SOEKARNO-UNTUNG-SOEHARTO. “Soeharto adalah orang yang menampung begitu banyak informasi dan petunjuk tentang akan terjadinya suatu gerakan yang ditujukan kepada jenderal-jenderal koleganya yang merupakan perwira teras Angkatan Darat. Dan informasi-informasi itu justru datang dari dua calon pelaku gerakan, yakni Letnan Kolonel Untung dan Kolonel Latief.”
TERKAIT Peristiwa 30 September 1965, buku Julius Pour “G30S, Fakta atau Rekayasa” (Kata Hasta Pustaka, 2013) menyebutkan ada satu pertanyaan yang menunggu jawaban. “Jika memang Jenderal Soeharto sudah tahu bahwa sejumlah perwira progresif revolusioner akan bergerak, mengapa dia tidak lebih dulu menghabisi mereka? Paling tidak, melaporkannya kepada Jenderal Yani.”
Untuk itu, Julius Pour yang dulu aktif sebagai wartawan di sebuah media nasional terkemuka, merujuk beberapa catatan dalam buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 (Rum Aly, 2006). Bahwa, kala itu sebenarnya cukup banyak perwira Angkatan Darat, di antaranya Jenderal Soeharto, yang tahu banyak tentang adanya sesuatu yang berpotensi bahaya terhadap negara, khususnya terhadap pimpinan Angkatan Darat. Namun semuanya, tidak ada yang pernah menindaklanjuti informasi yang mereka terima tersebut. Minimal, dengan melaporkan kepada atasan. Di lain pihak, bisa terjadi, justru pihak atasan yang memang tidak tanggap.
Menurut buku tahun 2006 tersebut, Jenderal Soeharto mengetahui adanya rencana gerakan, tidak kurang dari Kolonel Latief –salah seorang perwira yang kemudian dinyatakan terlibat dalam peristiwa– sehari menjelang kejadian. Selain itu, sebelumnya Soeharto pernah pula bertemu Letnan Kolonel Untung ‘pemimpin’ gerakan militer tanggal 30 September 1965 tersebut. Namun sebenarnya, Soeharto tak sendirian dalam mengetahui rencana konspirasi –bahkan mungkin justru terlibat secara mendalam– akan tetapi membiarkan. Tak lain, karena memang masing-masing tokoh, di antaranya Soekarno, saat itu punya agenda untuk kepentingan politik dan kekuasaannya sendiri.
Lebih jauh, berikut ini adalah kutipan beberapa catatan dalam buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 yang menggambarkan adanya benang merah konspirasi di atas konspirasi dalam Peristiwa 30 September 1965.
SAMPAI tengah malam saat bertemunya akhir hari Kamis 30 September dan awal hari Jumat 1 Oktober 1965, terpetakan situasi berikut ini, diantara tokoh-tokoh yang akan mencipta satu episode baru dalam sejarah politik dan kekuasaan Indonesia. Semua tokoh, pada tempat pijakannya masing-masing, ada dalam keadaan tidak buta samasekali, dan semua punya sesuatu pengetahuan penting –meskipun dalam kadar kedalaman yang berbeda-beda– terkait dengan apa yang akan terjadi kemudian tak berapa lama lagi. Beberapa diantara mereka terlibat dalam rangkaian perbuatan yang menimbulkan tanda tanya, sekaligus menempatkan mereka dalam posisi tertuduh dalam sejarah, sebagai orang-orang yang menciptakan suatu tragedi berdarah.
Soekarno, Presiden Republik Indonesia, memiliki bekal pengetahuan tentang akan adanya satu gerakan dari sekelompok perwira yang bertujuan menindaki sejumlah perwira lainnya di Angkatan Darat yang dianggap akan melakukan ‘kudeta’ terhadap dirinya. Ia sendiri yang memerintahkan penindakan para jenderal itu kepada Brigjen Sabur, Brigjen Sunarjo dan Brigjen Soedirgo. Tetapi memang menarik bahwa yang kemudian tampil bertindak adalah pasukan yang dikoordinasi oleh Brigjen Soepardjo, Kolonel Latief dan Letnan Kolonel Untung, yang tidak ikut kesibukan lapor-melapor pada hari-hari menjelang tanggal 30 September 1965.
Soekarno percaya bahwa kelompok perwira yang akan melakukan makar itu, adalah apa yang dinamakan Dewan Jenderal. Bagi Soekarno, Dewan Jenderal identik dengan Jenderal Abdul Harris Nasution, yang menurut Soebandrio adalah jenderal yang paling ditakuti sang presiden. Jadi, baginya, Nasution adalah sasaran untuk ditindaki dan bersama sejumlah jenderal akan diperhadapkan kepadanya esok hari pada tanggal 1 Oktober 1965.
Ada kemungkinan, Soekarno tidak terlalu menyadari bahwa Letnan Jenderal Ahmad Yani –yang sebenarnya adalah satu di antara de beste zonen van Soekarno– menjadi salah satu sasaran gerakan, karena untuk Yani, Soekarno sudah punya solusi tersendiri. Keberatan Soekarno terhadap Yani hanyalah bahwa salah satu jenderal kesayangannya ini seringkali dianggapnya terlalu terpengaruh oleh Nasution. Bahwa akan terjadi pembunuhan, kemungkinan besar adalah di luar keinginan Soekarno. Menurut Laksamana Madya Laut (Purnawirawan) Mursalin Daeng Mamangung, Soekarno pada hakekatnya ‘tidak tahan’ melihat darah mengalir. Mursalin tidak yakin bila suatu perintah pembunuhan keluar dari mulut Soekarno. Artinya, bisa ditafsirkan bahwa ungkapan-ungkapan tentang pertumpahan darah di antara sesama saudara kalau perlu demi perjuangan, lebih cenderung sebagai ungkapan romantik belaka dari Soekarno mengenai revolusi.
Jangankan Soekarno, bagi Brigjen Soepardjo maupun Kolonel Latief pun hal itu diluar dugaan. Perintah yang menyebabkan darah mengalir, berasal dari Letnan Kolonel Untung kepada Letnan Satu Doel Arief, yang kemudian ‘memperkuat’nya lagi ke bawah sebagai pilihan utama. Namun dalam persidangan Mahmilub atas dirinya, Letnan Kolonel Untung membantah dan mengaku ia hanya bermaksud menangkap dan menghadapkan para jenderal kepada Pemimpin Besar Revolusi, Soekarno. Sang Letnan Kolonel menunjuk anggota Biro Khusus (Biro Chusus) PKI Sjam Kamaruzzaman sebagai pemberi perintah eksekusi.
LETNAN Jenderal Ahmad Yani pada 30 September malam itu, sadar betul tentang adanya satu rencana penculikan terhadap sejumlah jenderal, sesuai laporan intelijen yang dengan gencar masuk padanya, namun ia tak tahu secara definitif kapan itu akan terjadi. Memang menjadi tanda tanya, kenapa ia menyuruh pulang satuan Pomad Para yang malam itu justru merupakan perkuatan pengawalan rumahnya. Agaknya ia menganggap pengawalan reguler yang ada, sudah cukup memadai, selain bahwa ia pun sudah mengetahui tindak-tanduk Komandan CPM Brigjen Soedirgo di hari-hari terakhir.
Siang 30 September 1965 itu, Letnan Jenderal Ahmad Yani pulang dengan riang dan cerah dari kantornya, seperti yang dituturkan putera-puterinya. Sorenya ia tetap melakukan kegiatan olahraga golfnya, dan malamnya ia menerima laporan Pangdam Brawijaya Basoeki Rachmat serta perwira dari Corps Polisi Militer, serta telepon dari Brigjen Sugandhi. Sepanjang yang terlihat, tak ada yang perlu dikuatirkannya, dan ia percaya bahwa pengaturan keamanan dalam beberapa hari terakhir telah diatur dengan baik. Setidaknya, ia menerima laporan bahwa semuanya telah diatur.
Sikap gembiranya pada siang hari, tak bisa diabaikan, pasti ada penyebabnya, dan itu terkait dengan berita ‘baik’ terkait rencana pertemuannya esok pagi dengan Presiden, bahwa ia mungkin saja akan diganti sebagai Menteri Pangad, ditegur keras, namun sebaliknya ia akan naik ke suatu posisi lebih tinggi, walau posisi baru itu tidak punya nilai komando dan akses kepada pasukan. Menurut salah satu mantan ajudan Presiden Soekarno, RH Sugandhi –dalam suatu percakapan bersama Drs Ton Kertapati dan Rum Aly di tahun 1987– ada yang menyampaikan demikian padanya hari itu, yang dikatakan bersumber dari Presiden Soekarno sendiri.
DIPA Nusantara Aidit, Ketua CC PKI, mengetahui adanya rencana ‘gerakan internal Angkatan Darat’ yang melibatkan Letnan Kolonel Untung Sjamsuri dan kawan-kawan. Ia siap untuk memetik keuntungan dari gerakan itu, tapi ia bukanlah di garis pertama persoalan maupun perencanaan. Kendali bukan pada tangannya. Itu menjadi tugas Biro Khusus di bawah Sjam, yang diketahuinya ikut berperan untuk mendorong gerakan internal tersebut. Tapi ia tidak punya kontak khusus dan langsung, baik dengan Letnan Kolonel Untung, Brigjen Supardjo, Kolonel Latief maupun Mayor Sujono. Dan tampaknya Sjam tidak memberi gambaran detail, kecuali ‘rumus’ didahului atau mendahului.
Dalam rangka mendahului, sepanjang informasi dari Sjam, kebetulan ada perwira yang tidak puas dan akan melakukan gerakan internal melawan kelompok Dewan Jenderal. Aidit lalu menganggapnya sebagai satu jalan keluar, tanpa perlu ‘mengotori’ tangan sendiri secara langsung, rival dalam pergulatan kekuasaan di sekitar Soekarno bisa ditundukkan, melalui pergantian pimpinan oleh Soekarno. Dari Soekarno ada jaminan bahwa pimpinan Angkatan Darat yang baru tidak dari kalangan perwira yang menempatkan PKI sebagai musuh.
Bahwa PKI memiliki perencanaan sendiri, betul, tetapi bukan pada tanggal 30 September 1965 itu. Aidit punya perencanaan lebih lanjut bagi partainya dalam kerangka kekuasaan politik, dalam bentuk dan cara yang lain. Maka partai tidak disiapkan untuk momentum tanggal 30 September 1965, melainkan untuk sesuatu yang lebih bersifat jangka panjang. Adanya rencana jangka panjang ini diungkapkan juga oleh Ketua CDP PKI Jawa Barat Ismail Bakri. Ia juga menyebutkan bahwa sayap Moskow dalam PKI sebenarnya punya rencana sendiri lewat perjuangan politik, bukan dengan kekerasan bersenjata. Adanya rencana ini antara lain diungkapkan Ismail Bakri kepada aktivis 1978 Madjid Mahmud semasa sama-sama menjadi tahanan di RTM Cimahi pada tahun 1978.
JENDERAL Abdul Harris Nasution, meskipun mengaku tidak ada firasat apa-apa menjelang tanggal 30 September, namun juga cukup memahami situasi dan dalam kedudukannya sebagai Menko Kasab telah mendapat laporan-laporan intelijen yang cukup. Ia menyadari, cepat atau lambat ada sesuatu yang akan terjadi, meskipun mungkin ia tidak tahu persis bahwa peristiwa akan mengambil waktu pada tanggal 30 September 1965. Sayangnya, laporan-laporan spesifik seperti yang disampaikan oleh Kolonel Herman Sarens Sudiro dan Kolonel Muskita misalnya tidak kepadanya, melainkan kepada Panglima Kodam Jaya Umar Wirahadikusumah dan Pangkostrad Mayjen Soeharto.
Sebagai salah satu sasaran, Jenderal AH Nasution sudah cukup punya prediksi, terkecuali kepastian waktu. Penjagaan di rumahnya, ada pada tingkat standar memadai, termasuk dengan adanya Letnan Pierre Tendean. Meskipun, juga punya titik lemah, yakni fakta bahwa pengawal itu berasal dari Brigif I yang ada di bawah komando Kolonel Latief yang kemudian hari diketahui justru terlibat dalam gerakan pada tanggal 30 September 1965 itu. Tetapi, terlepas dari itu penggunaan pasukan Tjakrabirawa memang suatu hal yang agak di luar dugaan dan punya dampak kejutan dan amat taktis.
LAKSAMANA Madya Udara Omar Dhani, pada dasarnya juga memperoleh informasi yang cukup mengenai beberapa bagian dari peristiwa yang akan terjadi. Ia memahami seluruh persoalan sebagai satu proses internal Angkatan Darat, untuk menindaki apa yang disebutkan sebagai jenderal-jenderal kontra revolusioner yang tergabung dalam Dewan Jenderal. Omar Dhani memilih sikap untuk tidak campur tangan terhadap masalah internal angkatan yang lain dan menanti apa yang akan terjadi. Pada sisi lain ada faktor subjektif yang terkait dengan rivalitas antar angkatan kala itu.
Namun, sadar atau tidak, terjadi keterlibatan nama Angkatan Udara, melalui keikutsertaan seorang Mayor Angkatan Udara dan beberapa anggota, serta digunakannya kendaraan dan senjata milik Angkatan Udara. Dan pimpinan Angkatan Udara tidak mencegah keikutsertaan tersebut. Selain itu, locus delicti ada di sekitar Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah, meskipun tidak seluruhnya termasuk dalam kawasan yang merupakan tanggungjawab Angkatan Udara, karena berada di luar area jurisdiksi seperti misalnya Lubang Buaya.
BAGAIMANA caranya memahami posisi Mayor Jenderal Soeharto dalam rangkaian peristiwa? Soeharto adalah orang yang menampung begitu banyak informasi dan petunjuk tentang akan terjadinya suatu gerakan yang ditujukan kepada jenderal-jenderal koleganya yang merupakan perwira teras Angkatan Darat. Dan informasi-informasi itu justru datang dari dua calon pelaku gerakan, yakni Letnan Kolonel Untung dan Kolonel Latief. Soeharto hanya menyimpan informasi itu untuk dirinya sendiri, tidak melanjutkannya kepada pimpinan Angkatan Darat, katakanlah setidaknya kepada Letnan Jenderal Ahmad Yani.
Dengan bekal informasi yang cukup detail itu, Soeharto dengan mudah ‘membaca’ situasi dan tampil dengan gerakan pembersihan. Keberhasilan dari gerakan pembersihan yang dilakukannya kelak membawa dirinya masuk ke dalam jenjang kekuasaan yang luar biasa.
Sikap dan perilaku Soeharto dalam peristiwa ini dalam hal tertentu memang bisa cukup mengherankan. Maka bukanlah sesuatu yang luar biasa bila pasca momentum ada analisa yang menempatkan Soeharto sebagai salah satu ‘tertuduh’ dalam rangkaian peristiwa. Sebagaimana, sikap dan perilaku janggal yang juga diperlihatkan baik Soekarno maupun Dipa Nusantara Aidit, pun telah menempatkan mereka masing-masing dalam posisi-posisi sebagai ‘tertuduh’.
Sumber: socio-politica.com