Kitab al-Mawaidh al-‘Ushfuriyyah adalah karya Syekh Muhammad bin Abu Bakr al-Ushfury. Rincian riwayat hidup beliau sulit ditemukan. Mungkinkah karena sedikit karya beliau yang tersebar? Entahlah. Untuk Kitab al-Mawa’idh al-‘Ushfuriyyah, yang lebih terkenal sebagai kitab Ushfuriyyah, memang banyak dikaji di berbagai pesantren salaf. Bahkan ada yang menjadikannya sebagai kitab pelajaran madrasah. Sebagian lagi menjadikannya sebagai kitab kajian harian, ada juga yang mengkajinya hanya pada bulan Ramadan dalam paket pengajian kilatan.
Pola penyusunan dan koleksi Hadits-Hadits berjumlah 40 Hadits sendiri merupakan tren bagi sebagian ulama salaf. Misalnya Imam an-Nawawi yang punya Hadits Arba’in. Mereka terinspirasi oleh Hadits Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang menghafal dari umatku 40 Hadits tentang perkara agamanya, maka Allah akan membangkitkannya di hari kiamat nanti bersama golongan para fuqaha dan ulama”.
Meskipun para ahli Hadits menilai Hadits tersebut daif, namun sebagaimana ijmak ulama, Hadits daif masih bisa digunakan sebagai landasan dalam fadhailul a’mal (tambahan keutamaan amaliah). Sebagai kitab Mawa’idh atau nasihat, Ushfuriyyah memiliki sisi unik ketimbang sebagai kitab rangkuman Hadits biasa. Apa saja sisi unik tersebut? Berikut 5 ulasannya:
1. Penuh Hikayat Unik
Sebagaimana diterangkan Syekh Abu Bakar di bagian mukadimah, bahwa kitab ‘Ushfuriyyah memuat 40 Hadits yang sanadnya sampai kepada Rasulullah Saw. yang ia peroleh dari para guru pilihan. Mereka pun memperoleh Hadits tersebut dengan sanad dari sebagian sahabat Nabi. Selanjutnya, Syekh Abu Bakar menambahkan berbagai nasihat dan hikayat yang ia dengar dari para guru.
Memang dalam kitab tersebut terdapat banyak hikayat atau kisah yang unik. Hampir setiap Hadits dilengkapi satu atau dua kisah. Penamaan kitab ini dengan ‘Usfuriyyah (burung pipit), nampaknya juga tak terlepas dari kisah yang tampil melengkapi Hadits pertama yang menerangkan tentang kasih sayang terhadap semua makhluk.
Dikisahkan, Umar bin Khatab Ra. satu ketika mendapati seorang anak kecil bermain burung pipit. Umar kasihan melihat burung kecil itu dipermainkan sedemikian rupa. Ia lantas membeli burung itu dari si bocah, lantas melepaskannya. Ketika Umar bin Khattab wafat, sebagian ulama memimpikan bahwa ia mendapatkan rahmat Allah Swt. di alam kubur sebab kasih sayangnya terhadap burung pipit tadi.
2. Hadits-Hadits Motivasi
Di antara 40 Hadits yang dimuat dalam ‘Usfuriyyah, banyak di antaranya yang berupa anjuran atau motivasi. Sebagian anjuran terkait dengan bahasan tasawuf seperti anjuran tobat, menghindari sombong, tidak putus asa. Sebagian lagi anjuran untuk merutinkan bacaan atau perbuatan baik tertentu semisal membaca ayat al-Kursi, surat al-Ikhlash, berangkat salat Jumat lebih awal.
3. Kitabnya Tipis
Al-Mawa’idz al-‘Ushfuriyyah hanya terdiri dari 30 halaman saja untuk versi cetakan ala al-Hidayah, Surabaya. Kitab dengan jumlah halaman seperti itu termasuk kitab kecil dalam kajian pesantren. Jika dikaji saat pengajian Ramadan, biasanya diperuntukkan bagi santri yang taraf Ibtida’, pemula, untuk menyesuaikan kecepatan mereka menulis makna.
4. Hadits tentang Keutamaan Ali R.A.
Dalam Hadits ke 3, sebagai tambahan dicantumkan pula sabda Nabi Saw, “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya.”
Dikisahkan, ketika kaum Khawarij mendengar adanya Hadits tersebut, mereka ingin menguji kecerdasan Sayidina Ali bin Abi Thalib. Lantas mereka memilih 10 orang perwakilan untuk “mengetes” Sayidina Ali.
Kesepuluh orang itu kemudian mendatangi Ali bin Abi Thalib r.a. secara bergantian. Mereka semua mengajukan satu pertanyaan yang sama, namun mengharapkan adanya jawaban yang berbeda. Tujuannya, jika pertanyaan itu tidak menghasilkan 10 jawaban berbeda dari Sayidina Ali, maka berarti ia tidak pantas menyandang gelar Pintu Kota Ilmu. Ternyata, dengan satu perntanyaan “Utama mana antara ilmu dan harta?” yang mereka ajukan, terdapat 10 jawaban berbeda dari Sayidina Ali r.a.
5. Kisah Unik Menuju Kematian
Di halaman 23, Hadits ke 22, diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Ketika seorang hamba meninggal, dan Allah mengetahui keburukan dari diri orang tersebut, sedangkan orang-orang mengatakan bahwa hamba tersebut baik, maka Allah berfirman kepada para malaikat, ‘Saksikanlah, telah kuterima persaksian para hambaku terhadap hamba yang lain, dan Aku ampuni dia padahal aku tahu tentang (keburukan) dirinya’.”
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh as-Suyuthi dalam Jam’ al-Jawami’ dan al-Bazzar. Al-Mundziri mengatakan bahwa Hadits tersebut daif.
Dalam kisah pelengkapnya, Syekh Abu Bakar menceritakan kisah seorang penipu ulung. Modus penipuannya adalah dengan mengaku dekat dan akrab terhadap calon korbannya. Terkadang mengaku teman lama yang terlupakan, kadang mengaku anak dari teman orangtua mereka.
Dengan sok akrab ia mengajak korbannya makan di rumah makan. Setelah tinggal beberapa suapan ia akan pergi dengan alasan buang air. Penipu itu tak akan kembali lagi, dan bisa dipastikan sang korbanlah yang harus membayar harga makanan mereka berdua. Modus penipuan seperti ini ia lakukan berulang kali sepanjang hidupnya.
Ketika ia sakit dan merasa ajalnya kian dekat, si penipu lalu mengupah dua orang. Masing-masing dengan upah 1 dinar. Ia berkata kepada mereka, “Kalau nanti aku telah mati, kalian harus mengikuti jenazahku dan berkata di belakangnya Ini adalah orang saleh dan suka berbuat baik. Kalian harus terus berkata seperti itu sampai aku dikuburkan.”
Dan, ternyata Allah mengampuni si penipu karena kesaksian dua orang sewaan ini. Jangankan Anda, saya pun agak gimana membaca kisah ini. Dari sisi Hadits memang Haditsnya daif, namun Hadits daif bisa diamalkan untuk amaliah non akidah. Namun untuk kisah tersebut, kok enak banget ya?
Apa jadinya jikalau para koruptor itu nanti waktu mau mati mengupah 1000 orang agar bersaksi bahwa mereka adalah orang yang saleh dan ahli kebaikan? Tapi, pada akhirnya memang surga dan neraka hanya milik Allah. Terserah Allah apakah akan menerima kesaksian sewaan ataukah mempertimbangkan kejahatan para koruptor itu. Wallahu A’lam.
Oleh: Nasrudin, Alumni Pesantren Darussalam Blokagung.
Silahkan baca secara online atau langsung download ebook-nya di bawah ini: