ilmu Jiwa Kramadangsa dan psikologi modern sebagai usaha untuk membantu manusia menyesuaikan diri dengan baik dengan lingkungan sekitarnya.

Sekilas tentang Ki Ageng Suryomentaram

ka-suryomentaramKi Ageng Suryomentaram (1892-1962) adalah anak ke-55 dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII, Sultan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Nama aslinya adalah Kudiarmaji dengan gelar Bendara Raden Mas (BRM). Gelar Bendara Pangeran Harya Suryomentaram diperoleh beliau saat diangkat sebagai pangeran pada usia ke-18 .

Filsafat Ki Ageng Suryomentaram dimulai dari  rasa keterkurungan dalam tembok-tembok istana yang berkembang menjadi rasa hampa akan eksistensi  manusia. Rasa ini dideskripsikan oleh Ki Ageng Suryomentaram sebagai rasa ‘tidak bertemu dengan manusia’: suatu kondisi keterasingan eksistensial. Manusia dalam kraton ditelan oleh dominasi kekuasaan yang mereduksi eksistensi mereka semata-mata dalam kriteria  ‘yang disembah’, ‘yang diperintah’, ‘yang dimarahi’ dan ‘yang dimintai.’

Dalam rasa ketidakpastian dan kekecewaan terhadap kehidupan di dalam kraton inilah, beliau memutuskan untuk meninggalkan kehidupan di istana secara diam-diam. Kejadian ini sebenarnya dipicu juga oleh tiga peristiwa, yaitu: dipecat dan wafatnya kakek beliau (Patih Danurejo VI),  diikuti dengan diceraikannya Ibunda (Bendara Raden Ayu Retnomandoyo) beliau, serta wafatnya isteri beliau. Tiga kejadian ini sangat memukul bagi si pangeran hingga ia meminta agar gelar pangerannya dicabut namun ditolak.

About admin

Check Also

Inilah Saat-saat Seseorang Dekat dengan Allah

”Ternyata shalat, zakat, puasa dan haji belum menjamin kedekatan seseorang dengan Allah SWT”. Oleh: Admin ...