Oleh: H. Derajat
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Sudaraku dan para sahabatku, pada artikel terdahulu yang berjudul “Makna Tampak Saking” telah dijelaskan tentang konsep “Khalîfatullah“. Dalam artikel tersebut, Guru Mursyid kami, Syeikh Abdurrauf Singkel mengatakan bahwa “Syeikh Bay’at Talqin adalah sebagai ‘Pengganti Allah’ (Khalîfatullah)”. Lalu bagaimana penjelasannya? Dan di mana kedudukan Rasulullah SAW?
Baiklah, mari kita telisik satu-persatu tentang konsep Khalîfatullah sebagaimana yang dikemukakan oleh Guru Mursyid kami, sekaligus menjabarkan bagaimana konsep Khalîfah yang dimaksud oleh Allah SWT sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Baqarah: 30 yang bunyi lengkapnya sbb:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَآئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ ۞
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Saudaraku, dalam ayat tersebut, Allah SWT hendak menjadikan Khalîfah di muka bumi. Kehendak Allah SWT itu terhimpun dalam kata jâ’ilun yang dinyatakan untuk merealisasikan af’al (perbuatan-Nya), yang dalam hal ini “menjadikan” (Khalîfah). Jâ’ilun adalah ism fa’il (subyek) dari kata kerja ja’ala yang artinya menjadikan. Bukan menciptakan, tapi menjadikan.
Secara etimologis, kata ja’ala ini bermakna menjadikan suatu kejadian dari sesuatu yang sudah ada ke kejadian lain. Ada kata yang mirip dengan ja’ala, diantaranya; khalaqa (menciptakan), fathara (menciptakan), bada’a (menciptakan), nasya’a (membentuk).
Selain pada ayat di atas, kata ja’ala dapat ditemukan juga pada ayat lain, misalnya;
ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُم مِّنَ ٱلشَّجَرِ ٱلْأَخْضَرِ نَارًا ۞
“… yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau.” (QS. Yasin: 80)
هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ ٱلشَّمْسَ ضِيَآءً وَٱلْقَمَرَ نُورًا ۞
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya.” (QS. Yunus: 5)
Dalam dua ayat tersebut, Allah SWT menjadikan api yang muncul dari kayu yang hijau. Energi api dimunculkan dari kayu di saat yang bersamaan. Begitu juga, Dia SWT menjadikan sinar dari matahari dan menjadikan cahaya dari bulan. Perhatikanlah dengan teliti!
Jika kita analogikan kedua ayat tersebut (QS. Yasin: 80 dan Yunus: 5) dengan QS. Al-Baqarah: 30 dalam hal af’al menjadikan, maka Allah SWT menjadikan Khalîfah itu dari entitas yang sudah ada yakni; manusia. Akan tetapi, Allah SWT tidak menjadikan semua manusia sebagai Khalîfah begitu saja. Pada awalnya, manusia itu tidaklah menyandang gelar Khalîfah. Karena itu, Malaikat mengajukan “petisi” kepada Tuhan karena hanya akan merusak bumi dan menumpahkan darah; “Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”.
Jika yang dimaksud Malaikat itu adalah makhluq yang perbuatannya merusak di muka bumi, maka Allah SWT seolah-olah mengatakan: “Bukan yang model begitu yang akan Aku jadikan Khalîfah, tapi yang berserah diri secara total kepada-Ku dan menghilangkan kehendak-kehendak di dalam dirinya selain kehendak-Ku, meskipun jenisnya sama dari kalangan mereka”. Pengertian itu tersimpul dalam kalimat; “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Karena itulah, maka kata jâ’ilun dipakai untuk menunjukkan mode penjadian Khalîfah yang berasal dari jenis manusia. Dalam QS. Yasin: 80, Allah SWT menjadikan api yang berasal dari kayu yang hijau. Dalam QS. Yunus: 5, Allah SWT menjadikan sinar dan cahaya yang berasal dari matahari dan bulan, sehingga keduanya menjadi bersinar dan bercahaya. Dalam QS. Al-Baqarah: 30, Allah SWT menjadikan Pengganti-Nya (Khalîfah) yang berasal dari jenis manusia di muka bumi. Pahamilah!
Lalu bagaimana proses penjadian Khalîfah? Dari mana pengambilan “energi Khalîfah” itu berasal? Sebenarnya jawaban atas pertanyaan itu secara gamblang sudah ada pada artikel-artikel terdahulu: “Penciptaan Ruh Rasulullah SAW”, “Penciptaan Tubuh Rasulullah SAW”, dan “Betapa Luasnya Pengetahuan Rasulullah SAW”.
Untuk mendukung penjelasan pada artikel-artikel tersebut, barangkali dapat ditambahkan penjelasan lebih mendetil pada artikel yang singkat ini. Bahwa struktur substansi-aksiden pada diri manusia biasa dan Rasulullah SAW baik ketika hidup maupun sesudah wafatnya berbeda satu sama lain. Lalu bagaimana titik temu (meeting point) ketika seseorang yang masih hidup dapat bertemu Rasulullah SAW yang dalam pandangan awam disebut sudah wafat? Dan bagaimana proses struktur substansi-aksiden diri seseorang sehingga ia disebut sebagai Khalîfatullah yang dimulai dari Khalîfaturrasulillah?
Baiklah saudaraku dan para sahabatku, sebagaimana Guru Mursyid kami, aku pun mengatakan bahwa:
Dalam diri manusia biasa, ketika masih hidup: Badannya adalah jasmaninya, dan nyawanya adalah ruhaninya. Ketika manusia biasa mati: Badannya adalah ruhaninya, dan nyawanya adalah Ruh Idhafi (Ruh Penyifatan).
Sedangkan diri Rasulullah SAW, ketika beliau hidup: Badannya adalah ruhaninya, dan nyawanya adalah Ruh Idhafi. Ketika Rasulullah SAW wafat: Badannya adalah Ruh Idhafi, dan nyawanya adalah Ruhul Qudus.
Dari dua penjelasan pada dua paragraf di atas, maka titik temu manusia (Mursyid) dengan Rasulullah SAW baik dalam keadaan beliau masih hidup (jasadiyahnya/wadagnya) maupun setelah wafatnya adalah melalui Ruh Idhafi. Di titik itulah manusia disebut sebagai Khalîfatullah. Dan ini berlangsung tiada henti hingga akhir zaman.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa meeting point seseorang dengan Rasulullah SAW (baik ketika Rasulullah SAW masih hidup maupun sesudah wafatnya) tetaplah sama, yakni pada Ruh Idhafi. Lho kok bisa sama? Ya, (dengan pasti dan meyakinkan) itu sama saja. Hidup Rasulullah SAW dengan wadagnya ataupun tanpa wadagnya (setelah wafatnya), dalam hal penerimaan penyifatan Ruh Idhafi, seseorang yang hidup di zaman dahulu kala sampai di zaman sekarang tetaplah mempersyaratkan proses yang sama.
Penjelasan tentang “badan dan nyawa” Rasulullah SAW di atas telah cukup menegaskan kepada kita bahwa Rasulullah SAW sudah, masih dan akan tetap hidup sepanjang masa. Beliau berdialog, membimbing, bersabda, memberikan taqrir, memberikan isyârah dan bisyârah dengan orang-orang yang sudah mencapai dan masuk ke dalam Ruh Idhafi, baik dulu maupun sekarang, baik ketika beliau masih dengan wadagnya (15 abad silam) maupun tanpa wadagnya saat ini. Prinsip-prinsip Khalifatullah dan Khalifaturrasulillah dalam pencapaiannya tetaplah sama, dari sejak dahulu kala hingga detik ini.
Belum tentu orang yang hidup di zaman dahulu, yang melihat wadagnya beliau SAW, yang bertemu dan berdialog melalui wadagnya beliau SAW, semuanya menjadi orang beriman. Karena Abu Jahal dan Abu Lahab pun bertemu, berdialog dan mendengar sabda-sabda beliau. Sebaliknya pula, belum tentu orang yang hidup setelah beliau wafat (tanpa wadag) lalu semua menjadi tak bisa beriman. Kedua zaman itu (zaman dengan wadagnya atau tanpa wadagnya), meeting point seseorang dengan Rasulullah SAW tetaplah sama, yakni melalui Ruh Idhafi.
Allah SWT memerintahkan kita untuk bertemu dengan Rasulullah SAW, sebagaimana firman-Nya:
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ ۞
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam”. (QS. Ali ‘Imran: 102)
“…Walâ tamûtunna…” (…jangan sekali-kali kau mati…) adalah sebuah kalimat nafyi ta’kîd (larangan yang sangat ditekankan). Bahwa kalimat tersebut adalah kalimat larangan, yang ketika ditekankan, maka ia berlaku sebagai perintah. Artinya, diperintahkan untuk mati dalam keadaan Islam, yakni; mengenyampingkan segala bentuk kehendak ghairiyyah (selain kehendak Allah SWT). Mati dari kehendak-kehendak ghairiyyah inilah, “Badan Suci Rasulullah SAW” yang disebut Ruh Idhafi akan ditemukan.
Singkatnya, kalimat perintah untuk mati dalam keadaan Islam pada ayat di atas itu artinya adalah sebuah “perintah untuk bertemu Rasulullah SAW”. Perintah untuk mati seperti ini juga diperintahkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana sabdanya:
مُوْتُوْا قَبْلَ أَنْ تَمُوْتُوْا تُظْفَرُ بِإِذْنِ اللّٰهِ بِشَيْءٍ مِنْ مَقَامِ الصِّدِّيْقِ
Mûtû qabla an tamûtû tudzfaru bi idznillâhi bisyaiin min maqâmish shiddîqi
“Matilah sebelum kalian mati (yang sebenarnya), niscaya kalian akan diberi keberuntungan dengan izin Allah SWT dari maqam (Abu Bakar) Shiddiq”.
Dalam Hadits lain, Rasulullah SAW menambahkan dengan sabdanya:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَيِّتٍ يَمْشِى عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى أَبِىْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ
man arâda ay yandzura ilâ mayyitin yamsyî ‘alal ardhi falyandzur ilâ abî bakrinish shiddîq
“Barangsiapa yang ingin melihat orang mati yang sedang berjalan di muka bumi, maka lihatlah Abu Bakar as-Shiddiq”.
Rasulullah SAW juga menegaskan tentang menemuinya setelah wafatnya. Sabdanya;
مَنْ زَارَنِيْ بَعْدَ وَفَتِيْ فَكَأَنَّمَا زَارَنِيْ فِى حَيَاتِيْ
“Barangsiapa yang mengunjungiku setelah wafatku, itu sama dengan datang padaku saat hidupku”
Saudaraku, mati sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah SAW adalah sebuah perintah, agar kalian mendapatkan keberuntungan baik di dunia maupun di akhirat. Keberuntungan karena telah menjadi Khalifah di muka bumi.
Lalu bagaimana dengan orang yang belum mampu untuk sampai kepada pemahaman seputar ini? Jawabannya, carilah wadag-wadag yang rohaninya sudah berada pada meeting point dengan Rasulullah SAW. Berkhidmatlah kepada beliau. Cenderunglah dengan adab-adab atas arahan beliau. Tegakkanlah sikap husnudzdzan ketika bergaul dan bercengkrama dengan beliau. Ceraplah cahayanya dengan kebaikan-kebaikan kalian kepada beliau baik lahir mapun bathin, terlihat oleh beliau ataupun tidak, di depan beliau ataupun di belakang beliau. Apapun yang muncul dari beliau, kalian harus bersikap nrimo ing pandum (menerima dengan ikhlas lahir dan bathin). Karena beliau adalah Guru Mursyid kalian. Bimbingannya bukan main-main, tidak seperti guru sekolah atau dosen di kampus, atau sekedar ustadz di Majelis Ta’lim. Pahamilah!
Dengan gaya bahasa klasik, Syeikh Naem As-Saufi dalam kitab “Mengenal Ruh Bermula” mengatakan:
“Adapun Ruh Idhafi itu maka daripadanya asalnya Jawahir. Adapun Ruh Idhafi itu ialah Nuktah. Yang mengadakan Nuktah itu Zat Allah yang Maha Suci. Maka Nuktah itu adalah Titik. Maka Titik itu di dalam Bâ, maka bernamalah ia Bismillâh. Maka dari huruf Bismillâh itulah asalnya kejadian alam semesta dan segala isi-isinya. Apabila Bâ itu terbalik ianya dinamakan Nûn. Maka Ruh Idhafi itulah izin Allah di dalam diri kita. Maka Ruh Idhafi itulah dinamakan Ujud Idhafi. Maka Ruh Idhafi itulah dinamakan Nyawa Muhammad, Nyawa Adam, Nyawa orang-orang Mukmin dan Nyawa kepada Ruhani. Maka kenyataan Ruh Idhafi itulah Ruhul Quddus. Maka kenyataan Ruhul Quddus itu ialah Ruhani. Kenyataan Ruhani itu ialah Nafas kita. Maka adapun Ruh Idhafi itu di dalam diri. Maka Hakeqat itu diri, dan diri itu di dalam Idhafi“.
Saudaraku, ini adalah ajaran yang dipegang oleh Guru Mursyidku, Uyut Salinggih. Beliau diajarkan langsung oleh Syeikh Sunan Sawiji, dan Syekh Abdur Razzaq Al-Baghdadi, putra Syeikh Abdul Qadir Al-Jaelani.
Semoga Allah SWT limpahkan kekuatan kepada kita agar mampu masuk ke dalam kehendak, rencana, keinginan, serta daya upaya Allah Ta’ala, yang oleh Ibnu ‘Allan disebut sebagai mati ikhtiyȃriy, yaitu mati dengan fana. Yakni keluar dari sifat-sifat kemanusiaan dengan cara meninggalkan segala keinginan, segala kehendak, segala rencana dan segala hawa nafsu, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb