Home / Agama / Kajian / Aib adalah Rahasia, Rahasia adalah Amanah

Aib adalah Rahasia, Rahasia adalah Amanah

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Saudaraku terkasih, semua orang pasti memiliki aib. Tidak ada orang yang tidak punya aib. Atribut nafsu yang dianugerahkan Allah SWT kepada manusia membuatnya tak bisa lepas dari aib. Karakteristik duniawi yang membuatnya demikian.

Umar bin Khattab r.a. yang dijuluki oleh Rasulullah Saw sebagai Al-Faruq (pembeda antara yang haq dan batil) pernah menyatakan, seseorang akan diketahui aibnya melalui satu dari tiga hal berikut, yaitu: (1) bila bertetangga sudah lama; (2) bila sedang melakukan perjalanan jauh (watak asli seseorang akan ketahuan); dan (3) bila seseorang berurusan dengan uang.

Menutup aib diri sendiri menjadi benar bila niatnya karena Allah, bukan sebab ingin dianggap hebat di hadapan manusia.

Memperhatikan aib-aib diri sendiri (bukan membuka-buka) bermakna menghargai diri sendiri. Jangan pernah bangga menceritakan aib-aib/dosa-dosa diri. Jangan pernah merasa senang setelah memanipulasi hal ini dan itu. Jangan pernah membuka satu persatu kebobrokan diri, apalagi sambil tertawa lepas.

Membuka aib diri sendiri hanya akan mencederai kepribadian, kehormatan, dan kewibawaan diri. Sama artinya dengan tidak menghargai diri sendiri. Kalau tidak menghargai diri sendiri, bagaimana orang lain akan menghormati kita. Bukan masalah menuntut penghormatan sedemikian rupa maupun gila penghormatan. Namun sedemikian penting menghargai diri sendiri. Sebab, diri kita lebih berharga dari benda apa pun yang kita miliki.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللّٰهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ اللَّيْثِيِّ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ إِنَّ نَاسًا مِنْ الْأَنْصَارِ سَأَلُوا رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْطَاهُمْ ثُمَّ سَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ ثُمَّ سَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ حَتَّى نَفِدَ مَا عِنْدَهُ فَقَالَ مَا يَكُونُ عِنْدِي مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ عَنْكُمْ وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللّٰهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللّٰهُ وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللّٰهُ وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنْ الصَّبْرِ ۞

“Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari ‘Atha’ bin Yazid Al Laitsiy dari Abu Sa’id Al-Khudriy RA bahwa ada beberapa orang dari kalangan Anshar meminta (pemberian shodaqah) kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Beliau memberi. Kemudian mereka meminta kembali, lalu Beliau memberi. Kemudian mereka meminta kembali lalu Beliau memberi lagi hingga habis apa yang ada pada Beliau. Kemudian Beliau bersabda: “Apa-apa yang ada padaku dari kebaikan (harta) sekali-kali tidaklah aku akan meyembunyikannya dari kalian semua. Namun barangsiapa yang menahan (menjaga diri dari meminta-minta), maka Allah akan menjaganya dan barangsiapa yang meminta kecukupan maka Allah akan mencukupkannya dan barangsiapa yang mensabar-sabarkan dirinya maka Allah akan memberinya kesabaran. Dan tidak ada suatu pemberian yang diberikan kepada seseorang yang lebih baik dan lebih luas daripada (diberikan) kesabaran.” (HR Al-Bukhari 1376).

Rasululullah Saw bersabda, ”Tidak ada satu pun milikku yang kusembunyikan dari kalian. Barangsiapa menjaga harga dirinya, maka Allah akan menjaga dirinya.” (HR.Bukhari dan Muslim).

Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa yang berusaha menjaga kehormatannya, maka Allah akan menjaga kehormatannya, dan barangsiapa yang merasa cukup maka Allah akan memberikan kecukupan”. (HR. Bukhari)

Allah Swt melalui Rasul-Nya berpesan agar menutup rapat aib agar tidak terkuak dan menguakkan:

كُلُّ أُمَّتِيْ مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِيْنَ وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُـمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللّٰهُ عَلَيْهِ فَيَقُوْلَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللّٰهِ عَنْهُ ۞

“Semua umat-Ku (yang bersalah) pasti dimaafkan, kecuali orang yang membeberkan (kesalahannya kepada masyarakat tanpa perasaan bersalah). Orang yang membeberkan kesalahannya adalah orang yang melakukan suatu perbuatan (dosa) di malam hari, kemudian masuk di pagi hari dan Allah menutup kesalahannya itu. Namun demikian dia bercerita kepada orang lain : ‘Wahai fulan, aku telah melakukan ini dan itu.’ Aku menutup perbuatannya itu. Dan dia membuka tutup itu di pagi hari.” (Hadits Qudsi; HR. Bukhari dan Muslim)

Dikisahkan, dulu ada seorang ulama yang dari wajahnya memancarkan perilaku ketakwaan. Ceramah-ceramahnya memotivasi dan menginspirasi banyak orang. Ia ahli ilmu. Ia ahli retorika. Ia berakhlak mulia. Tidak heran, banyak jemaah pengajian yang datang dalam jumlah yang sangat besar. Di tengah kerumunan jemaah, ulama itu berdoa lirih:

“Ya Allah, jika pada hari kiamat nanti Engkau akan menetapkan siksa atasku, maka janganlah Engkau memberitahukan penyiksaan diriku kepada mereka demi menjaga kemuliaan-Mu dan bukan demi diriku. Agar tidak ada yang mengatakan ‘Dia telah menyiksa orang yang dahulu semasa di dunia memberi petunjuk kepada orang-orang untuk menempuh Jalan-Nya’.”

Akrim Rida, seorang doktor, pengajar, dan penulis produktif di Mesir menyebut kondisi demikian seperti kisah di atas dengan istilah dosa tersembunyi. Sangat mungkin bagi seorang tokoh seperti dalam kisah tersebut, ia melakukan apa yang ia larang dalam ceramahnya, dalam tulisannya. Karena ia manusia. Tidak perlu menafikan kebaikan dari jasa-jasanya. Tetapi tidak usah pula membenarkan kesalahannya. Ambil yang baik, buang yang buruk. Proporsional.

Rasulullah Saw bersabda, “Adam telah melanggar larangan Allah, maka anak keturunannya pun akan melanggar larangan Allah. Adam telah lupa, maka anak keturunannya pun akan lupa. Adam telah berbuat dosa, maka anak keturunannya pun akan berbuat dosa.” (HR. Tirmidzi)

Syaikh Al-Albani rah. berkata, “Semua manusia bersalah, ia tidak bisa berlepas diri dari kesalahan, karena Allah tatkala menciptakan malaikat dan menciptakan manusia, maka Allah telah menggariskan terhadap manusia bahwasanya mereka bersalah, bagaimanapun juga…, seorang manusia tidak akan terlepaskan dari dosa, kenapa? karena ia seorang manusia dan bukan malaikat.”(Mausu’ah Al-Albani fi al-‘Aqidah, 2/156)

Dosa/aib diri sendiri, dan aib siapa pun kita tutup rapat-rapat. Cukup ambil hikmahnya, dan tidak boleh membiarkan diri hanyut dalam keasyikkan membongkar atau menguakkan aib diri sendiri, apalagi aib orang lain di dunia, terlebih karena di akhirat resikonya teramat berat.

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ۞

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nur [24]: 19)

Sebagaimana kita diharuskan menjaga aib diri kita, demikian pula kita harus jaga harga diri orang lain. Kita tidak diperbolehkan menyakiti orang lain dengan kata-kata– tidak boleh membongkar aib orang lain.

Dari Abdullah bin Umar r.a., Rasulullah Saw bersabda, “Yang disebut dengan muslim sejati adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang berhijrah dari perkara yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari no. 10, dan Muslim no. 40)

Rasulullah Saw bersabda, “Orang yang menutupi aib orang lain di dunia, Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat.” (HR. Muslim)

Rasulullah Saw bersabda, “Seorang mukmin (yang sempurna) yaitu orang yang manusia merasa aman darah mereka dan harta mereka dari gangguannya.” (HR. Tirmidzi dan An-Nasa’i)

Kita harus pahami bahwa manakala seseorang bercerita tentang satu atau banyak hal mengenai sisi hidupnya yang sifatnya pribadi, pada dasarnya ia meletakkan sebagian rahasia hidupnya kepada kita. Artinya, kita dipercaya untuk menyimpan rahasia hidupnya. Dengan kata lain, ia telah membuka aibnya kepada kita, tapi tidak untuk disebarkan ke publik.

Bisa jadi ia hanya mencurahkan keletihan jiwanya, setelah melakukan kesalahan demi kesalahan. Sudah menjadi watak manusia, terkadang ia butuh seseorang guna menumpahkan kisahnya. Kalau sudah begini, rahasia hidupnya, amanah rahasia kehidupan itu, harus kita simpan dan jaga baik-baik. Cukup sebagai bahan renungan.

وَعَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: « إِذَا حَدَّثَ الرَّجُلُ بِالْحَدِيْثِ ثُمَّ اِلْتَفَتَ فَهِيَ أَمَانَةٌ » ۞

Rasulullah Saw bersabda, “Apabila seseorang mengadakan suatu percakapan, kemudian ia pergi, maka apa yang dikatakannya itu adalah amanah.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Rasulullah Saw bersabda, “Percakapan itu adalah amanah di antara kamu sekalian.” (HR. Ibnu Abi Dunya)

Sisa umur yang masih Allah anugerahkan hendaknya digunakan untuk tidak menebarkan, tidak menguakkan aib. Hanya jiwa yang rapuh dan mengobarkan permusuhan, yang punya hobi membeberkan kekurangan serta kekhilafan.

Berlatih untuk tidak mengatakan keburukan adalah langkah bagus menutup aib. Harus dilatih. Sekarang juga. Simpan rahasia. Semakin dilatih, semakin terbiasa kita dalam menjaga aib. Tanpa latihan serius, kita bisa terjerumus bahkan gemar mengumbar kesalahan diri dan orang lain. Tahan, tahan, tahan.

Sebagai daya dukung, pilah-pilih dengan siapa kita akan berteman/bergabung. Jika bergabung dengan orang-orang shalih, maka akan tertular keshalihannya. Pilah-pilih lingkungan; pilih lingkungan yang membudayakan bimbingan ruhani. Pilah-pilih menu bahan bacaan dan tontonan; yang mendidik jiwa dan membantu menghibur (bukan menodai).

Dari Anas r.a, Rasulullah Saw bersabda,

طُوبَى لِمَنْ شَغُلَ عَيْبُهُ مِنْ عُيُوْبِ النّاسِ ۞

“Beruntunglah orang yang disibukkan oleh aibnya sendiri, sehingga ia tidak sempat mengurus aib orang lain.” (HR. al Bazzar; sanad: hasan)

___________

Referensi artikel: “Seni Menutup Aib”, dalam : “Agar Hidup Lebih Baik dan Semakin Bahagia”; L. Nihwan Sumuranje; Jakarta : Gramedia, 2015.

Source: Demi Maha Cinta

About admin

Check Also

Amalan Nisfu Sya’ban Berjama’ah

“Salah satu amalan yang sudah mentradisi di Indonesia adalah membaca Surat Yasin tiga kali pada ...