“Akhlaq dan Adab; serupa tapi tak sama. Namun keduanya sama pentingnya bagi kehidupan manusia”
Oleh: Ahmad Dirgahayu Hidayat
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wash-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn”.
Menjadi insan dengan hiasan moralitas terpuji (al-akhlaq al-karimah) dan tingkah polah yang berkualitas (‘aliyyul adab), bagian dari misi tertinggi yang diperjuangkan agama Islam. Sampai-sampai baginda Nabi Muhammad shallallãhu ‘alaihi wa sallam menyatakannya dengan jelas dan tegas, bahwa dirinya diutus guna menyempurnakan moralitas terpuji umat manusia. Wajar saja Islam mengajarkan kita sampai hal-hal terkecil dalam kehidupan sehari-hari.
Mulai dari bangun tidur, makan, minum, duduk, berjalan, mandi, memotong kuku, dan seterusnya. Sehingga, umat tak pernah lepas dari kebaikan, kebersihan, pujian-pujian indah dan doa. Sungguh, agama indah yang penuh pelajaran. Dan, tentu akan lebih indah ketika kita mengenal secara lebih detail perbedaan antara akhlak dan adab. Karena ketika keduanya berhasil terinstal dengan baik sesuai porsinya, maka implementasi dari keduanya akan berjalan indah dan lebih mudah. Semoga.
Pengertian Akhlak
Muhammad Abdullah Darraz dalam karyanya Kalimȃt(un) fi Mabȃdi’i Ilmi al-Akhlȃq [cet. Muassasah Hindawi, 2017] hal. 01)] mengutip sebuah kamus terkait makna akhlak. Bahwa, kata akhlak tersebut dapat diartikan sebagai tabiat dan watak alami manusia (Al-Khuluq huwa at-thab’u wa as-sajiyah).
Berikutnya, ia mengutip kalam Ibnu al-Atsir dalam an-Nihayah yang berbicara tentang hakikat akhlak. Ibnu al-Atsir menulis:
حَقِيْقَةُ الْخُلُقِ أَنَّهُ لِصُوْرَةِ الْإِنْسَانِ الْبَاطِنَةِ – وَهِيَ النَّفْسُ وَأَوْصَافُهَا وَمَعَانِيْهَا – بِمَنْزِلَةِ الْخَلْقِ لِصُوْرَتِهِ الظَّاهِرَةِ
“Akhlak secara hakikat diciptakan untuk konstruksi batin manusia, tentang jiwa, pelbagai sifat dan esensi kejiwaan tersebut. Hal ini tak ubahnya bagai tubuh yang diciptakan sebagai konstruksi jasmani mereka.”
Dari sini, pengertian sederhana yang dapat kita ambil, bahwa akhlak adalah semacam ‘software’ dalam diri manusia. Keberadaannya memang tak kasat mata, namun ia memiliki fungsi yang besar. Akhlak inilah yang berfungsi menggerakkan fisik manusia menjadi sebuah sikap nyata dan tutur kata.
Jika yang menggerakkan fisik adalah moralitas tercela (akhlaq as-sayyi’ah), tentu tercela pula sikap dan tutur kata yang lahir darinya. Namun, jika fisik ini digerakkan oleh moralitas terpuji (akhlaq al-karimah), maka yang muncul adalah gerak fisik atau aktivitas yang terpuji.
Keterangan di atas dikuatkan lagi oleh statement Ibnu Maskuwaih yang juga dikutip oleh Muhammad Abdullah Darraz. Berikut redaksinya:
الْخُلُقُ حَالٌ لِلنَّفْسِ دَاعِيَةً لَهَا إِلَى أَفْعَالِهَا مِنْ غَيْرِ فِكْرٍ وَلَا رَوِيَّةٍ
“Akhlak merupakan suatu kondisi yang mendorong seseorang untuk melakukan segala aktivitas secara natural, tanpa memerlukan nalar dan perencanaan.” (Muhammad Abdullah Darraz, Kalimãt(un) fi Mabãdî’i Ilmi al-Akhlãq [cet. Muassasah Hindawi, 2017] hal. 01)
Sebut saja akhlak terhadap guru. Jika si murid memiliki potensi dan bekal moralitas terpuji, walau tanpa diminta ia tetap akan membungkuk dan menciumi tangan sang guru. Meski tidak terpikir dan terencana terlebih dahulu. Karena akhlak akan menjadi semacam ‘remote control’ yang secara otomatis menggerakkan fisik.
Maka, tepat ungkapan syekh Abdul Majid dalam Ar-Raddu al-Jamîl ‘ala al-Musyaqqiqîn fi al-Islãm [cet. Darul Maranah 2003, hal. 166], yang menyatakan; wa dhãbitul akhlaqi huwa al-ladzî yaj’alul insãna insãnan
وَضَابِطُ الْأَخْلَاقِ هُوَ الَّذِيْ يَجْعَلُ الْإِنْسَانَ إِنْسَانًا
“Standarisasi moralitas terpuji (akhlaq) adalah saat ia menjadi motif seseorang dalam memperlakukan manusia sebagai manusia”.
Pengertian Adab
Ketika akhlak dimaknai sebagai watak dasar manusia, maka adab adalah ekspresi yang lahir dari watak tersebut. Ia hanyalah perangkat lahiriah semata, tidak lebih. Sebab, adab di sini bekerja berdasarkan warna akhlak. Jika akhlak berwarna merah, adab pun bekerja dengan warna merah, dan begitu seterusnya.
Istilah lain dari adab yang disebutkan Abdullah Darraz adalah suluk. Istilah suluk dalam pasal ini tentu berbeda dengan suluk dalam perbincangan para ahli tarekat atau sufi sejati. Suluk dalam pandangan mereka, seperti yang terekam dari kitab Bina’ al-Mujtama’ al-Islamy [cet. Darussyuruq, 1998, hal. 124] karya Nabil as-Samaluthi adalah sebagai berikut;
وَالتَّزْكِيَةُ فِي مَجَالِ السُّلُوْكِ هُوَ اِنْتِزَاعٌ مَا هُوَ غَيْرُ مَطْلُوْبٍ وَدَعَمٌ مَا هُوَ مَرْغُوْبٌ
Artinya: “Penyucian jiwa sebagai porsi suluk adalah menghanguskan segala sesuatu dalam jiwa yang tidak diinginkan syariat dan merawat dengan baik segala yang dicintainya.”
Sehingga jauh berbeda dengan suluk dalam istilah yang dimaksud Abdullah Darraz. Suluk yang dimaksud adalah sebagai padanan kata dari akhlak. Dengan kata lain, Abdullah Darraz menggunakan istilah suluk sebagai ganti kata adab. Ia mengatakan:
وَهَذَا يَنْبَغِي أَلَّا يَشْتَبِهُ عَلَيْنَا الْفَرْقُ بَيْنَ الْخُلُقِ وَالسُّلُوْكِ، فَالْخُلُقُ كَمَا قُلْنَا أَمْرٌ مَعْنَوِيٌّ وَهُوَ صِفَةُ النَّفْسِ وَسَجِيَّتُهَا، أَمَّا السُّلُوْكُ فَهُوَ أُسْلُوْبُ الْأَعْمَالِ وَنَهْجُهَا وَعَادَتُهَا، وَمَا هُوَ إِلَّا مَظْهَرُ الْخُلُقِ وَمِرْآتُهُ وَدَلِيْلُهُ
“Terkait ini, alangkah baik jika kita memahami perbedaan antara akhlak dan suluk. Seperti penjelasan yang lalu, akhlak adalah perkara abstrak. Ia adalah sifat dan watak alami setiap jiwa. Sedang suluk-dalam pasal ini-adalah corak amal, pijakan dan tata kramanya. Sehingga, suluk hanyalah ekspresi akhlak, yang menjadi cermin dan indikator dari akhlak tersebut.” (Abdullah Darraz, Kalimȃt(un) fi Mabȃdi’i Ilmi al-Akhlȃq [cet. Muassasah Hindawi, 2017], hal. 08)
Dari keterangan di atas, dapat kita tarik beberapa kesimpulan di antaranya, bahwa akhlak bertalian erat dengan jiwa manusia. Sedang adab berkaitan dengan aktivitas fisik. Selain itu, akhlak memiliki karakter yang tak lekang waktu. Ia tak akan mengalami perubahan hingga kapan pun. Sementara adab dapat berubah kapan saja. Maka, hari ini mungkin saja standarisasi adab baik adalah A, dan esok hari bisa jadi berubah B.
Terakhir, akhlak juga tidak terkontaminasi oleh tempat. Jauh berbeda dengan adab. Di tengah masyarakat Sasak bisa jadi menemani tamu saat menyantap jamuan yang dihidangkan adalah baik. Namun, di Madura itu adalah adab yang tidak baik terhadap sang tamu. Dengan alasan mengganggu kenyamanan mereka menikmati hidangan. Maka dari itu, akhlak dan adab adalah dua perangkat yang bekerja dalam hubungan konsekuensi logis yang memiliki tujuan dan misi yang sama. Namun, dalam porsi yang berbeda.
Kesimpulannya, adab merujuk pada aturan-aturan sosial dan budaya yang diikuti oleh masyarakat tertentu untuk memperlakukan orang lain dengan sopan dan hormat. Sedangkan akhlak merujuk pada karakter atau moral seseorang yang tercermin dalam perilaku dan tindakan mereka. Adab adalah tata cara berperilaku yang diatur oleh budaya dan norma-norma sosial, sedangkan akhlak adalah karakter moral dan nilai-nilai yang tercermin dalam perilaku dan tindakan seseorang.
Wallãhu a’lamu bish-Shawãb