Home / Agama / Kajian / Ada Maksud Allah SWT pada Kelapangan dan Kesempitan Hamba

Ada Maksud Allah SWT pada Kelapangan dan Kesempitan Hamba

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Was-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn”.

Saudaraku yang disayangi Allah SWT. Ada kalanya seorang hamba pada suatu waktu berada dalam keadaan yang lapang. Dan di saat lain berada pada keadaan yang sempit. Dua keadaan itu selalu menghiasi setiap manusia yang hidup di dunia ini.

Dalam kaitan itu, Syaikh Ahmad Ibnu ‘Athaillah Assakandari berkata dalam Kitabnya al-Hikam:

بَسَطَكَ كَىْ لَا يُبْقِيَكَ مَعَ اْلقَبْضِ وَقَبَضَكَ كَىْ لَا يَتْرُکَكَ مَعَ الْبَسْطِ وَاَخْرَجَكَ عَنْهُمَا کَيْ لَا تَکُوْنَ لِشَيْءٍ دُوْنَهُ

“Allah Ta’ala memberi kamu kelapangan agar kamu tidak selalu dalam kesempitan. Allah Ta’ala memberi kesempitan kepadamu, agar kamu tidak hanyut di waktu lapang. Allah Ta’ala melepaskan kamu dari dua-duanya, agar kamu tidak menggantungkan diri, kecuali kepada Allah belaka.”

Kesempitan dan kelonggaran yang telah menjadi kebiasaan manusia yang hidup di dunia ini, menurut pemahaman orang-orang yang ‘arif, hendaklah diikuti dengan sifat khauf dan raja’. Sifat ini tersimpan dalam lubuk jiwa seorang hamba. Bagaimana gerakan hati dan pikiran (batin) hamba yang sedang dalam kelonggaran, dan bagaimana pula gerakan hati dan pikiran orang yang sedang dalam kesempitan.

Apabila seseorang sedang berada dalam kelonggaran, maka situasi dirinya berada dalam panggilan nafsu yang sangat tinggi. Panggilan nafsu dalam bermacam-macam bentuk akan tumbuh dalam diri seorang hamba. Di antaranya riya’ dan ujub kalau kesempatan itu berupa kekayaan atau ilmu. Ia pun akan mudah dirongrong setan, kalau sifat riya’ dan ujub itu telah menghinggapi hatinya. Apabila hati telah lemah, karena dalam hati itulah ditanam bibit iman, maka bibit iman itu akan mati sebelum tumbuh.

Sebab hawa nafsu setan lebih cepat sekali merambat ke hati yang lemah, setelah masuk melalui syaraf manusia. Kelapangan dalam rezeki umpamanya membuat si hamba menjadi lupa. Dalam keadaan lupa itu masuklah segala Anasir yang merugikan. Satu-satunya benteng yang ampuh dan sulit dimasuki oleh hawa setaniyah adalah meluruskan dan memurnikan iman jangan sampai iman kita berbaur dengan hal-hal yang masuk kedalam kemusyrikan. Sedang kemusyrikan inilah yang akan merusak taqarrub hamba dengan Allah SWT, sedangkan makrifat hamba yang sedang menuntut kepada jalan Allah SWT akan terganggu kelancarannya.

Apabila seorang hamba sedang dalam kesempitan, hawa nafsu setaniyah tidak mendekatinya. Karena tidak ada lubang-lubang yang bisa memasukinya. Di waktu sempit pada umumnya manusia beriman lebih dekat taqarrub-nya kepada Allah dan lebih tinggi tingkat ketaatan dan ketaqwaannya.

Di kala lapang dan di waktu sempit seorang hamba tetap berada dalam lingkungan Islam dan iman. Selama ia berada dalam lingkaran ini apa yang diamalkannya dan perbuatan apa pun yang ia lakukan tetap di terima oleh Allah SWT. Yang paling penting adalah kesadaran jiwa si hamba tentang kondisi yang ada padanya dan mengembalikannya kepada kesadaran iman. Ketika datang kesempatan, maka sama sekali tidak lupa daratan, tidak terbius oleh situasi tersebut, tetap teguh menghadapi kemungkinan yang akan merusak keimanan.

Kesempatan seperti itu, sebenarnya akan membuka banyak peluang untuk berbuat amal shaleh, dan memperbagus ibadah kepada Allah, apabila seorang hamba senantiasa selalu waspada. Agar hawa nafsu setaniyah tidak mengambil bagian terlalu banyak dalam tubuh hamba yang sedang mabuk kesenangan harta atau apa saja yang melupakannya dari ingat kepada Allah, maka ia harus menempatkan dirinya sebelum dan sesudah kondisi yang akan dialaminya dalam dua manzilah (posisi) yaitu, posisi khauf dan raja’. Khauf adalah sifat orang beriman yang selalu kuatir kalau-kalau amal ibadah yang sedang ia jalankan tidak diterima oleh Allah SWT, sehingga kesempatan-kesempatan yang ada padanya dimanfaatkan sebaik mungkin agar amal ibadahnya semakin sesuai dengan tuntutan Al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.

Dengan demikian ia berada dalam posisi raja’ selalu tetap berharap agar amal ibadah yang telah dijalankan diterima oleh Allah SWT., sebagai ibadah yang Sholeh dan sahih. Demikian juga apabila seorang hamba dalam kondisi sempit dalam hal rezeki atau apa saja yang menyebabkan ia dalam kesempitan, maka ia hendaklah menempatkan dirinya dalam posisi yang sama, (khauf dan raja’), kedua posisi ini sangat menguntungkan bagi si hamba yang berada dalam kesempitan, karena hamba ini memang lebih berada dalam keadaan mendekatkan dirinya dengan Allah.

Ia pun harus memahami dua hal yang menjadi dirinya datangnya kesempitan rezeki pada dirinya. Pertama, mungkin karena beberapa dosa yang belum ia lakukan tobat nasuha. Kedua, ia hendaklah rida menerima segala sesuatu kejadian yang sedang ia alami dengan berprasangka baik kepada Allah, dan tawakal. Ketiga, tetap dalam keadaan sabar dan tabah dari perbuatan manusia, serta istiqamah dalam menjalankan perintah dan larangan Allah.

Hendaklah dipahami oleh seorang hamba bahwa kesempatan atau kelonggaran dalam hal rezeki, pangkat dan kedudukan, semuanya adalah berasal dari Allah. Akan tetapi pemberian Allah itu tidak cuma-cuma. Allah tetap akan menguji hamba yang mendapat anugerah itu, untuk apa dan bagaimana atau Kepada siapa anugerah itu diarahkan. Untuk apa ia pergunakan dan dengan cara apa ia manfaatkan.

Demikian juga hamba yang dalam keadaan sempit, ia pun berada dalam cobaan Allah. Apakah ia memperkokoh ibadahnya dan bertambah taqarrub-nya, atau ia kehilangan kemudi iman, lalu kesempitan dan kesulitan hidup dipergunakan untuk merusak iman dan akhlaknya, memberi kesempatan kepada hawa nafsu setan untuk menyulut nafsu amarah, lalu membuat Angkara murka dan kejahatan yang bertentangan dengan keimanan dan ketaatan.

Hamba Allah yang beriman, dalam keadaan apapun, hendaklah ia mengambil banyak pelajaran, i’tibar dan hikmah dari pemberian Allah yang diterimanya, ketika sempat atau pun di saat sempit. Hikmah dari Allah itu sangat besar dan luas. Ada hamba yang banyak mendapat kesempatan dalam masalah dunia, tetapi ia tidak diberi kesempatan masalah akhirat. Ada hamba yang selalu sempit dalam urusan dunia, akan tetapi Allah memberi kesempatan baginya untuk mendapatkan kehidupan akhirat. Allah Jalla Jalãluh adalah Tuhan Pemelihara dan Penjaga makhluk-Nya di alam semesta ini.

Allah Maha Tahu tentang diri orang yang berada dalam Kekuasaan dan Pemeliharaan-Nya. Allah tidak akan merusak hamba-hamba-Nya yang tidak mampu memikul beban dunia yang selalu menjerumuskan si hamba ke lembah maksiat, oleh karena itu, ia lebih banyak diberi tanggung jawab dengan kesempatan untuk hidup yang bakal datang. Namun demikian Allah tidak menyiksa si hamba, dengan tidak memberinya kehidupan dunia, akan tetapi tidak menghilangkan kesempatan akhiratnya yang banyak.

Adalah sangat bijak dan utama, apabila seorang hamba memahami benar pemberian Allah kepadanya, menerimanya dengan penuh ketaatan dan ridha, lalu mengembalikan semua persoalan itu kepada Allah SWT. Ia pun terus berusaha meniti hidup ini, tetap berada di dalam lingkungan hidup muslim.

Syekh Ahmad bin ‘Athaillah mengingatkan;

اَلْعَارِفُوْنَ إِذَا بُسِطُوْا، أَخْوَفُ مِنْهُمْ إِذَا قُبِضُوْا، وَلَا يَقِفُ عَلَى حُدُوْدِ الْأَدَبِ فِي البَسْطِ إِلَّا قَلِيْلٌ

“Ada pun orang-orang arif lebih mengkuatirkan dirinya ketika lapang dari pada bila ia berada dalam keadaan sempit. Dalam keadaan lapang ia sangat berhati-hati. Sebab sangat sedikit orang yang sanggup berpegang kepada adab sopan santun kepada Allah di waktu ia sedang berada dalam keadaan lapang.”

Adab dalam hidup manusia, baik yang berhubungan antara hamba dengan Allah Ta’ala, maupun hubungan antara hamba dengan sesamanya. Beradab itu sendiri termasuk salah satu ibadah. Oleh karena itu, dalam situasi apapun, maka seorang hamba haruslah selalu tetap beribadah. Hendaklah mentaati semua syarat rukun yang telah ditetapkan dalam syari’at.

Adab ketika shalat, dan ketika berpuasa, zakat, haji dan sebagainya. Demikian terhadap sesama manusia, juga ada adab dan tata krama hidup yang patut dipakai oleh hamba Allah, terutama para Arifin yang shaleh. Dalam kata lain ada akhlãqul mahmûdah dan Akhlãqul madzmûmah terhadap Allah dan sesama makhluk hidup.

Orang Arif yang beradab lebih kuatir apabila ia diberi kesempatan oleh Allah. Ia kuatir kalau kesempatan itu tidak mampu ia pergunakan bagi taqarrub-nya dengan Allah, bahkan akan mengganggu atau memutuskan tali yang terjalin antara seorang hamba dengan Allah Ta’ala. Sedikit sekali hamba yang suka memperhatikan atau waspada dengan keadaan seperti ini.

Kebanyakan apabila telah mendapat kesempatan dan berada dalam keadaan longgar, dimanfaatkan untuk kepentingan yang jauh dari ridha Allah, serta tiada kuatir kepada lunturnya iman, dan, dan tidak waspada menghadapi peluang yang dipergunakan setan untuk menjerumuskannya.

Sahabat Abu Bakar ra. mengingatkan, bahwa para sahabat pun diuji dalam kesulitan hidup, mereka tetap sabar, akan tetapi ketika diuji dengan kelonggaran dan kesenangan, mereka pun tidak sabar.

Apabila seseorang telah mendapat kelezatan hawa nafsunya, maka sukar baginya untuk menikmati kelezatan ibadahnya. Apabila ia telah hanyut dalam lautan hawa nafsu, maka ia telah kehilangan sebagian keimanannya, berarti ia telah berada di tabir kehinaan.

____________

Oleh: Admin
Sumber: Terjemah Kitab Al-Hikam, Syeikh Ahmad Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari.

About admin

Check Also

Makna Bashirah dan Tingkatannya

“Syaikh Ahmad ibn ‘Athaillah Assakandary dalam al-Hikamnya membagi bashîrah dalam tiga tingkatan; Syu’ãul bashîrah, ‘Ainul bashîrah ...