Home / Agama / Kajian / Adab Seorang Murid: Sabar Terhadap Marahnya Guru

Adab Seorang Murid: Sabar Terhadap Marahnya Guru

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Di antara adab seorang murid yaitu senantiasa bersabar atas marah dan kerasnya sikap guru.

Karena marah dan ketegasan seorang guru harus diyakini terdapat keberkahan dan kemanfaatan di dalamnya.

Suatu pagi, kami mendengar cerita dari guru kami pada kajian kitab al-Tibyan di Majelis Alif Lam Mim.

Ini kisah nyata, tapi pemeran di dalamnya itu mubham (tidak diketahui pasti identitasnya), karena guru kami tidak menyebutkannya. Ya, karena yang terpenting adalah ‘ibrah (pelajaran dan hikmah) yang bisa kita petik. Bukan siapa pelakunya.

Guru kami berkisah, ada seorang kiyai di daerah Jawa yang bandel saat mudanya.

Ketika muda, ia dimasukkan oleh ayahnya yang juga seorang kiyai ke salah satu pesantren, namun ia tidak bisa diatur, alias bandel. Tidak ada yang ia takuti sama sekali. Jangankan kepada musyrif (pendamping/pembimbing di asrama), ustadznya pun tidak ditakuti.

Akhirnya, si gus keluar dari pesantren tersebut, dan masuk ke pesantren lain. Hasilnya pun sama, tidak ada yang ia takuti sama sekali.

Alhasil, karena ia anak seorang kiyai besar, orang tuanya memutuskan untuk mendidiknya sendiri.

Ayahnya menunjuk salah satu muridnya yang paling senior untuk mengajari anaknya.

Namun, sama halnya seperti guru-guru sebelumnya yang sudah menyerah, sang guru baru tersebut mengajari si gus ilmu apapun tidak ada yang masuk sama sekali.

Saking sulitnya mengajari murid yang notabene anak kiyainya sendiri, guru itu pun kesal. Tiba suatu hari murid ayahnya itu berkata kepada si gus;

Kamu bener gak sih anak kiyai?! Kok bebel banget!!

Kata-kata ini kemudian membuat si gus menangis, lalu melapor kepada ibunya bahwa ustadz ini ngomongnya begini.

Kemudian bu nyai menegur murid senior suaminya itu agar tidak terlalu keras mengajari anaknya. Ternyata, ayahnya mendengar percakapan itu dari dalam kamar.

Tak disangka, bukannya ikut menegur murid seniornya itu, sang kiyai malah mendiamkan istrinya sendiri selama beberapa minggu.

Beliau ingin mengajarkan, ketika anak sudah dititipkan kepada guru, adalah hak guru untuk bersikap apa saja. Tidak boleh mengintervensi guru yang sedang mengajarkan murid, bahkan jika murid itu anaknya sendiri.

Akhirnya, anak itu sekarang menjadi kiyai besar. Jika tidak diajar dengan keras mungkin si anak tidak akan mikir.

Begitulah kata guru kami, menutup akhir cerita.

Adab Murid Terhadap Guru

Kisah di atas mengajarkan kita bahwa adakalanya guru bersikap tegas dan keras. Kita sebagai murid sudah sepatutnya bersabar, tidak boleh sebel, menggerutu dalam hati, apalagi sampai membenci sang guru.

Menariknya, di pesantren-pesantren salaf, banyak santri yang malah ingin sekali dimarahi kiyainya. Karena diyakini bahwa marahnya seorang kiyai atau ustadz adalah bentuk rasa sayang dan keajaiban yang akan menjelma menjadi sebuah keberkahan di kemudian hari.

Imam al-Syafi’i (w. 204 H) mengatakan,

اِصْبِرْ عَلَى مُرِّ الْجَفَا مِنْ مُعَلِّمِ #  فَإِنَّ رُسُوْبَ الْعِلْمِ فِيْ نُفْرَاتِهِ

Bersabarlah terhadap kerasnya sikap seorang guru. Sesungguhnya gagalnya menuntut ilmu itu karena memusuhinya (sang guru)”.

Dalam kitab at-Tibyan fi Adabi Hamlatil Qur’an karya Imam al-Nawawi (w. 676 H), terdapat satu pasal khusus yang membahas adab seorang murid kepada guru yang keras dan tegas.

Di antara adab tersebut, ialah:

Belajar Tatkala Suasana Hati Guru Sedang Baik

Selayaknya bagi murid untuk tidak belajar di saat suasana hati gurunya sedang kurang baik. Seperti saat guru sedang banyak fikiran, bosan, sedih, bahagia, lapar, haus, ngantuk, gelisah dan keadaan lain yang dapat memberatkan guru. Karena hal itu hanya akan membuat guru tidak berkonsentrasi dan semangat dalam mengajar.

Alangkah baiknya, seorang murid memanfaatkan waktu semangatnya guru, agar ilmu yang guru sampaikan lebih mengena dan berkah.

Sabar Terhadap Marah dan Kerasnya Sikap Guru

Seorang murid sebaiknya bersabar terhadap tegas dan kerasnya sikap guru. Begitu pula apabila menemukan keburukan dalam perangai sang guru.

Jangan sampai hal tersebut menghalangi murid untuk ber-mulazamah (bercengkrama) dengan gurunya.

Senantiasa Meyakini Kesempurnaan Guru (Husnudz-dzan Kepada Guru)

Saat murid menemukan perbuatan dan perkataan guru yang secara dzahir buruk, maka ia seyogyanya menakwilkan perbuatan tersebut dengan takwil yang baik.

Artinya, murid harus selalu husnudz-dzan (berbaik sangka) jika mendapati sikap atau perkataan guru yang secara kasatmata tampak buruk.

Meminta Maaf Terlebih Dahulu Jika Guru Marah

Apabila seorang guru bersikap keras atau marah kepada muridnya, maka murid hendaknya terlebih dahulu meminta maaf. Baiknya murid menunjukkan bahwa dirinyalah yang salah dengan mencela dirinya sendiri.

Karena, meskipun terlihat hina, namun sikap seperti inilah yang hakikatnya lebih mulia dan bermanfaat bagi seorang murid, baik di dunia maupun di akhirat. Sikap inilah yang akan membuat hati sang guru ridha terhadapnya.

Para ulama bertutur bahwa siapa yang tidak bersabar atas rasa hina saat menuntut ilmu, maka hidupnya akan terselimuti kebodohan. Sebaliknya, siapa yang mampu untuk bersabar atas rasa hina itu, maka hidupnya akan dilimpahi anugerah dan kemuliaan di dunia dan akhirat.

Sahabat Ibnu Abbas ra. (w. 68 H) berkata:

ذَلَلْتُ طَالِبًا، فَعَزَزْتُ مَطْلُوْبًا

Saya hina karena mencari (ilmu) dan saya mulia karena dicari (ilmuku)”.

Imam asy-Syafi’i berkata:

فَمَنْ لَمْ يَذُقْ مُرَّ التَعَلُّمِ سَاعَةً # تَجَرَّعَ ذُلَّ الْجَهْلِ طُوْلَ حَياتِهِ
وَمَنْ فَاتَهُ التَّعْلِيْمُ وَقْتَ شَبَابِهِ # فَكَبِّر عَلَيْهِ أَرْبَعاً لِوَفَاتِهِ
حَيَاةُ الْفَتَى وَاللهِ بِالْعِلْمِ وَالتُّقَى # إِذَا لَمْ يَكُوْنَا الْإِعْتِبَارَ لِذَاتِهِ

“Siapa yang tak pernah merasakan pahitnya belajar walau sebentar, ia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya”.

“Siapa yang tidak belajar di masa mudanya, bertakbirlah untuknya empat kali karena kematiannya”.

“Demi Allah, hakikat seorang pemuda adalah dengan ilmu dan takwa. Jika keduanya tidak ada maka pribadinya tidak bernilai”.

Semoga kita senantiasa diberikan kesabaran dalam menuntut ilmu dan menjadi murid yang beradab dan berakhlak mulia terhadap guru. Agar ilmu yang kita dapatkan menjadi manfaat dan berkah dunia dan akhirat, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

اللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِمَشَايِخِنَا وَلِمَنْ عَلَّمَنَا وَارْحَمْهُمْ، وَأَكْرِمْهُمْ بِرِضْوَانِكَ الْعَظِيْمِ، فِي مَقْعَد الصِّدْقِ عِنْدَكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

Allâhummaghfir li-masyâyikhinâ wa liman ‘allamanâ warhamhum wa akrimhum biridlwânikal ‘adzhîm fî maq’adish shidqi ‘indaka yâ arhamar-râhimîn.

Wahai Allah ampunilah guru-guru kami dan orang yang telah mengajar kami. Sayangilah mereka, muliakanlah mereka dengan keridhaan-Mu yang agung, di tempat yang disenangi di sisi-Mu, wahai Yang Maha Penyayang di antara penyayang.” (Imam al-Haris al-Muhasibi, Risâlah al-Mustarsyidin, Dar el-Salam, halaman 141).

Wallâhu A’lam

Oleh: Shafira Assalwa
Source: Majalah Nabawi

 

About admin

Check Also

Meraih Rahmat dengan Fitnah

“Setiap pengalaman pahit yang dihadapi manusia, terutama terkait hubungan dengan manusia lain, perlu dimaknai sebagai ...