“Alam ini dan segala makhluk yang berada di dalamnya, pada hakikatnya gelap gulita, tidak ada padanya sinar cahaya yang dapat memberi petunjuk kita kepada sesuatu”.
Oleh: Admin*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku yang dikasihi Allah SWT, Guru kami, Al-Imam Ibnu ‘Athaillah Assakandary dalam kitab Al-Hikam-nya menyatakan,
اَلْكَوْنُ كُلُّهُ ظُلْمَةٌ وَإِنَّمَا أَنَارَهُ ظُهُوْرُ الْحقِّ فِيْهِ، فَمَنْ رَأَى الْكَوْنَ وَلَمْ يَشْهَدْهُ فِيْهِ أَوْ عِنْدَهُ أَوْ قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ فَقَدْ أَعْوَزَهُ وُجُوْدُ الْأَنْوَارِ، وَحُجِبَتْ عَنْهُ شُمُوْسُ الْمَعَارِفِ بِسُحُبِ الْآثَارِ .
“Alam ini serba gelap, ia menjadi terang hanyalah karena menifestasi (dzhahir) Allah di dalamnya. Siapa melihat alam, namun tidak menyaksikan Allah di dalam atau bersamanya, sebelum atau sesudahnya, maka ia sangat memerlukan cahaya, dan surya makrifat terhalang baginya oleh awan benda-benda alam”.
Pengertian dari Kalam Hikmah ini cukup dalam sekali. Untuk memahaminya, memerlukan ilmu dan perenungan yang tidak sebentar. Tidak pula hanya dengan kacamata lahiriyah (fisika) semata untuk bisa memahaminya. Mari kita simak bagaimana penjelasan hikmah tasawuf di atas.
Al-Kaunu Kulluhu Dzhulmatun
Maksudnya bahwa alam ini, dan segala makhluk yang berada di dalamnya, pada hakikatnya gelap gulita, tidak ada padanya sinar cahaya yang dapat memberi petunjuk kita kepada sesuatu. Sebab alam pada hakikatnya menurut pandangan hamba-hamba Allah yang mata hatinya selalu melihat Allah, adalah nihil dan tidak ada apa-apanya. Artinya, tidak mempunyai kekuatan apa-apa, api tidak membakarnya, nasi tidak mengenyangkannya, pisau tidak memutuskannya dan lain sebagainya kalau tidak dikehendaki oleh Allah SWT pada waktu bersentuhan antara sebab dengan musabab. Bahkan alam itu sendiri, langit dan bumi beserta isinya tidak ada apa-apa bila tidak diadakan oleh Allah SWT.
Alam beserta semua isinya ini ada karena dikehendaki dan diadakan oleh Allah SWT. Jika Allah tidak menghendaki ada, maka alam beserta isinya tidak akan pernah ada. Dan tidak mungkin (mustahil) ada dengan sendirinya.
Dalam melihat alam semesta, manusia terbagi ke dalam beberapa kelompok:
1. Manusia yang hanya dapat melihat alam saja, tetapi ia tidak dapat melihat Allah SWT
Artinya, alam ini sudah begitu berbekas dalam hati orang-orang yang termasuk ke dalam golongan ini. Hatinya lupa kepada Allah dan tidak dapat melihat bagaimana kekuasaan Allah SWT Yang Maha Agung dengan segala sifatNya meliputi alam yang ia lihat.
Manusia dalam golongan ini berada dalam keadaan gelap-gulita, sebab ia hanya dapat melihat alam tetapi tidak dapat melihat Penciptanya dari alam yang ia lihat. Keadaan ini disebabkan oleh karena ia hanya melihat keadaan dirinya, pekerjaannya, usahanya, kepandaiannya, dan lain sebagainya tanpa melihat kepada yang telah menggerakkan semuanya itu, yaitu Allah SWT.
2. Manusia yang disamping ia melihat alam dan bergelut di dalamnya, juga dapat melihat Allah SWT
Dalam golongan ini, manusia terbagi lagi ke dalam beberapa kelompok:
Sebagian mereka melihat Allah SWT di dalam alam. Artinya, pada waktu ia melihat alam, maka dilihatnya pula bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam alam itu adalah menurut kodrat dan irodat Allah SWT. Ia melihat bahwa semuanya itu berjalan menurut hikmah-hikmah yang telah diatur olehNya. Tidak ada tempat bergantung selain hanya kepada Allah SWT. Hatinya selalu melihat bahwa semuanya itu dari Allah SWT. Allah-lah yang menjadikan dan mengadakan segala sesuatunya.
Karena itu, ia melihat Allah dengan kekuasaanNya dan sifat-sifatNya yang Maha Suci dan Maha Agung. Apabila sebagian manusia belum dapat melihat dan merasakan keyakinan ini, maka tidak ada sebab lain kecuali karena ia masih beranggapan bahwa segala sesuatu dapat tercapai atau tidak hanya semata-mata dengan usahanya sendiri, tanpa ada perhatiannya kepada Allah yang telah menciptakan usahanya itu.
Kemudian, sebagian hamba Allah apabila melihat alam, ia melihat Allah di samping alam itu sendiri. Artinya, jika ia melihat alam, maka ia harus melihat Allah yang Maha Pengatur apa yang Dia kehendaki kepada alam itu. Apakah yang diatur oleh Allah itu sesuai dengan kehendak alam atau tidak (baca: kehendak manusia). Karena itu, demi melihat Allah dalam arti ini berarti seseorang harus bersyukur kepadaNya. Apalagi jika apa yang ia dapatkan sesuai dengan apa yang dicintainya. Itulah yang menyebabkan pula ia menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhkan larangan-laranganNya. Oleh sebab itu, berkumpullah padanya dua sifat yang terpuji, yaitu:
- Bersyukur kepada Allah atas segala nikmatNya, dan
- Selalu mengingat hak-hak Allah Ta’ala di mana dengannya kehendak syahwat dan nafsunya terhindar dengan sendirinya.
Inilah makna yang terkandung dalam sebuah Hadits Qudsiy riwayat Abu Hurairah RA; Rasulullah SAW telah bersabda, bahwa Allah SWT berfirman:
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِي، إِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ هُمْ خَيْرٌ مِنْهُمْ، وَإِنْ تَقَرَّبَ مِنِّي شِبْرًا، تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا، تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا، وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً.
“Aku adalah di mana sangka hambaKu padaKu, Aku beserta dia apabila dia mengingatKu. Jika ia ingat Aku dalam dirinya Aku ingat padanya dalam diriKu. Dan jika ia mengingatKu di tengah manusia ramai, maka Aku mengingatinya dalam jamaah yang lebih baik dari mereka. Dan jika ia mendekatiKu sejengkal, Aku mendekatinya sedepa. Dan jika dia mendekatiKu sedepa, maka Aku mendekatinya sehasta. Dan jika ia mendatahgiKu berjalan kaki, maka Aku datang kepadanya berlari.”
Makna kalimat dalam Hadits ini bersifat majazi (kiasan), bukan secara harfi (lahiriyah). Secara gamblang dapat diterjemahkan bahwa apabila hati dan perasaan kita dekat kepada Allah, maka Allah akan lebih dekat lagi kepada kita. Secepat apa kita mengingat Allah, maka Allah akan lebih cepat lagi mengingat kita.
Jadi, hamba Allah dalam golongan ini apabila mereka melihat alam, maka dengan serta-merta pula ia melihat Allah dalam arti tersebut di atas. Ketahuilah bahwa perasaan di atas tidak akan ada, apabila kita selalu dalam keadaan lalai dan meninggalkan hak-hak Allah Ta’ala terhadap kita.
3. Manusia yang melihat alam, tetapi sebelumnya ia telah melihat Allah SWT
Dengan perkataan lain, telah lebih dulu menjadi sebuah keyakinan dan pengetahuan dalam hatinya bahwa alam yang ia lihat kemudiannya adalah menurut kehendak (iradat) Allah dan kuasaNya (qudrat). Bagi hamba Allah yang memiliki sifat ini, bahwa Allah sebagai dalîl dan alam sebagai madlûl. Yakni, ia melihat keadaan alam yang demikian gambarannya berdalil kepada Allah yang menghendaki sedemikian itu.
Bagi hamba Allah yang melihat alam dengan metode ini, menjadikan ia harus bertawakkal dan berserah diri kepada Allah SWT. Oleh sebab itulah, bahwa tiap-tiap sesuatu dari alam adalah datang dari Allah SWT. Sebagaimana firmanNya dalam Al-Quran:
لَهٗ مَقَالِيْدُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ وَيَقْدِرُ ۗاِنَّهٗ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ۞
“Dia yang mempunyai kunci langit dan bumi, dilapangkanNya rezeki bagi siapa yang dikehendakiNya, dan dibatasiNya bagi siapa yang dikehendakiNya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Asy-Syura [42]: 12)
Oleh sebab itu, maka hamba Allah yang keadaannya telah sampai ke taraf ini, dengan sendirinya jauh daripadanya kelalaian terhadap Allah. Oleh karena di samping ia selalu bersyukur kepada Allah juga ia dalam segala sesuatu rela dan menyerah atas kehendak Allah, terhadap alam pada umumnya dan dirinya pada khususnya.
Tetapi apabila ia melihat sesuatu itu terlepas dari Allah dan dirinyalah menentukan segala sesuatu, maka kelezatan melihat Allah seperti tersebut di atas tidak ada padanya, bahkan mustahil secara adat.
4. Manusia yang apabila ia melihat alam, hatinya lalai pada kekuasaan Allah, kehendakNya dan lain sebagainya.
Tetapi kemudian baru dia sadari bahwa segala-galanya ini dijadikan oleh Allah, dan Allah-lah yang menghendaki apa yang ia capai. Dan sebaliknya, ia merasakan pula bahwa apabila ia tidak berhasil mendapatkan sesuatu, maka berarti itu adalah kehendak Allah yang Maha Mutlak.
Hamba Allah dalam tingkat ini hanya dapat merasakan bahwa alam sebagai dalîl dan Allah sebagai madlûl, kebalikan daripada tingkatan sebelumnya. Tingkatan ini berada paling bawah dari keseluruhan dan tidak ada di bawah ini selain hanya martabat orang-orang yang selalu bergelimang dengan lumpur kelalaian yang membawanya jatuh dalam jurang kerugian.
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
… وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِالْبَاطِلِ وَكَفَرُوْا بِاللّٰهِ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ ۞
“… Dan orang-orang yang beriman dengan yang batil dan tidak percaya kepada Allah, itulah orang yang menderita kemudian.” (QS. Al-Ankabut [29]: 52)
Kesimpulannya, empat golongan seperti tersebut di atas adalah hamba-hamba Allah yang berada dalam tingkatan-tingkatannya. Mereka mendapatkan nur Ilahi atau cahaya Allah yang dilimpahkan olehNya ke dalam hati mereka.
Tetapi bagi sebagian hamba Allah di mana mereka tidak dapat melihat Allah SWT, karena hatinya telah begitu tebal dengan pengaruh alam duniawi, mereka itu berada dalam kerugian sepanjang masa. Mudah-mudahan dijauhkan hati kita sekalian oleh Allah SWT dari golongan yang terakhir ini.
اَللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ سَمْعِيْ وَمِنْ شَرِّ بَصَرِيْ وَمِنْ شَرِّ لِسَانِيْ وَمِنْ شَرِّ قَلْبِيْ وَمِنْ شَرِّ مَنِيِّيْ (أخرجه الترمذي والنسآئي)
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari keburukan pendengaranku, dan dari keburukan penglihatanku, dan dari keburukan lisanku, dan dari keburukan hatiku, dan dari keburukan kemaluanku”. (HR. Tarmidzi dan Nasa’i)
_____________
Sumber: Abuya Syeikh Prof. Dr. Tgk, Chiek. H. dan Muhibbuddin Muhammad Waly Al-Khalidy, 2017, Al-Hikam Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf Jilid 1, Al-Waliyah Publishing