(1) Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah yang memanjangkan bayangan berdasarkan ketuhanan-Nya. Dia berkehendak menampakkan diri-Nya di alam semesta, kemudian menggenggam bayangan itu dengan mudah, sesuai kehendak serta keagungan-Nya, Dia membangkitkan hamba-Nya dari alam kubur. Aku memanjatkan puji dan syukur ke khadirat Allah Yang Maha Suci, atas kesempurnaan nikmat dan tambahan karunia-Nya. Dia mencintai hamba yang selalu bersyukur. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa, Yang Maha Menghimpun, Yang Maha Meliputi, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, Yang Maha Menyempitkan, Yang Maha Meluaskan, Yang Maha Memulai, dan Yang Maha Mengembalikan. Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pengampun. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba serta utusan Allah, yang cahayanya mengawali penciptaan alam, yang kemunculannya mengakhiri risalah kenabian, dan yang kitab sucinya menyempurnakan seluruh kitab suci tertulis yang pernah diturunkan. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan keselamatan kepadanya, serta kepada keluarga dan sahabatnya, dengan rahmat dan keselamatan yang abadi, tidak ada henti-hentinya,
(2) dan sebanyak banyaknya, berdasarkan keabadian Allah, yang diharapkan ampunan-Nya pada hari kebangkitan dan hari kiamat.
Wahal murid-muridku ketahuilah!, — Semoga Allah memberi petunjuk kepada kami dan kepadamu untuk taat kepada-Nya, dan semoga Allah menghendaki kita melakukan apa yang diridhai-Nya — bahwa kewajiban pertama atasmu adalah mengesakan Allah SWT, dan menyucikan-Nya dan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya dengan kalimat la ilahailallah, yang menghimpun empat tingkatan tauhid. Adapun makna tauhid itu adalah tindakan untuk mengaitkan, — seperti kata membenarkan atau mendustakan — bukan menciptakan. Oleh karenanya, arti kalimat “aku mengesakan Allah” adalah, “Aku mengaitkan Allah dengan keesaan-Nya”, bukan “Aku menjadikan-Nya, Esa”, karena keesaan Allah itu telah melekat pada dzat bukan karena ada yang menciptakan, pahamilah itu!
Adanya dari bukti keesaan Allah ta’ala adalah tidak rusaknya alam. Allah ta’ala berfirman, “Sekiranya di langit dan di bumi ini ada tuhan-tuhan lain selain Allah, tentulah keduanya (langit dan bumi) itu telah rusak binasa”. Jadi, tidak rusaknya langit dan bumi ini merupakan bukti atas keesaan Allah ta’ala, karena langit dan bumi adalah bagian tidak terpisahkan dari alam. Adapun kata “alam” — seperti pendapat sebagian orang — adalah nama untuk segala sesuatu selain Allah SWT ‘azza wa jalla’. Dibentuknya kata “alam” seperti ini, karena ia merupakan nama
(3) ‘sesuatu’ yang dijadikan sebagai sarana untuk mengetahui keberadaan Allah. Seperti halnya kata “khatam” (stempel), adalah nama sesuatu yang dijadikan sebagai sarana untuk mengetahui adanya benda yang dicap, demikian juga alam adalah nama sesuatu yang dijadikan sebagai sarana untuk mengetahui adanya Allah; karena keberadaán alam itu merupakan bukti yang menunjukkan adanya Allah ta’ala.
Hakikat alam adalah wujud yang terikat dengan sifat-sifat. mumkinat (sifat-sifat yang mungkin). Oleh karena itulah, alam disebut sebagai sesuatu selain Allah SWT. Jika dihubungkan dengan Allah SWT, alam itu bagaikan bayangan, ia bukanlah hakikat lain di samping hakikat-hakikat Allah yang telah diketahul sejak zaman dahulu, dan kemudian memiliki wujud, sekian.
Menurut konsep ini manusia adalah bayangan Allah SWT, atau bayangan dan bayangan-Nya. Syekh Muhyiddin, — semoga Allah menyucikan ruhnya — mengatakan dalam kitab al-Fu yang bunyinya, “Potensi kita pada hakikatnya adalah bayangan Allah, bukan selain Dia”. Lebih lanjut, Maulana Abdurrahman bin Ahmad al. Jami r.a. menjelaskan, “baik potensi tersebut pola dasar luar (al-a’ yan al kharijiyyah), maupun pola dasar tetap (al-a’ yan a s -sabitah). Karena, pola dasar tetap kita merupakan bayangan dan dzat Tuhan yang menyatu dengan keadaan-Nya, sedangkan pola dasar luar kita merupakan bayangan dan pola dasar tetap kita itu, dan bayangan serta suatu bayangan adalah bayangan (4) melalui perantara, sekian.
Andai engkau telah mengetahui hal itu, maka kami katakan, “bayangan itu tidak memiliki wujud selain wujud pemilik bayangannya. Oleh karenanya, wujud bayangan .itu sangat tergantung pada wujud pemilik bayangan. Jadi, karena wujud bayangan itu ditentukan oleh wujud yang lain, maka wujud yang lain itulah hakikat yang sebenarnya, demikian pula unsur-unsur lain yang terkait dengan wujud tersebut”. Dengan keyakinan itu, Engkau mengetahui bahwa alam ini milik Allah SWT., dan karena wujud-Nya pun alam ini ada, seperti sabda Nabi SAW “Keberadaan kita ini semata-mata karena Dia, dan milik-Nya”. Engkau juga mengetahui bahwa alam ini bukan benar-benar dzat Allah SWT, karena jika demikian, maka gugurlah firman Allah ta’ala, “Yang menciptakan segala sesuatu”, karena pencipta itu tidak mungkin menciptakan dzatnya Sendiri, dan Allah telah berfirman dalam al-Quran yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW., “Katakanlah (wahai Muhammad)! Allah adalah pencipta segala sesuatu”, Dia tidak mengatakan, “Katakanlah (wahai Muhammad) Allah adalah pencipta dzat-Nya sendiri”. Dia juga berfirman, “ Allah-lah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat”, Dia tidak mengatakan, “Allah adalah pencipta dzat-Nya sendiri”. Demikian pula Allah berfirman, “Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam”, Tuhan tidak mengatakan, “Segala puji bagi Allah, Tuhan yang menciptakan dzat-Nya sendiri”. Bukti lain adalah (5) jika alam ini benar-benar dzat Allah, tentu Dia tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban syariat yang berat, seperti puasa dan lain-lainnya.
Di antara bukti-bukti yang menunjukkan bahwa alam ini bukan benar-benar dzat Allah adalah bahwa manusia apabila ia ingin mencipta sesuatu yang tidak dimilikinya, lalu ia mengatakan, “jadilah dan ternyata sesuatu itu tidak tercipta, tentu ia akan benar-benar sadar bahwa Ia bukanlah dzat Allah yang sebenarnya, sebab jika ia memang dzat Allah, tentu apa yang ia katakan itu akan tercipta dalam sekejap mata, karena Allah ta’ala telah bèrfirman, “Apabila Dia menghendaki sesuatu, hanyalah berkata kepadanya: jadilah! maka terjadilah ia”. Jadi, tidak terciptanya sesuatu yang diperintahkan oleh manusia itu, merupakan bukti bahwa alam ini bukan benar-benar dzat Allah. Dan, sebab tidak terciptanya segala sesuatu itu adalah karena tidak adanya persesuaian antara kehendak manusia dengan kehendak Allah ta’ala dalam hal tersebut.
Sebagian keterangan menyebutkan, “Wahai anak Adam! engkau mempunyai keinginan, Aku pun demikian, tapi yang akan terwujud hanyalah yang Aku inginkan. Jika engkau rela atas apa yang Aku inginkan, maka Aku akan memberikan apa yang engkau inginkan, namun jika engkau menentang apa yang Aku inginkan, Aku akan mempersulit apa yang engkau inginkan, sehingga tidak akan terwujud kecuali apa yang Aku inginkan.”. Keterangan tersebut juga menunjukkan bahwa alam .ini berbeda dengan Allah, walaupun tidak benar-benar terpisah dari-Nya, karena pemisahan itu menghendaki adanya dua wujud yang masing-masing berdiri sendiri, padahal yang berdiri sendiri itu hanya Allah yang Maha Esa dan Mahaperkasa.
Guru kami mengatakan dalam kitab Bulgah al-Masir, yang lafaznya, “Alhasil, wujud alam ini tidak benar-benar berdiri sendiri, melainkan terjadi melalui pancaran. Dan yang dimaksud dengan memancar di sini adalah bagaikan memancarnya pengetahuan dari Allah ta’ala. Seperti halnya alam ini bukan benar-benar dzat Allah SWT, — karena ia merupakan wujud baru —, alam juga tidak benar-benar lain dari-Nya. Ia bukan wujud kedua yang berdiri sendiri di samping Allah. Sebab, sebagaimana pada zaman dahulu, tidak ada yang menyertai Allah, karena Dia adalah yang pertama ada sebelum segala sesuatu tercipta, demikian halnya hingga sekarang. Alam itu baru, karena. ia tercipta dari pancaran wüjud-Nya, ia bukan wujud yang menyertai Allah, melainkan wujud yang diciptakan oleh-Nya. Jadi, alam itu tidak memiliki tingkat yang sejajar dengan Allah, melainkan berada pada tingkat di bawah-Nya”.
Inilah yang dimaksud dengan wahdatul wujud. Yakni, alam bukanlah wujud kedua yang berdiri sendiri sélain Allah; dan bahwa Allah SWT. (7) itu Maha Esa tidak ada sesuatu pun yang menyertai-Nya, namun Dia selalu menyertai segala sesuatu, balk pada permulaan maupun di akhirnya. Sebagaimana firman-Nya, “Dan: Dia bersama kamu di mana saja kamu berada”. Lalu sabda Nabi, “Tidak ada sesuatu pun yang dari Allah”. Para ulama menambahkan, ‘ Allah sekarang, sama dengan keadaan-Nya saat semula”. Pahami dan berpegang teguhlah kepada al-Quran dan sunnah Rasul yang mulia, niscaya engkau mendapat petunjuk dan tetap berada pada jalan yang lurus. Nabi SAW — yang tidak pemah berkata berdasarkan hawa nafsunya — bersabda, “Aku tinggalkan dua perkara bagimu, yaitu kitab Allah dan sunnahku, maka jelaskanlah al-Quran dengan sunnahmu, karena matamu tidak akan buta, kakimu tidak akan terpeleset, dan tanganmu tidak akan putus selama kamu berpegang teguh pada keduanya”.
Janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, dan jangan pula teperdaya oleh ungkapan lahir dari sufi. Syekh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi — semoga Allah menyucikan kuburnya — mengatakan, “Kami adalah kaum yang melarang hal tersebut dalam kitab – kitab kami”. al-Hafiz as-Suyuti, dalam kitabnya Tanbih al – Gabiyy, mengemukakan bahwa sebab pelarangan tersebut adalah karena dari sufi itu sering menggunakan (8) ungkapan-ungkapan yang memiliki pengertian khusus. Maka, barang siapa yang memaharni ungkapan-ungkapan para sufi tersebut atas dasar pengertian yang lazim dipakai di kalangan ahli ilmu lahir, niscaya ia akan terjerumus ke dalam kekafiran. Al-Ghazali, dalam sebagian kitabnya menyebutkan bahwa ungkapan sufi tersebut .serupa dengan.ayát atau ungkapan mutasyābihāt dalam al-Quran dan sunnah. Barang siapa yang berpegang pada arti lahirnya, kafirlah ia, karena ungkapan-ungkapan tersebut memiliki arti khusus, seperti kata al-wajh (wajah Allah), al-yad (tangan Allah), al-’ain (mata Allah), dan al-istiwa’ (Allah duduk). Jika ada orang yang memahami kata-kata tersebut menurut arti lahirnya, niscaya kafirlah ia, sekian.
Apabila engkau menjumpai seseorang yang berpendapat bahwa alam dan segala sesuatu adalah dzat Allah SWT, maka ketahuilah bahwa hal itu tidak benar, kecuali dalam konteks zaman dahulu. Seseorang boleh mengatakan bahwa, di zaman azali, segala sesuatu itu merupakan zat berdasarkan wujud Allah, bukan berdasarkan hakikatnya, karena di zaman azali tidak ada wujud selain Allah, dan tidak ada yang mungkin selain kemungkinan wujud tersebut. Kita juga tidak boleh mengatakan bahwa al-ku/I adalah Allah, dan hanya ada pada-Nya, yakni pada keesaan-Nya dan segi peleburan dan tidak adanya perbedaan dengan selain Allah SWT. Jadi, jangan mengatakan bahwa segala sesuatu itu mulanya adalah (9) dzat Allah SWT, lalu berubah menjadi sesuatu yang lain dan sesuatu yang mungkin, itu adalah pemahaman yang keliru.
Burhanuddin Mulla Ibrahim bin Hasan al Kurani, Guru kami, — semoga Allah memberinya pahala — berkata, “Pada zaman dahulu, tidak ada sesuatu pun selain Allah, segala sesuatu berada dalam pengetahuan-Nya, tidak berbeda dengan aI-Haq, Ia hadir karena kehadiran-Nya, dan wujud karena wujud-Nya. Inilah yang dimaksud dengan ‘ainiyyah’ (satu wujud) pada zaman dahulu, karena saat itu, segala ciptaan wajib adanya, kemudian berubah menjadi mungkin ada. Sesungguhnya hakikat itu tidak akan berubah dan tercampur dengan yang lain, Allah lebih mengetahui kebenaran, sekian.
Pahamilah ketentuan ini, dan janganlah mencampuradukkan sesuatu, karena hal itu termasuk kebiasaan orang-orang yang tidak mengenal Allah. Katakan dan yakinkan bahwa hamba tetap hamba, meskipun ia naik pada tingkat yang tinggi (taraqqi ), dan Allah tetap Allah meskipun Tidak turun (tanazzul). Hakikat itu tidak akan berubah, artinya hakikat hamba tidak akan berubah menjadi hakikat Allah, demikian pula sebaliknya, walau pada zaman azali sekalipun. Dan jangan engkau terpedaya oleh orang yang berdalih atas penyatuan wujud hamba secara total dengan hadis, “Barang siapa mengenal dirinya, niscaya ia mengenal Tuhannya”, lalu, dalam ketidaktahuannya kepada Allah ia menafsirkan hadis tersebut dengan mengatakan (10) bahwa diri manusia itu adalah benar-benar dzat Tuhannya, tidak lain dari itu kami berlindung kepada Allah dan keyakinan demikian. Adapun arti hadis itu sebenannya adalah, — sebagaimana dikatakan oleh Abu Hasan Syazilli r.a.— “Barang siapa mengenal dirinya fakir, niscaya ia mengenal Tuhannya Maha Kaya, barang siapa mengenal dirinya lemah, niscaya ía mengenal Tuhannya Maha Kuat, barang siapa mengenal dirinya tak kuasa, niscaya ia mengenal Tuhannya Maha Kuasa, dan barang siapa mengenal dirinya hina, niscaya ia mengenal Tuhannya Maha Mulia”, sekian.
Sebagian ulama memberikan penafsiran lain, walaupun intinya sama. Bagi saya sendiri, hadis tersebut merupakan ungkapan yang berkaitan dengan hal yang tidak ada, yakni karena jiwa manusia tidak akan mencapai hakikatnya sendiri secara keseluruhan ( ihatah ). Hal ini didukung oleh firman Allah Swt., “Katakanlah (hai Muhammad)! roh itu termasuk urusan Tuhanku”. Dengan ayat tersebut Allah mengingatkan, bahwa manusia tidak akan mampu mengenal dirinya secara utuh. Maka, jika manusia itu tidak mampu mengenal dirinya yang merupakan pada seluruh makhluk, padahal ia berada di dekatnya, tentu saja ia apalagi tidak mampu mengenal pencipta-Nya — yang tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia— (11) dengan sebenar-benarnya, bahkan ia tidak akan mampu mengenal hakikat ucapan-Nya, berikut seluruh sifat dan gerak-gerik-Nya. Seorang penyair mengatakan, “Engkau tidak mengenal dirimu dan tidak tahu siapa dirimu sebenarnya, tidak tahu bagaimana proses kehadiranmu dan sifat-sifat yang ada padamu, sebab akal tak akan sanggup- menjangkaunya”. Atas dasar ini, tidak ada jalan lain untuk mengenal Allah SWT kecuali dengan pengakuan dia lemah dan bingung. Karena, —seperti nanti dijelaskan— dari hal tersebut merupakan puncak makrifat. Pahamilah, dan hanya kepada Allahlah kita mohon petunjuk.
Andaikan ada seseorang yang mengatakan bahwa al-kull adalah al-Haq. Hal itu keliru, yang benar adalah segala sesuatu itu ada pada-Nya, yakni pada keesaan-Nya seperti telah disebutkan di sini dan dalam konteks zaman dahulu. Syekh Muhyiddin, — semoga Allah menyucikan arwahnya — berkata, “Kami huruf-huruf yang mulia, (namun) tak terucapkan, tersembunyi di puncak tertinggi dari bukit – bukit. Aku adalah engkau dalam Dia, dan kami adalah engkau, dan engkau ada Dia, dan al-kull adalah Dia, tanyalah mereka yang telah sampai”.
Guru kami telah berkata sebagaimana terungkap dalam kitab Sūrah as – Sa’ādah, yang lafadznya menunjukkan pada rahmat Allah atas huruf – huruf tersebut, yakni setelah mencapai tingkat akhir yang merupakan puncak ilmu hakiki dan perbedaannya dengan huruf – huruf (12) dan nama-nama yang berada padanya, yakni setelah mencapai-Nya, karena pengetahuan tidak membenarkan adanya sesuatu yang lain selain Allah dari segi ke-Diaan, bukan berdasarkan ta’ayyun (kedirian), tegasnya setelah mencapai hal tersebut.
Itulah keadaan, di mana Allah tidak ada sesuatu pun yang menyertai-Nya, baik pada permulaan maupun pada akhirnya, dan tidak ada sesuatu selain Allah yang menjelaskan, tegasnya tidak ada sesuatu yang lain, dalam hal dzat-Nya dan segi berdiri sendiri-Nya. Konteks ucapan itu, hingga ia mengatakan, “al-kull” itu berada dalam keadaan tersebut, yakni keadaan di mana tidak ada sesuatu pun yang menyertai Allah”. Jadi, segala sesuatu itu muncul dari keadaan tersebut bagaikan munculnya huruf – huruf dari suara atau dari pena dan tinta, atau dari gerakan orang yang bergerak. Huruf-huruf yang muncul dari pena sebelum membentangkannya ke alam Lauh adalah huruf itu sendiri, tidak lain dari itu, sedangkan setelah membentangkannya di alam Lauh, huruf huruf itu bukan lagi pena dan bukan pula Lauh. Demikian pula huruf-huruf tersebut, ada di dalam tinta sebelum di dalam pena. Maka, ketika huruf-huruf tersebut telah berada di dalam pena, ia bukan tinta lagi dan bukan pula pena, sebagaimana engkau melihatnya setelah dituliskan. Dalam contoh tersebut, terdapat konsep keberlainan (al – gairiyyah) dan kesatuan (al’ainiyyah). Demikian pula gerakan dan orang yang bergerak, semua berada di dalamnya, jika orang tersebut bergerak, gerakan tersebut berubah menjadi sesuatu selain dirinya (13) dan selain objek gerakannya, sekian.
Keterangan Syekh r. a. tentang perumpamaan huruf-huruf tersebut, dari satu sisi, menurut kami bisa membantu mendekatkan pemahaman, namun di sisi lain tidak demikian. Sebagian ulama mengatakan, “(Yang demikian itu adalah) hubungan yang pertama dengan yang kedua, yakni hubungan sebab akibatnya, atau hubungan sebab dengan akibatnya, atau semua hubungan yang benar-benar tidak ada padanannya, dan benar-benar tidak dapat dijelaskan. Semua hubungan itu adalah untuk membantu mendekatkan pemahaman di satu sisi, namun makin menjauhkan pemahaman di sisi lain. Tegasnya, jika hal itu jauh dari inti masalah, ia malah menjauhkan pemahaman, namun jika dipandang dari sisi kesesuaiannya, memang bisa mendekatkan pemahaman”, sekian.
Ketahuilah wahai murid, bahwa Allah SWT. itu tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya, namun Ia meliputi segala sesuatu, Dia nyata dari segi pengetahuan, namun tidak nyata dari segi bentuk. Barang siapa mengetahui bahwa Dia itu terlalu Agung untuk benar – benar diketahui, sungguh ia telah mengenal-Nya. Oleh karena itu, ada satu keterangan mengatakan bahwa yang mampu mengenal Allah itu hanya Allah sendiri. Maka, peganglah prinsip ini. Dalam agama itu ada dua Unsur, yaitu: (14) iman dan syirik, dan akal itu memiliki keterbatasan serta ketidakmampuan untuk mengetahui hakikat Allah, dan puncak tertinggi dalam mengenal Allah SWT adalah rasa bingung, tapi bingung yang terpuji, yaitu bingungnya orang berilmu yang mengetahui proses tajalli (penyingkapan diri) nya Tuhan serta pemancaran cahaya-Nya.
Rasulullah SAW pun pernah memita agar ditambah rasa bingung dari Tuhannya dengan berdoa, “Ya Tuhanku, tambahlah kepadaku kebingungan atas-Mu, yakni bingung dari tajalli-Mu yang tidak ada henti-hentinya, dan dari banyaknya perubahan dzat-Mu dalam segala tindakan dan sifat-Mu”. Pengarang kitab ‘Awārif al-Ma ārif’ berkata, “Imam Junaid pernah ditanya tentang akhir kehidupan, lalu dia menjawab: akhir kehidupan adalah kembali ke permulaan”. Ulama lain menjelaskan ucapan Imam Junaid tersebut dengan mengatakan, bahwa maksudnya manusia itu pada mulanya berada dalam kebodohan, lalu menjadli makrifat (mengetahui), lalu kembali kepada kebingungan dan kebodohan. Dia itu bagaikan anak-anak, yang awalnya tidak tahu apa – apa, lalu menjadi pandai, dan kembali lagi pada ketidaktahuannya. Allah ta’ala berfirman, “Supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulu pemah diketahuinya”. Sebagian ulama mengatakan bahwa makhluk Allah yang paling makrifat adalah mereka yang paling bingung memikirkan-Nya, sekian.
Sebagiandariparaulama,berkaitandengan kata “bingung” (15) yangterdapatdalamdoa Nabi tesebut berarti pengetahuan (ilmu). Mereka mengatakan, “Rasa bingung adalah pengetahuan, walaupun sebenarnya tidakdemikian, karena Nabi Muhammad SAW. sendiri memohon tambahan rasa bingung tersebut, padahal Nabi pernah menyuruh untuk selalu memohon tambahan pengetahuan, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ta’ala, “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. Nabi tidak berdoa untuk meminta ditambah atau diperbaiki keadaannya, tidak pula minta ditambah tingkatannya untuk mempelajani kadar ilmu tersebut. Pengetahuan itu berakhir pada kebingungan, dan biasanya ia tidak akan diperoleh kecuali dengan bersungguh-sungguh dalam berzikir dan tindakan-tindakan lain yang nanti akan dibicarakan, dengan izin Allah ta’ala serta petunjuk-Nya, dan hanya kepada Allahlah kita mohon petunjuk.
Apablaengkautelahmemahami hal ini, maka hendaklah engkau kembali kepada penjelasan tentang keabsahan kesatuan (‘ainiyyah’) segala sesuatu dan ketiadaannya. Ketahuilah wahai murid, bahwa kesatuan segala sesuatu itu tidak benar kecuali sebelum munculnya segala sesuatu tersebut dalam kenyataan (masih pada zaman dahulu). Oleh karenanya, kita tidak dapat mengatakan bahwa al-kull itu adalah al-Haq, kecuali dari segi peleburan dan tidak adanya perbedaan dalam keesaan, seperti yang telah dikemukakan. Adapun jika segala sesuatu itu telah tampak dalam kenyataan, maka kesatuan segala sesuatu itu tidak absah lagi, karena alam lahir memiliki hukum tersendiri, demikian juga dengan alam batin. Adapun hukum batin adalah hukum yang samar, tegasnya ketiadaan (‘adam), sedangkan hukum lahir adalah hukum yang tampak (wujud). Ketahui itu dan jangan keliru, (16) karena orang yang keliru dalam hal ini, berbahaya, dia juga akan sesat dan menyesatkan, kami memohon ampunan dan kesehatan kepada Allah dalam urusan agama, dunia dan akhirat.
Ketahuilah wahai murid, bahwa segala sesuatu itu tidak diciptakan oleh Allah SWT. dari tiada menjadi ada, melainkan dengan rahmat-Nya. Dia berfirman, “Dan Tuhanmu Mahakaya dan mempunyai rahmat”. Maka, dengan rahmat-Nya itu, Allah mewujudkan dan menciptakan segala sesuatu itu sesuai dengan pengetahuan-Nya pada zaman dahulu secara tertib. Adapun makhluk yang pertama kali diciptakan oleh Allah ta’ala adalah Nabi Muhammad SAW., sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW. ketika ditanya oleh Jabir tentang makhluk yang pertama kali diciptakan oleh Allah. Saat itu Nabi menjawab, “Wahai Jabir! Sesungguhnya sebelum menciptakan segala sesuatu, Allah menciptakan cahaya Nabimu dari cahaya-Nya, lalu Dia menjadikan cahaya tersebut berputar-putar dengan kekuasaan sekehendak Allah ta’ala, dan pada saat itu belum ada lauh, pena, surga, neraka, malaikat, langit, bumi, matahari, bulan, jin ataupunmanusia. Maka,tatkala Allah ta’ala hendak menciptakan makhluk – Nya yanglain, Dia membagi cahaya tersebut menjadi empat bagian. Dan bagian pertama (17), Dia menciptakan pena, dan bagian kedua lauh (lembaran), dan dan bagian ketiga ‘arsy (singgasana).
Bagian keempat dibagi-Nya lagi menjadi empat bagian. Bagian pertama Dia menciptakan hamba Allah (para penyangga ‘arsy), dari bagian kedua kursi, dan dari bagian ketiga seluruh malaikat. Kemudian bagian keempat ini dibagi pula menjadi empat bagian. Dan bagian pertama Dia menciptakan langit, dan bagian kedua bumi, dari bagian ketiga surga dan neraka. Kemudian bagian keempatnya dibagi lagi menjadi empat bagian. Bagian pertama, Dia menciptakan cahaya penglihatan orang-orang mukmin, dan bagian kedua cahaya hati mereka, yaitu makrifat kepada Allah, dan dari bagian ketiga cahaya kemanusiaan, yaitu cahaya tauhid, la ilaha ilallah Allah Muhammad ras Allah”, al-hadis.
Kitab Bulgah al – Gawās, Syekh Muhyiddin — semoga Allah menyucikan ruhnya — memberikan banyak penjelasan yang menegaskan bahwa semua makhluk Allah itu diciptakan dari cahaya Nabi Muhammad SAW. Beliau merupakan makhluk yang paling utama dan paling mulia di sisi Allah, dan juga sebagai pimpinan seluruh makhluk. Setelah selesai menerangkan hadis tersebut, Syekh berkata, “Dengan hadis tersebut, jelaslah bagi engkau, bahwa Nabi (18) Muhammad SAW identik dengan seluruh alam, dan bahwa dari segi kesatuannya, semua bagian alam ini merupakan gambaran Nabi, sedangkan dari segi perbedaan dan kesendiriannya, alam merupakan bagian dari Nabi, bagian dari sebagiannya, serta bagian dari selain dirinya, karena cahaya Nabi yang berupa akal itu adalah pokok adanya alam seperti yang engkau ketahui”, sekian.
Wahai murid! Tidak ada pilihan lain bagimu selain harus mengikuti ajaran Nabi, dan berpegang teguh pada perkataan dan perbuatannya, baik lahir maupun batin, niscaya engkau selamat dan termasuk ke dalam golongan orang-orang saleh. Allah ta’ala berfirman, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”. Salah satu ajaran Rasul adalah perintah membaca salawat atasnya. Allah ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya membaca salawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bacalah salawat untuk Nabi, ucapkan salam penghormatan kepadanya. Dan penutup doa mereka adalah: Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam”. Nabi Muhammad SAW. juga bersabda, ‘Perbanyaklah bacaan salawat untukku pada hari Jumat, karena sesungguhnya bacaan salawat ummatku diperlihatkan padaku pada setiap hari Jumat. Maka, barang siapa yang paling banyak bacaan salawatnya untukku, niscaya dia memuliki tempat yang paling dekat denganku”.
Ketahuilahwahaimurid,bahwabacaansalawatyangterbanyakatasNabi itu .sangat ditekankan pada setiap saat, sedangkan (19)pada hari Jumat, lebih ditekankan lagi. Nabi Muhammad SAW. bersabda, “Sesungguhnya seutama-utama manusia di sisiku pada hari kiamat adalah yang paling banyak bacaan salawatnya atasku”. Sabdanya lagi, “Barang siapa didekatnya disebut namaku, maka hendaklah ia membaca salawat atasku. Barang siapa membaca salawat atasku satu kali, niscaya Allah akan memberikan rahmat kepadanya sepuluh kali”. Dalam suatu riwayat, “Barang siapa membaca satu salawat atasku, maka Allah akan memberikan rahmat kepadanya sepuluh kali, dan menghapuskan sepuluh kesalahan, serta mengangkat derajatnya sepuluh tingkat”. Nabi Muhammad SAW. bersabda lagi, “Perbanyaklah membaca salawat atasku pada hari dan malam Jumat, maka barang siapa melakukan hal tersebut, aku akan menjadi saksi atau pemberi syafaat (pertolongan) baginya di hari kiamat”. Abu Hasan al-Bakri —semoga Allah memberinya rahmat — berkata, “Mi bin Abi Thalib pernah mengatakan: Paling sedikit, bacaan salawat itu ada tiga ratus kali, sekian”.
Di antara perintah Nabi yang lain, adalah membiasakan dzikir serta memperbanyaknya, karena hal tersebut merupakan jalan terdekat dan termudah bagi seorang hamba untuk sampai kepada Allah ta’ala, selain itu juga paling baik di sisi-Nya. Adapun dzikir yang paling utama adalah ucapan ‘la ilaha ilallah, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Doa paling baik adalah pada hari Arafah, sedangkan dzikir paling baik yang aku dan para nabi (20) sebelumku ucapkan adalah kalimat ‘la ilaha illa Allah wahdahu la syarika lah (tidak ada Tuhan selain Allah, yang Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya), karena dzikir tersebut merupakan kalimat tauhid”. Sabdanya lagi, “Kalian semuanya pasti akan masuk surga, kecuali orang yang membangkang dan kabur, bagaikan seekor unta yang kabur dari tuannya. Lalu Nabi ditanya, Ya Rasulullah Siapakah orang yang membangkang itu? Nabi menjawab, yaitu orang yang tidak mau mengucapkan kalimat ‘la ilaha ilallah’. Oleh karena itu, perbanyaklah ucapan ‘la ilaha ilallah’ tersebut sebelum ada penghalang antara kalian dengan kalimat tersebut, karena selain sebagai kalimat tauhid, dzikir tersebut juga kalimat ikhlas, kalimat takwa, dan kalimat yang baik (tayyibah). Ia juga merupakan ajakan terhadapkebenaran,pengikatyang kuat serta harga surga”, sekian.
Dan andaikan engkau telah mengetahui hal ini, maka perbanyak dan biasakanlah olehmu wahai murid, bacaan kalimat tersebut, dan lakukan terus hingga engkau memperoleh hasil dan buahnya yang tidak terhingga. Dalam kitab al- Khulāsah al-Mardiyyah, aku membaca sebuah keterangan yang berbunyi, “Imam a l -Ghazali — semoga Allah ta’ala memberinya rahmat — menyebutkan dalam kitabnya, amarat a l -A’mal bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Kunci surga adalah ucapan ‘lailahailaah’, barang siapa yang menjaga ucapan (21) tersebut dan selalu berzikir dengannya, serta lidahnya sibuk mengucapkannya, niscaya Allah ta’ala akan membukakan cahaya bagi hatinya, maka dengan cahaya itu ia bisa mengetahui rahasia kalimat ‘la ilahailallah tersebut, sehingga cahaya kalimat tersebut selalu menyinarinya, hatinya pun selalu terpaut untuk berzikir dengannya, dan ia selalu memperoleh buahnya. Maka, dengan mata batinnya Ia akan menyaksikan keajaiban-keajaiban kerajaan Tuhan, yaitu keajaiban-keajaiban yang tidak akan pemah marnpu diungkapkan, baik batasannya maupun sifat-sifatnya. Yang demikian itu adalah buah dan faedah dan kalimat ‘la ilaha illa Allah, sekian.
Di antara buah serta faedah kalimat tauhid tersebut adalah lahirnya akhlak yang baik serta diperolehnya kemuliaan. Dzat itu buah dan faedah yang pertama, akan lahir sifat zuhud. Yang dimaksud dengan zuhud di sini adalah titik adanya kecenderungan hati terhadap hal-hal yang bersifat fana (sementara), serta mengosongkan hati untuk tidak bergantung kepada selain Allah. Kemudian, dan buah dari faedah yang kedua akan diperoleh berkah pada makanan dan minuman, sehingga makanan yang sedikit akan terasa banyak dan makanan yang sederhana pun akan terasa mencukupi. Adapun puncak dari permintaan tersebut antara lain kokohnya pendirian pada inti tauhid serta tenggelam di dalamnya, sehingga engkau kembali dalam wujudmu menjadi keadaan semula saat engkau belum ada, dan hal itu ada puncak dari perjalananmu menuju Allah. Jika engkau tèlah sampai pada tingkat ini, maka sesungguhnya engkau telah sampai pada tauhid (22) dzat yang merupakan tingkat tauhid terakhir, dan biasanya hal ini tidak akan bisa dicapai kecuali setelah engkau menenggelamkan di dalam dzikir secara total. Oleh karenanya, terlebih dahulu engkau harus mengetahui etika dan tata cara dzikir, sehingga engkau bisa mendapatkan buah dan faedahnya yang telah disebutkan tadi, dengan izin Allah ta’ala.
Adapun etika dzikir itu adalah: lima hal sebelum dzikir, dua belas hal saat melakukan dzikir, dan tiga hal lagi setelah selesai mengerjakan dzikir tersebut. Adapun lima hal yang harus dilakukan sebelum dzikir adalah: taubat, mandi atau berwudhu, berkonsentrasi untuk memperoléh keyakinan, meminta pertolongan Syekh, serta meyakini bahwa bantuan dari Syekhnya itu sama dengan bantuan dan Nabi Muhammad SAW., karena Syekh adalah penggantinya. Sedangkan dua belas hal yang harus dilakukan saat mengerjakan dzikir adalah: duduk di tempat yang suci, meletakkan telapak tangan pada kedua paha, berwangi-wangian di tempat dzikir, memakai pakaian yang baik, memilih tempat yang suka memejamkan kedua mata, membayangkan Syekhnya, jujur dalam dzikir, ikhlas, memilih kalimat ‘la ilahailallah’ untuk bacaan dzikir, menghadirkan (23) makna zikir, dan meniadakan segala wujud selain Allah dari dalam hati. Adapun tiga hal yang harus dilakukan setelah zikir adalah: tenang jika sedang diam, mengatur napas secara berulang-ulang serta tidak minum air sesudahnya. Demikianlah, dan hanya kepada Allahlah kita meminta pertolongan.
Tatacara dzikir itu cukup banyak, dan dapat diketahui atas bimbinganSyekh, jangan sampai mempelajarinya tanpa bimbingan Syekh, karenaadasatuketeranganmengatakan bahwa barang siapa yang belajar tanpa Syekh,makasyetanlahyangmenjadisyekhnya. Oleh karenanya, carilah syekh yang sempurna dan mampu menyempurnakan, bersungguh sungguhlâh dalam mencarinya, karena barang siapa bersungguh-sungguh, niscaya ia akan memperoleh apa yang dicarinya, bersikap sopanlah kepadanya, dan satukanlah kehendakmu dengan kehendaknya, sehingga engkau tidak menghendaki sesuatu kecuali apa yang dikehendakinya.. Dengan demikian, berkat izin Allah, niscaya engkau akan mencapaj tauhid yang dicari oleh semua orang yang berusaha mencapai hakikat Allah, dan hanya kepada-Nyalah kita memohon pertolongan.
Wahai murid ketahuilah, bahwa tata cara dzikir seperti tersebut di atas berasal dari Sayyidina Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib — semoga Allah memuliakan wajahnya — ketika beliau mengemukakan kepada Nabi Muhammad SAW. Tentang kerinduan, kecintaan serta kesungguhannya untuk sampai kepada hakilat Allah, yang Esa dan Perkasa. Saat itu, Nabi mengajarkan (24) tata cara dzikir seperti yang terdapat dalam beberapa hadisnya. Ali bertanya, “Ya Rasulullah, tunjukanlah kepadaku cara terdekat untuk sampai kepada hakikat Allah ta’ala, termudah bagi hamba-Nya, serta terbaik di sisi-Nya?’ Maka Rasulullah SAW. menjawab, “Engkau harus membiasakan zikir di tempat yang sepi”. Ali bertanya lagi: “Bagaimana cara aku berzikir ya Rasulullah?” Nabi Muhammad SAW. menjawab: “Pejamkan kedua matamu, dan dengarkan ucapanku”, lalu Nabi Muhammad SAW. mengucapkan kalimat là ilaha illa Allah tiga kali, dan Ali pun mendengarkannya. Setelah itu Alii mengulangi ucapan ‘la ilaha illa Allah’ tersebut, sedangkan Nabi Muhammad SAW. mendengarkannya, sekian.
Cara melaksanakan dzikir itu ada dua, yaitu dzikir nyaring dan dzikir pelan. Adapun zikir nyaring, caranya bermacam – macam, antara lain dengan cara pengingkaran (nafyi) dan penegasan (isbat), yaitu dengan mengucapkan kalimat la ilaha illa Allah. Cara lain adalah, isbat saja, yaitu dengan mengucapkan kalimat illa Allah, illa Allah, kemudian dengan menyebut isim (nama) dzat saja, yaitu kata Allah, Allah. Masing masing model dzikir tersebut memiliki tata caranya sendiri. Di antara zikir nyaring yang lain adalah ucapan Ha Hu (Dia Dia), atau Ha Allah, Ha Allah, atau Allah Ha, Allah Ha. Guru kami — semoga Allah memberi kita rahmat karena kemuliaannya — memberi penjelasan dalam kitab (25) Dau’ al-Halah tentang dzikir Ha dan lapadz Allah tersebut: ketahuilah
bahwa ism al-a’zam (nama agung), Ha Allah adalah dzikir gaib dalam kesaksian, zikir Allah Ha adalah dzikir kesaksian dalam kegaiban, dzikir Allah Allah adalah dzikir dalam kesaksian dalam kesaksian secara terperinci, sedangkan dzikir Ha Ha adalah dzikir gaib dalam kegaiban secara global, sekian. Semua dzikir di atas juga banyak caranya yang dapal diketahui berdasarkan bimbingan Syekh.
Pada zikir pelan ada tiga cara. Pertama dengan mengatur napas; yaitu dengan membayangkan kalimat pertama (la ilaha) pada waktu keluar napas, dan kalimat kedua (illa Allah) pada waktu masuknya napas. Mengenai tata cara mengatur napas dan membayangkan kalimat tauhid selengkapnya dapat diketahui atas bimbingan syekh. Dalam kitab al-Jawahir, Muhammad al-Gaus —semoga Allah memberi kita rahmat karena kemuliaan dan ilmunya— mengatakan, “Dzikir là ilaha illa Allah adalah untuk melepaskan diri dari alam kemanusiaan (an-nasut), dzikir Ha untuk dapat mencapai tingkat kebingungan (at-tahayyur), sehingga tampaklah alam samawi (al-malakut) dengan mengingkari segala sesuatu selain Allah, dan menegaskan dzat-Nya saja. Dzikir Allah Allah untuk dapat mencapai tingkat alam kemahaperkasan atau kemahakuasaan (al jabarut), dan berakhlaklah dengan akhlak Allah. Zikir Allah HU untuk dapat mencapai (26) sifat ketuhanan (al-lahut), dan tidak ada sesuatu pun yang menyertai Allah. Dzikir Ha Hayyun untuk dapat menyaks hal yang gaib, (firrnan Allah), “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tánda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dan pada din mereka sendini”. Sedangkan zikir yang lainnya untuk meniadakan spsuatu yang mungkin ada, dan menetapkan sesuatu yang wajib adanya. (Zikir) huwa az-zahir (Dia yang lahir), huwa al-batin (Dia yang batin) untuk menghilangkan keduaan, dan melihat hal gaib menjadi nyata. Zikir) huwa al-awwal (Dia yang Pertama), huwa ál-akhir (Dia yang Teralchir) untuk mengikat alam azali dan abadi, sekian. Can zildr yang kedua dalam zikir pelan adalah zilcir hati, dan yang ketiga adalah dzikir istila’, yang tata caranya dapat diketahui dani mursyid (pembimbing), hanya kepada Al kita mohon petunjuk.
Andai engkau telah mengetahui dzikir-dzikir tersebut, hendáknya engkau mengetahui dan benar-benar melaksanakan amalan-amalan syattari, karena —sebagaimana dikatakan oleh Syekh Wajihuddih dalam sebagian risalahiiya — di dalamnya terdapat ajaran untuk fana dalam Allah ta’ala, bahkan fana dalam keesaan-Nya, yang merupakan martabat suci dan penyingkapan di (allata’ayyun). Jika hal in telah dilaksanakan, engkau akan sampai pada Allah dengan sempurna, melalui amalan-amalan syattari, sekian. Adapun amalan-amalan syattari itu sangat banyak, seperti telah disebutkan oleh Muhammad al-Gaus dalam kitab al-Jawahir, antara lain: amalan insan kamil, amalan isim zat, amalan al-’ain, amalan (27) al-ma’iyyah dengan rumus h, n, m, tiga amalan syatariyy dengan rumus s b’, amalan fana di alam nyata. dengan rumus n h m t r, amalan al-mabda’ (tempat permulaan) dan al-ma’ãd (tempat kembali) dengan rumus t, m, h, n, n, s, s, n, n, h, m, t. Tata cara amalan-amalan tersebut berikut gambaran selengkapnya dapat diketahui atas bimbingan mursyid, dan hanya kepada Allahlah kita mohon petunjuk.
Wahai murid ketahuilah bahwa fana menurut istilah para sufi berarti hilang dan menjadi rusak, sedangkan baqa adalah sebaliknya. Lebih jelasnya, sebagaimana disebutkan dalam kitab al Jawahir, fana adalah kemampuan seorang hamba dalam melihat bahwa Allah ta’a berada pada segala sesuatu. Fana adalah martabat penggabungan yang tertinggi, di dalamnya tidak ada nama, tulisan, ungkapan maupun. isyarat. Maka, dzat yang tidak hilang akan kekal, sedangkan dzat yang tidak ada akan binasa. Fana adalah martabat orang yang mampu mendengar dan memandang melalui al-Haq, sekian.
Para sufi berpendapat, fana yang diperoleh pada waktu dzikir terdiri dari beberapa tingkatan. Guru kami — dalam kitabnya as – Simt al-Majid-— telah menjelaskan mengenai tingkat fana tertinggi dalam dzikir. Menurutnya, jika yang disebut dalam dzikir (maksudnya: Allah, pen.) itu telah menetap dalam hati, serta dzikir itu sendiri telah hilang dan samar, maka hendaknya orang yang berdzikir itu jangan berpaling kepada dzikir atau hatinya, karena jika terjadi di tengah – tengah (28) zikir, hal itu bisa menjadi penghalang (hijab). Itulah yang disebut fana, yakni hilangnya seorang hamba dari dirinya sendiri. Ta tidak dapat meràsakan lagi lahiriyah badannya, tidak pula hal-hal lain di sekelilingnya, bahkan tidak dapat merasakan batinnya sendiri. Semuanya hilang dari dirinya, dan ia sendiri pergi menuju Tuhannya, serta melebur di dalam diri-Nya. Akan tetapi, jika di tengah-tengah dzikir itu terbersit dalam hatinya bahwa ia benar-benar telah fana dari dirinya, maka hal itu justru menjadi penghalang tercapainya fana, karena kesempurnaan fana ji justru bisa dicapai jika ia sudah fana da dirinya, dan bahkan fana dari fana itu sendiri. Fana dari fana inilah yang sebenarnya merupakan fana tertinggi. Dan fana adalah jalan pertama yaitu pergi menuju Allah, setelah itu baru bisa memperoleh petunjuk, yakni petunjuk Allah, sebagaimana pernah dikatakan oleh Nabi Ibrahim, “Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan mémberi petunjuk kepadaku”, sekian.
Untuk itu, maka berdzikirlah wahai murid hingga engkau mencapai fana dari dirimu dani fana dari fanamu, niscaya engkau akan mendapatkan hakikat baqa dan martabat ru’yah (melihat Allah) dengan izin-Nya. Sebagian ahli sufi berkata, “Hendaklah engkau fana hingga mencapai fana dari fanamu, karena sesungguhnya hal itu merupakan inti kekekalan, dan pada saat itulah engkau akan melihat Allah, sehingga Dia menjadi tampak (29) padamu”. Ketahuilah, bahwa engkau bukan benar-benar Tuhan, namun engkau juga bukan benar-benar lain dari-Nya. Syekh Muhyiddin semoga Allah menyucikan ruhnya —. berkata, “Jika aku ingin mengenal wujud Allah, aku membagi-bagikan harta milikku kepada orang yang berutang (maksudnya, bersikap zuhud, pen.), dan aku hilang dan penglihatanku (fana), setelah itu muncullah wujud-Nya. Jadi kehadiran wujud-Nya itu tergantung pada samarnya diriku”. Buah dari fana yang telah dibicarakan tadi adalah berubahnya bayangan menjadi jiwa. Pada saat demikian, kekuatan dan pancaindera bersatu, dan masing-masing anggota badan (hamba) bergerak seperti gerakan pemiliknya (Tuhan). Keadaan demikian terlihat dalam perkataan Umar ibnu al-Farid r.a., “Lidah menjadi kelu, demikian pula dengan penglihatan, pendengaran, tangan, dan mulut”. Pahami, dan hanya kepada Allahlah kita mohon petunjuk.
Wahai murid ketahuilah — semoka Allah ta’ala memantapkan. imanmu—, bahwa manusia itu akan mali sesuai dengan keadaannya semasa hidup. Maka barang siapa yang pada waktu hidupnya terbiasa fana dalam Allah, dan menikmáti dzikir kepada-Nya, niscaya ia akan seperti itu pula pada saat mati yang sebenamya (mati idtirariyy): ‘Di dalam kitab at-Tazkirah karangan Jamaluddin Muhammad bin Alimad al Qurtubi, terdapat keterangan yang mendukung hal tersebut. Dengan mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak dan Sufyan, dari Lais dari Mujahid, Jamaluddin menulis, “Kepada setiap orang mati akan diperlihatkan (30) orang-orang yang sering ia pergauli. Jika mereka itu tukang main belaka, maka ia pun termasuk golongan tukang main, dan jika mereka itu ahli dzikir, niscaya ia pun termasuk golongan ahli dzikir”, sekian
Keterangan lain yang mendukung pemyataan di atas adalah cerita seorang laki-laki, yang pada saat menjelang ajalnya disuruh membaca kalimat la ilaha illa Allah, namun ia malah mengatakan, “Wahai Tuhannya sang perempuan, yang pada suatu hari berkata: aku lelah, mana jalan menuju kamar kecil?” Ia tidak mampu mengucapkan kalimat la ilaha illa Allah, karena sangat dipenganhi oleh suatu kejadian yang pemah dia alami sebelumnya. Menurut sebagian orang, pada suatu hari laki-laki ini berdiri di depan rumahnya, sedangkan pintu rumahnya itu mirip pintu kamar kecil. Tiba-tiba, lewatlah seorang perempuan cantik di depannya seraya berkata, “Kemanakah jalan menuju kamar kecil?” Laki laki itu menunjuk ke rumahnya. Maka masuklah penempuan itu, dan laki laki itu pun mengikuti di belakangnya. Ketika perempuan itu tahu bahwa ia berada di rumah laki-laki tersebut, ia pun sadar bahwa ia telah tertipu, namun ia justru memperlihatkan rasa senang dan gembira karena berada dengan laki-laki tersebut di ternpat yang sepi. Lalu ia berkata, “Kita bisa melakukan sesuatu yang baik buat kita, dan bisa menyejukkan mata kita”. Sesaat kemudian laki-laki itu menyahut, “Aku akan menyiapkan apa yang engkau kehendaki dan yang sangat engkau inginkan”. Laki-laki itu pun ke luar dan meninggalkan perempuan itu untuk mempersiapkan apa yang akan mereka lakukan. Namun, ketika ia kembali (31) ke rumahnya, perempuan itu telah pergi tanpa meninggalkan bekas apa-apa. Ia pun menjadi bingung, tidak dapat melupakan perempuan itu, dan sangat merindukannya. Lalu, laki-laki itu berjalan menelusuri lorong-lorong sempit sambil berkata, “Wahai Tuhannya sang perempuan, yang pada suatu hari berkata: aku lelah, mana jalan menuju kamar kecil?”. Saat itu, ada seorang perempuan yang menimpali, “Wahai lelaki hidung belang! Jika engkau menginginkan perempuan itu, kenapa tidak engkau jaga rumahmu, dan tidak engkau kunci pintunya?”. Laki-laki itu pun bertambah birahi, dan hal tersebut terus berlangsung menimpanya. Kami berlindung kepada Allah dari cobaan dan fitnah tersebut, sekian.
Contoh peristiwa di atas, menurut pendapat kami banyak menimpa manusia yang sibuk dengan urusan dunianya, hingga ketika menjelang ajalnya, ia disuruh mengucapkan kalimat la ilah illa Allah, Ia tidak mampu mengucapkannya, karena ia sudah sangat terpengaruh oleh perbuatan-perbuatan yang selarna ini dilakukannya. Kami berlindung kepada Allah dari berbagai fitnah, lahir dan batin.
Wahai murid, oleh sebab itu hendaklah engkau meneggelamkan diri dalam dzikir kepada Allah dan menikmatinya selama hidup ini, niscaya — dengan izin, keutamaan dan petunjuk Allah,— engkau akan berada dalam keadaan dzikir tersebut saat menjelang ajal nanti. (32) Hendaklah engkau mati dalam hidup ini, karena sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Nabi SAW., “Matilah sebelum engkau mati,. niscaya—dengan izin Allah — engkau akan memperoleh derajat Abu Bákar as Siddiq”. Tentang derajat Abu Bakar ra. Ini, Nabi SAW. bersabda, “Barang siapa yang ingin melihat orang mati berjalan di muka bumi, maka lihatlah Abu Bakar as-Siddiq”, sekian.
Syekh Ibnu ‘Allan — semoga Allah SWT. memberikan rahmat kepadanya — berkata dalam kitab Syarh al-Hikam li Abi Madyan setelah mengemukakan makna kalimát, “Mati itu suatu kemuliaan, sedangkan mati tanpa persiapan (sekonyong-konyong) adalab suatu kerugian dan penyesalan”. Menurut Ibnu ‘Allan, mati itu ada dua macam: pertama, mati idtirari, yaitu mati seperti yang lazim diketahui, dan kedua mati ikhtiyari, yaitu mati fana, dengan cara keluar dari sifat-sifat kemanusiaan serta meninggalkan segala keinginan, ségala-kehendak, dan segala hawa nafsu, karena mayat yang sesungguhnya itu tidak mempunyai keinginan, kehendak, dan hawa nafsu. Maka barang siapa yang keluar dari keinginan, kehendak, serta daya dan upayanya, ia telah keluar dari dirinya, dan ia menjadi makhluk yang paling dekat dengan Tuhannya. Ia juga berarti telah masuk ke dalam kehendak, keinginan, serta daya upaya Allah ta’ala. Dan keadaan seperti itulah yang merupakan hakikat sampai kepada-Nya, sekian.
(33) Ucapan syekh bahwa hamba tersebut menjadi makhluk yang paling dekat dengan Tuhannya, tidak perlu diragukan lagi, karena hal itu sesuai dengan mimpi yang pernah dilihat oleh sebagian ahli makrifat, bahwa guru kami yang makrifat kepada Allah, yang kamil dan mukammil, yaitu Safiyyuddin Ahmad bin Muhammad al-Madani al Ansari yang lebih terkenal dengan nama al-Qustasyi, bertanya kepada Nabi Muhammad SAW., “Ya Rasulullah! Siapakah manusia yang paling dekat dengan Allah ta’ala?’ Nabi Muhammad SAW. menjawab: “Yaitu orang yang dzatnya melebur dalam dzat Allah, dan sifatnya melebur dalam sifat Allah”, sekian.
Keterangan ini mènunjukkan bentuk tauhid yang merupakan martabat terakhir dalam mencapai hakikat Allah ta’ala. Andai engkau telah mengetahui hal ini, hendaknya engkau juga mengetahui seluruh martabat tersebut secara tertib, yaitu: a1-bidayat, al- abwab, al-mu’amalat, al-akhlaq, a1-usul, al-adiah, al-ahwal, al wilayah, al-haqa’iq, an-nihayat. Dalam setiap martabat yang sepuluh ini terdapat lagi sepuluh martabat, yang urutannya akan dibicarakan pada bagian berikut.
Di dalam al – bidayat terdapat sepuluh martabat. Pertama, al – yaqzah (sadar), yaitu — sebagaimana dikatakan oleh Syekh Muhammad al-Gaus dalam kitab al-Jawahir —– pemahaman tentang Allah taala, yakni pemahaman berkenaan dengan adanya larangan – larangan-Nya (34). Kedua, at-taubah (taubat), yaitu kembali kepada Allah ta’ala. Menurut al-Harawi, taubat itu tidak sah kecuali setelah menyadari berbagai kesalahan atau dosa yang pernah dilakukan. Sedangkan menurut Abdurrazak al-Kasyani, taubat itu ialah kembali dari menentang hukum Allah menjadi menerimanya. Ketiga, al-inabah (kembali), yaitu kembali ke khadirat Allah ta’ala. Menurut al-Harawi, al-inabah terdiri dari tiga hal, yaitu kembali kepada kebenaran untuk kebaikan, kembali kepada kebenaran untuk menepati janji, dan kembali kepada kebenaran dengan segera. Keempat, al muhasabah (perhitungan), yaitu membandingkan antara berbagai kesempurnaan dan kekurangan. Kelima at-tafakkur (merenung), yaitu memeriksa keinginan-keinginan yang telah diperoleh. Keenam, at tazakkur, yaitu mendapatkan keinginannya melalui renungan. ai-Harawi berkata, “Tazakkur itu lebih tinggi tingkatannya dari tafakkur, karena tafakkur itu berarti talab (mencari), sedang tazakkur berarti wujud ( ada ). Ketujuh, al-firãr, yaitu menghindar dari segala hal yang dapat menjauhkan diri dari al-Haq, dan mendekatkan diri pada-Nya. Kedelapan as – Sima’, yaitu mengingatkan setiap perseorangan dari tujuan berdasarkan bagiannya. Kesembilan ar-riyadah, yaitu mengasah akhlak mulia secara sungguh-sungguh. Kesepuluh al-i’tisãm, yaitu
(35) menjauhkan did dan hal-hal yang tidak disukai.
Di dalam al-abwäb terdapat sepuluh martabat. Pertama, al-huzn (bersedih), yaitu menyesal atas kesempurnaan-kesempunnaan yang tidak dapat diperoleh (terlewatkan). Kedua al-khauf (takut), yaitu merasa takut bertemu dengan hal-hal yang tidak disukai di hari esok. Ketiga, al-asyfaq (berbelas kasih), yaitu rasa sedih yang disertai dengan rasa kasih. Keempat al-khusyu’, yaltu tenangnya jiwa karena sesuatu yang besar. Kelima al-akhbat (tenang), yaitu tentrarn berada dengan Allah ta’ala. Menurut al-Harawi, al-akhbat adalah sebagian dari tingkat tentram yang pertama, yaitu telah sampainya seorang salik yang sedang menempuh jalan Allah ke tempat kembali yang aman dan bebas dari keragu-raguan. Keenam az-zuhd (zuhud), yaitu meninggalkan kecintaan terhadap segala sesuatu secara total. Ketujuh al-wara’ (hati-hati), yaitu puncak kekhawatiran dan menghindar karena mengagungkan. Kedelapan at tabattul, yaitu meninggalkan (dunia) untuk Allah taaia secara total. Kesembilan ar-rajã’ (harapan), yaitu mengharap panjang umur dan tercapainya cita-cita. Kesepuiuh ar-rugbah, yaitu pernyataan untuk menempuh jalan mencapai Allah ta’ala..
Diketahui, di dalam al – mu’ãmalãt terdapat sepuluh martabat. Pertama , ar rahbah, yaitu takut dari keadilan-Nya. Hal ini tidak disebutkan oleh Harawi dalam kitab al-Manazil, sebagai gantinya ia menyebut ar-ri’ayah dan al – muraqabah, yaitu membiasakan mengawasi tujuannya dengan: benar – benar menghadap kepada – Nya (36) Kedua al-huryah, yaitu menghindar dari penghambaan kepada selain Allah. Hal ini juga tidak disebutkan oleh al-Harawi dalam kitab al-Manazil, dan sebagai gantinya ia menyebut al-hurmah. Ketiga al ikhlas, yaitu membersihkan segala perbuatan dari hal-hal tercela. Keempat at-tahzib, yaitu berbuat baik. Menurut pengarang kitab Lata’if al-A’lam, at-tahzib juga berarti at-tathir. (menyucikan). Kelima at-tasfiyah, yang bisa berarti menyucikan segala maksud, menyucikan penghambaan, menyucikan perbuatan, atau menyucikan hakikat, sekian.
Keenam al-istiqamah, yaitu konsisten dalam menghamha kepada Allah ta’ala dan menempuh jalan-Nya. Ketujuh at-tawakkul, yaitu mengembalikan segala urusan kepada pemiliknya dengan cara menyerahkan kepada walinya (Allah). Kedelapan at-tafwid, yaitu mengembalikan segala urusan kepada asal jalannya, tanpa perbantahan dengan akal dan wahm. Kesembilan as-siqqah, yaitu bersandarnya seorang hamba hanya kepada Allah dalam segala sesuatu. Kesepuluh at taslim, yaitu penyerahan jiwa seorang hamba kepada Tuhannya dalam segala tindakan, dengan tetap mengadakan perbantahan àkal dan wahm.
Di dalam al-akhlaq, terdapat sepuluh martabat. Pertarna, as-sabr (sabar), yaitu menahan diri. Sabar ini dilakukan, baik dalam rangka menghadapi perintah, maupun dalam menjauhi larangan Allah. Kedua
asy – syukr (syukur), yaitu memuji pemberi nikmat (dalam hal ini Allah ) (37) dengan melakukan tindakan yang dapat menunjukkan diketahuinya pemberi nikmat itu. Ketiga ar-rida’, yaitu diam yang benar, di mana seorang hamba diam, tidak menuntut, baik di awal rnaupun di kemudian. Keempat al- haya, yaitu nama pengagungan yang dikaitkan dengan cinta kasih. Kelima as-sidq, yaitu selalu bersesuaian dengan al-Haq, baik dalam perkataan, perbuaran, maupun tingkah laku. Keenam al-isar, yaitu mementingkan orang lain daripada diri sendiri. Ketujuh al-khuluq, yaitu tindakan yang dirujuk oleh tuntutan nafsunya. Kedelapan at-tawadu, yaitu merendahnya seorang hamba karena menerima al-Haq. Kesembilan al-futuwwah, yaitu tidak adanya perasaan lebih atau paling benar pada diri hamba. Kesepuluh al-inbisãt, yaitu — seperti dikatakan oleh al-Harawi — berjalan bersama kekasih dengan menunjukkan akhlak, dan jauh dari sikap marah.
Di dalam tingkatan a1-usul terdapat sepuluh tingkatan. Pertama al-qasd, yaitu keinginan untuk taat. Kedua al-’azm, yairu mengungkapkan maksud agar tidak dibuat bingung oleh sikap berpaling kepada salah satu bekas yang terputus darinya. Ketiga al-iradah, yaitu memenuhi panggilan hakikat. Keempat al-adab, yaitu menjaga batas antara sikap melampaui batas (ifrat) dan berkekurangan (tafrit). Kelima al-yaqin, yaitu tentram dengan hal yang gaib, karena hilangnya keragu-raguan. Keenam al-uns, yaitu — seperti dikatakan oleh al-Harawi — ungkapan tentang kedekatan ruh. Ketujuh az-zikr, yaitu amalan yang dapat mendekatkan diri (38) kepada Allah ta’ala. Menurut al-Harawi, zdikir adalah menghindar dari sikap lalai dan lupa. Kedelapan al-faqr, yaitu bentuk sempurna dari seluruh asar, dan keberpalingan, dan dari hukuni-hukum adat dalam hal yang dituju. Menurut al-Harawi, al-faqr adalah nama yang menunjukkan kebebasan melihat malaikat. Kesembilan al-gina’, yaitu milik yang sempurna. Seorang hamba yang memifiki sifat ini adalah orang yang merasa cukup dengan adanya Allah dan tidak membutuhkan selain-Nya. Kesepuluh al- murad, yaitu yang diambil dari lembah, yakni dari lembah perpecahan menuju lembah kesatuan.
Terdapat sepuluh tingkatan pula di dalam al-audiyah. Pertama al-ihsan, yaitu engkau menyembah Tuhanmu seakan-akan engkau melihat-Nya. Kedua ai-’ilm, yaitu — seperti dikatakan oleh al-Harawi —- sesuatu yang dilakukan karena ada bukti, dan bisa menghilangkan kebodohan. Ketiga al-hikmah, yaitu mengetahui rahasia segala sesuatu dan mengetahui hubungan sebab akibat. Keempat al-basirah, yaitu kekuatan batin pada hati dengan martabat dzat pokok yang disebut dzat hati. Menurut al-Harawi, al-basirah adalah sesuatu yang dapat menyelamatkan engkau dari kebingungan. Kelima al-flrasah, yaitu mengetahui hal gaib melalui pandangan batinnya. Menurut al-Harawi, berfirasat artinya mengetahui hukum gaib tanpa perlu bukti nyata, dan tidak melalui upaya yang lazim. Keenam at-ta’sim, (39) yaltu mengetahui keagungan al-Haqq seraya merendahkan diri pada-Nya tanpa menentang perintah-Nya dan tanpa mengingkari segala ketentuan-Nya. Ketujuh al-ilham, yaitu ilmu ketuhanan yang menitis dalam hati. Menurut al-Harawi, al-ilham adalah tingkatan ahli tauhid (al-muhaddisin) yang tingkatannya lebih tinggi dari al-firasah, karena al-firasah itu datangnya jarang, sedangkan al-ilham selalu hadir. Kedelapan as-sakinah, yaitu ketentraman jiwa ketika datangnya hal gaib. Kesembilan at-tumaninah, yaitu ketenangan dalam istirahat. Menurut al-Harawi, at-tumaninah adalah diam yang diperkuat oleh ketenangan dan menyerupai terang-terangan. Kesepuluh adalah al-himmah, yaitu — seperti dikatakan oleh al-Harawi — sikap bersegera untuk mencapai yang dimaksud, di mana pemiliknya tidak merasa memiliki dan tidak pula berpaling darinya.
Al-ahwal pun memiliki sepuluh martabat. Pertama al- mahabbah, yaitu terpautnya hati untuk menyerahkan diri kepada sang kekasih (Allah), dan menolak untuk mencintai selain Dia. Kedua al gairah, yaitu — seperti dikatakan oleh al-Harawi —- tidak adanya kecenderungan berprasangka dan sempit dari kesabaran diri. Ketiga asy -syauq, yaitu perasaan cinta (40) yang mendalam. Menurut al-Harawi, asy-syauq adalah cinta hati kepada yang Mahagaib. Keempat al-filq, yaitu mengosongkan rasa rindu dari penglihatan. Menurut al-Harawi, al-filq adalah menggerakkan rasa rindu dengan menghilangkan kesabaran. Kelima al-’atasy, yaitu rasa cinta yang sangat mendalam terhadap sesuatu yang dicita-citakan. Keenam al-wijd, yaitu perasaan panas yang diperoleh karena ada halangan atau rintangan. Ketujuh ad- dahsy, yaitu rasa bingung yang dimiliki seorang hamba. Menurut al Harawi, ad-dahsy adalah kebingungan seorang hamba. Oleh karenanya, ia akan mengalahkan akal, kesabaran atau pengetahuannya. kedelapan al-haiman, yaitu — seperti dikatakan oleh al-Harawi— kehilangan pegangan karena kaget atau bingung. Kesembilan al-barq, yaitu cahaya yang dipancarkan oleh Allah ta’ala ke dalam hati seorang hamba, lalu cahaya itu menuntun hamba tersebut untuk masuk ke hadirat-Nya. Kesepuluh az-zauq, yaitu dasar-dasar penampakan Allah (tajalli) yang paling awal.
Al-wilayat meliputi sepuluh martabat. Pertama al-lahz, yaitu melihat dengan cahaya kilat yang menyambar orang yang memandang ketika ia dalam pengawasan tuannya. Kedua yaitu al-waqt, keadaan yang dapat membuat sibuk seorang hamba. Oleh karena itu, ada satu ungkapan bahwa para sufi adalah anak waktunya. Ketiga as’-safa, yaitu terbebasnya hati dari kekeruhan yang muncul dari perjalanan yang ditempuh. Menurut al-Harawi, as’-safa, adalah istilah untuk adanya pembebasan dari kekeruhan, dan dalam bab ini, as-sofa berarti hilangnya penciptaan. (41) Keempat as-surür, yaitu kegembiraan secara menyeluruh. Menurut al- Harawi, as-surür lebih suci dari al-farah (kegembiraan), karena kegembiraan itu kadangkala menyerupai kesedihan. Kelima as-sirr, yaitu penyaksian setiap bagian dari al-Haq dengan perhatian penciptaan. Keenam an-nafs, yaitu menyenangkan hati dengan kelembutan batin. Ketujuh al-garbah, yaitu meninggalkan tanah air untuk menempuh cita-cita. Kedelapan al-garq, yaitu menenggelamkan diri dalam lautan kedekatan ketika menyatakan kecintaan (kepada Allah). Kesembilan al gaibah, yaitu tidak adanya penyaksian atas segala keadaan yang terjadi, karena adanya berbagai kesibukan. Kesepuluh at-tamkin, yaitu puncak penetapan dalam setiap tingkatan. Istilah ini juga dipakai untuk menyatakan adanya kekekalan (baqa’) setelah terjadinya fana.
Di dalam al-haqaik pun terdapat sepuluh martabat. Pertama adalah al-mukasyafah, yaitu menyingkapkan seluruh sifat dan hakikat, tetapi melalui rahasia yang lembut. Kedua al-musyahadah, yaitu penyingkapan hakikat tersebut tanpa terlihat dan tanpa sifat, tetapi dengan kekhususan dan perbedaan. Menurut al-Harawi, al-musyahadah adalah terbukanya hijab sama sekali, dan tingkatannya lebih tinggi dari al-mukasyafah.
Ketiga al-mu’ayanah, yaitu penyingkapan keinginan yang dimohonkan dari Allah kepadamu tanpa kekhususan dan perbedaan. Keempat al-hayah, yaitu penyingkapan hakikat tersebut dengan seluruh dzat, sifat–sifat, (42) dan kekhususannya melalui cara yang tidak menghalangi sifat dari dzat. Kelima al-qabd, yaitu gelisahnya hati atas perbuatan yang tidak disukai. Keenam al-bast, yaitu lapangnya hati karena ada yang datang (maksudnya, Allah). Ketujuh as-sakar, yaitu hilangnya perasaan tarena datangnya dzat Yang Mahakuat. Kedelapan as-sahw, yaitu kembalinya perasaan setelah hilang karena sakar. Kesembilan al-ittisal, yaitu — sebagaimana dikatakan oleh Abdur Razaq — tingkatan tempat datangnya pertolongan dari Allah Yang Mahamulia dan Mahaagung. Jadi, yang dimaksud al-ittisãl syuhud adalah terbukanya hijab secara keseluruhan. Martabat kesepuluh a1-infisal, yaitu hilangnya seluruh penglihatan, baik secara bersama-sama maupun terpisah.
Terdapat sepuluh martabat juga dalam an-nihayat. Pertama, al-ma’rifah,
yaitu pengetahuan seorang hamba secara menyeluruh terhadap dzat Allah. Menurut al-Harawj, al-ma’rifah adalah pengetahuan terhadap dzat suatu benda seperti apa adanya. Kedua al-fana’, yaitu hilang atau lenyap. Al-Harawi menjelaskan, bahwa yang dimaksud fana dalam konteks ini adalah hilang dan lenyapnya segala sesuatu selain al-Haq, baik pengetahuan, pengingkaran, maupun kebenaran. Ketiga a1-baqa, yaitu kemampuan seorang hamba untuk melihat adanya kekuasaan Allah ta’ala atas segala sesuatu. Keempat at-tahqiq yaitu memandang al-Haq dengan segala hal yang wajib bagi-Nya, disertai penyaksian wujud esa-Nya, dan tidak mlembayangkan rahmat dari selain-Nya (43) Kelima at-talbis, yaitu penyamaran dzat suci dalam alam penyamaran. Menurut al-Harawi, talbis adalah menyembunyikan kenyataan yang dipinjam dari wujud abadi (Allah). Keenam al-wujud, yaitu tercapainya tujuan dalam segala persaksian. Ketujuh at-tajrid, yaitu peniadaan segala sesuatu selain Allah dari dalam hati. Kedelapan at-tafrid, yaitu penyaksian adanya al-Haq dan tidak ada selain Dia, karena telah meleburnya yang menyaksikan, dalam dzat yang disaksikan. Kesembilan al-jam’, yaitu memandang keseluruhan dalam bagian-bagiannya, serta memandang bagian-bagian dalam keseluruhannya ada setiap martabat: Kesepuluh at-tauhid, yaitu mengaitkan al-Haq dengan sifat esa-Nya. Syekh Muhammad al-Gaus mengatakan dalam kitab al-Jawahir bahwa tauhid bagi orang awam adalah dengan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan tauhid bagi orang khusus adalah tidak adanya penyaksian atas segala sesuatu selain Allah ta’ala. Sedangkan tauhid orang yang lebih khusus lagi adalah, penyaksian dzat yang esa, tidak berbilang dengan jalan menetapkan dzat-Nya.
Sebagaimana dikatakan oleh guru kami dalam sebagian tulisannya, bahwa tauhid itu memiliki empat tingkatan. Pertama, tauhid uluhiyyah, kedua, tauhid af’al, ketiga tauhid sifat, dan keempat adalah tauhid dzat (44) Tauhid dzat merupakan tingkat tauhid tértinggi bagi orang yang menempuh jalan menuju kepada Allah ta’ala. Bentuk tauhid dzat ini adalah —sebagaimana diterangkan oleh pengarang kitab al-Jawahir — engkau tidak melihat dalam wujud ini, kecuali satu dzat dengan kedirian-Nya, yang disebut tajalli dzat (penyingkapan diri dalam dzat. Pada tingkat inilah berakhirnya perjalanan tiap-tiap orang yang menuju kepada Allah ta’ala. Tidak ada tempat lain yang lebih dekat dari ibadah itu, sekian.
Wahai murid, berjalanlah sampai batas terakhir dan têrtinggi ini, mohonlah kepada Tuhanmu Yang Mahamulia, agar Ia menyampaikan engkau kepada-Nya, janganlah engkau berpaling dalam perjalananmu kepada selain Dia, karena hal itu akan menjadi hijab yang menghalangi engkau dan tujuanmu, peliharalah lidahmu dari perbuatan gibah (membicarakan kejelekan), dan dari mengkafirkan orang lain, karena pada keduanya terdapat dosa yang sangat besar di sisi Tuhanmu Yang Mahabesar. Jangan pula engkau mengutuk saudaramu sesama muslim, karena hal itu akan menjerumuskan engkau ke dalam golongan orang orang yang berdosa pada han kiamat, tapi jangan pula engkau selalu memujinya, karena hal itu akan menjerumuskan engkau ke dalam
golongan orang yang dimurkai Allah, atau golongan orang yang memenggal pundak saudaranya sendiri. Nabi Muhammad SAW bersabda, “barang siapa menjaga sesuatu yang ada di antara dua janggutnya (mulut) dan yang ada di antara dua kakinya (kemaluan), karena taat kepadaku, niscaya aku jamin ia masuk surga”. Sabda Nabi Muhammad SAW pula, “Mencaci maki seorang mukmin adalah fasik (dosa besar), sedangkan membunuhnya adalah kufur”. Sabdanya Nabi Muhammad SAW pula, “Barang siapa berkata kepada saudaranya, ‘wahai orang kafir!’, maka ucapan itu bisa menimpa salah seorang dan keduanya”. Sabda Nabi Muhammad SAW. pula, “Tidaklah seseorang menuduh (45) orang lain berbuat fasik atau kafir, melainkan tuduhan itu kembali kepada dirinya, jika kawan yang dituduhnya itu tidak terbukti fasik atau kafir”. Sabdanya pula, “Barang siapa memanggil seseorang dengan panggilan ‘kafir’ atau ‘musuh Allah’, padahal orang itu tidak terbukti demikian, maka panggilan itu kembali kepadanya”. Sabdanya pula, “Seorang teman itu tidak pantas menjadi pengutuk bagi temannya yang lain”. Sabdanya pula, “Sesungguhnya orang yang suka mengutuk itu tidak bisa menjadi orang yang mati syahid atau orang yang mendapat syafa’at di hari kiamat”. Sabdanya lagi, “Bila engkau melihat orang yang selalui memuji-muji, taburkanlah tanah di mukanya”. Diriwayatkan dari Abu Balcar r.a., bahwa ada seorang laki-laki. memuji temannya di hadapan Nabi Muhammad SAW., maka Nabi Muhammad berkata, “Celakalah engkau! Engkau telah memotong leher saudaramu”. ini diucapkan oleb Nabi Mhammad SAW sebanyak tiga kali. Maka, jika ada di antara kalian yang memuji tanpa alasan, katakanlah: apakah ia yang menghakimi seseorang, padahal yang bisa menghakimi itu hanya Allah, meskipun ia melihat bahwa keadaan yang dipuji itu memang benar-benar seperti yang diucapkannya, dia tidak akan bisa menyucikan seseorang di hadapan Allah.
Wahai murid, ketahuilah bahwa kesempurnaan itu terdapat jika engkau mengikuti ajaran – ajaran Rasul, karena Nabi Muhammad SAW. itu adalah rahmat bagi seluruh alam, sebagaimana firman Allah ta’ala “Tidaklah kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam”. Beliau mengasihi umat manusia, baik yang kecil maupun yang besar, dan Nabi Muhammad SAW. bersabda (46), “Allah tidak akan mengasihi orang yang tidak mengasihi sesamanya”. Sabdanya lagi, “Bantulah saudaramu, baik yang berbuat aniaya maupun yang teraniaya. Lalu seorang sahabat bertanya: Ya Rasulullah, aku bisa menolong saudaraku yang teraniaya, tetapi bagaimana caranya menolong mereka yang berbuat aniaya? Rasululah menjawab: yaitu dengan melarangnya dan perbuatan aniaya tersebut”. Nabi Muhammad SAW. bersabda pula, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak boleh ia menganiaya dan menelantarkannya, karena barang siapa yang membantu kebutuhan saudaranya, niscaya Allah akan membantunya, barang siapa melapangkan kesulitan seorang muslim, niscaya Allah akan melapangkan kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat, dan barang siapa menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah menutupi aibnya pada hari kiamat”.
Wahai Murid, oleh karena itu, tutupilah aib saudaramu sesama muslim, niscaya engkau tergolong orang yang ditutupi aibnya di hari kiamat. Dan janganlah engkau berprasangka buruk atas apa-apa yang dikatakan oleh saudaramu itu, karena engkau mungkin akan mendapatkan kebaikan pada kata-katanya itu. Hal tersebut dikatakan oleh Abu Bakar as-Siddiq. Yang dimaksud dengan pemyataan di atas adalah engkau harus menutupi aib saudaramu, dan meringankan hukuman darinya semaksimal mungkin. Nabi SAW. bersabda, “Ringankanlah hukuman dari seorang muslim semaksimal mungkin. Maka, jika engkau menemukan jalan keluar bagi seorang muslim, mudahkanlah jalan tersebut, karena bagi seorang pemimpin, berbuat salah (47) karena memaafkan itu lebih baik daripada berbuat salah karena memberi hukuman”.
Sibukkanlah dirimu dalam ibadah, disertai sikap jujur dan ikhlas, dengan niat melaksanakan hak Tuhanmu, niscaya engkau termasuk ke dalam golongan orang-orang yang makrifat. Penulis kitab al-Hikam mengatakan, “Kehendak ahli makrifat adalah benar dalam beribadah, dan melaksanakan hak-hak Tuhan”. Allah ta’ala berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali agar rnenyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamanya”. Firman-Nya lagi, “Sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)”. Maka, — seperti. yang diperintahkan oleh guru kami, Syekh Burhanuddin kepada sebagian kawan-kawannya — hendaklah engkau membaca la ilaha illa Allah seribu kali setiap selesai salat Subuh, Isya, dan tahajud. Ketika ada halangan, boleh membacanya sepuluh kali. Selain itu, baca pula istigfar seratus kali setiap selesai waktu yang tiga tadi. Dalam sebuah hadis dikatakan, “Barang siapa memperbanyak bacaan istigfar, niscaya Allah memberi kelapangan dan setiap kesusahan, memberi jalan keluar dari setiap kesempitan, dan memberi rizki secara tak terduga”. Hadis lain mengatakan, “Setiap hati itu merasa haus, dan penawarnya adalah istigfar”. Hendaklah engkau mengamalkan makna hadis, “Barang siapa memohonkan ampun untuk orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan sebanyak dua puluh tujuh kali setiap hari (48), niscaya ia termasuk ke dalam golongan orang orang yang dikabulkan doanya, bahkan penduduk bumi pun akan mendapat limpahan rizki karenanya”.
Istigfar ini dilakukan setelah salat subuh. Hendaklah engkau melaksanakan kandungan hadis, “Barang siapa memohon ampun kepada Allah tiga kali setiap selesai salat dengan membaca astagflrullah al adzim la ilaha illa huwa al-hayyu al qayyumu wa atubu ilaihi, niscaya diampunilah dosa-dosanya, meskipun ia pernah melarikan diri dari peperangan”. Hendaklah engkau membaca surat al-ikhlas sepuluh kali setiap selesai salat lima waktu. Dalam sebuah hadis dikatakan, “Barang siapa membaca Qul huwa Allahu ahad sepuluh kali, setiap selesai salat wajib, niscaya Allah memberikan keridhaan serta ampunan-Nya”. Setelah selesai salat duha dua rakaat, dengan membaca asy-Syams dan ad-Dhuha, hendaknya engkau membaca: subhanallahh walhamdu lillah wa la ilaha illa Allah wallahu akbar, wa la haula wa la quwwata illa billah al-’aliyyi al-’azhimi ‘adada khalqillah bi dawamillah sebanyak sepuluh kali.
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW. pernah menemuinya ketika ia sedang menanam pohon, lalu Rasulullah bertanya, “Wahai Abu Hurairah, apa yang engkau tanam? Abu Hurairah menjawab: tanaman. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Maukah aku tunjukkan suatu tanaman yang lebih baik dari tanamanmu ini? yaitu, subhanallah (49) walhamdu lillah wa la ilaha illa AlIah wallahu akbar. Dengan bacaan ini, engkau berarti menanam satu pohon di surga”. Hendaklah engkau membaca surat Yasin dan tabarak setiap pagi dan sore, lalu ditambah dengan membaca Alif Lam Mim, as-Sajdah, dan al- Waqi’ah setiap selesai salat Magrib, dan jika waktunya tidak cukup untuk membaca surat Yasin dan al-Waqi’ah, cukup membaca Alif Lam Mim dan Tabarak saja. Diriwayatkan dari Jabir r.a. bahwa Nabi Muhhamad SAW. tidak pernah pergi tidur sebelum membaca surat Alif Lam Mim Tanzii as-Sajdah, dan Tabaraka al-laa bi yadihi al-mulk., serta dalam sebuah hadis marfu’ dikatakan, “Pada hari kiamat, surat Alif Lam Min Tarzil akan datang dengan dua sayap yang melindungi pembacanya sambil berkata: “tidak ada jalan untuk mencelakainya. Dalam hadis marfu’ lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a. dikatakan, “Barang siapa membaca surat Tabaraka al-lazi bi yadihi al-mulk dan Alif Lam Mim Tanzil as Sajdah antara Magrib dan Isya, maka seakan-akan dia beribadah pada malam lailatul qadar”.
Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW , “Barang siapa melakukan salat sunat empat rakaat sesudah Isya dengan membaca qul ya ayyuha al-kafirun, dan qul huwallahu ahad, pada dua rakaat pertama, serta membaca surat Tabarak al-lazi bi yadihi al-mulk dan Alif Lam Min Tanzil (50) as-Sajdah pada dua rakaat terakhir, maka dituliskan baginya pahala salat empat rakaat pada malam lailatul qadar”.
Ibnu Umar dalam kitab Iqaz al-Wusnan li qirã’ah al-Qur’an, meriwayatkan bahwa Nabi bersäbda, “Dalam surat Alif Lam Mim Tanzil as-Sajdah dan Tabaraka al-laa bi yadihi al-mulk, terdapat keutamaan enam puluh derajat lebih tinggi dan surat-surat lainnya dalam al-Quran”. Mengenai surat Yasin, disebutkan dalam hadis marfu’ dari Anas yang diriwayatkan oleh at-Tirmizi dan lainnya, bahwa Nabi bersabda, “Barang siapa membaca surat Yasin, Allah mencatat baginya pahala membaca al Quran sepuluh kali”. Dalam hadis marfu’ lain dan Ma’qal Ibn Yasar, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dan lainnya, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Surat Yasin adalah inti al-Quran. Tidak ada seorang pun yang membacanya karena mengharap ridha Allah dan hari akhirat, kecuali ia diampuni dosa-dosanya yang terdahulu”. Dalam kitab Iqaz al Wusnan li qira’ah al-Qur’an yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra., Nabi Muhammad SAW. bersabda, “Barang siapa membaca surat Yasin malam hari niscaya diampuni dosanya pada pagi hari”. Abu Hurairah r.a., Nabi bersabda, “Barang siapa membaca surat Yasin setiap malam, niscaya diampuni dosa-dosanya”.
Mengenai surat al-waqi’ah, Ibnu Abbas r.a. dalam kitab yang sama (51) mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda, “Barang siapa membaca iza waqa’ati al-waqi’ah setiap malam, maka ia tidak akan ditimpa kefakiran selamanya”. Sabdanya lagi, “Barang siapa membaca surat al-waqi’ah setiap malam, maka ia tidak akan ditimpa kesusahan selamanya”. Jika engkau tidak hafal dan tidak mampu membaca surat ini, hendaknya engkau membaca surat al-fatihah seratus kali dalam sehari sema1am, karena di
dalamnya terdapat keutamaan yang besar. Masih dalam kitab yang sama, Abi Said Thnu Mu’ala meriwayatkan bahwa Rasulul Saw. bersabda, “Surat yang paling agung di dalam al Quran adalah al-hamdu lillahi rabbi al-’ãlamina (surat al-Fatihah)”.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Pembuka al-Quran (surat al-fatihah) itu sebanding dengan dua pertiganya al-Quran”. Dalam pembacaan surat tersebut dengan bilangan yang te disebutkan, terdapat beberapa faedah. Sebagian ulama — semoga Allah memberi kita rahmat karenanya — mengatakan, “Jika engkau ingin mendapat rizki, mencapai tujuan, memperoleh cita-cita dengan segera, dan aman dari permusuhan serta halangan, maka bacalah surt al-Fatihah, karena, ketika engkau membacanya, dalam surat tersebut terdapat rahasia (52), yakni rahasia yang mengharuskan mempelajarinya setiap Isya, Subuh, Dzuhur, dan Asar. Kemudian setiap malam setelah Magrib, hingga jam tujuhan, engkau baca sepuluh kali, niscaya engkau rnencapai apa yang engkau kehendaki, yakni: kemuliaan, keagungan, kebesaran cinta, ketinggian martabat, hidayah, kebahagiaan yang terus menerus, aman dari berbagai ketakutan dan kejahatan, jauh dari kesusahan, kefakiran, kehilangan, dan jauh dari gangguan penguasa. Engkau juga akan hidup dengan nikmat dalam segala urusan sepanjang masa”.
Sebagian ulama telah menunjukkan tatacara membaca surat. Al-Fatihah, yakni setelah Isya delapan belas kali, demikian pula setelah Subuh, Dzuhur dan Asar, masing-masing delapan belas kali, dan setelah magrib dua puluh delapan kali, sehingga jumlah semuanya, seratus kali. Dalam sebagian kitab-kitab karangan orang saleh, dijumpai apa yang telah digambarkan, yakni bahwa barang siapa yang punya hajat kepada Allah, dan hajatnya itu sangat besar, lalu ia membaca surat al-Fatihah tujuh kali dengan tertib, benar bacaannya (tartib), disertai dengan iman dan keyakinan (53), sambil menghadap kiblat, dalam keadaan suci (berwudu), dengan hati yang khusyu’, dan bacaan tersebut dilakukan setelah selesai melaksanakan shalat sunat dua rakaat, yang pada setiap rakaatnya membaca surat al-Fatihah dan Surat a1-Ikhlas sebanyak, tiga kali, lalu ia memohonkan hajatnya kepada Allah, niscaya Allah akan mengabulkan segala hajatnya sesegera mungkin, jika Allah ta’ala menghendaki. Jika hal tersebut dilakukan patda waktu siang hari, maka pada sore harinya pasti Allah kabulkan hajatnya itu, berkat rahmat Allah ta’ala serta berkat rahasia yang terkandung dalam sura a1-Fatihah. Allah akan memberi rizki kepada siapapun yang Ia kehendaki secara tak terduga, sekian.
Aku juga melihat tulisan sebagian ulama, yang berbunyi: “barang siapa membaca surat al-Fatihah hingga selesai, kemudian mengulanginya sampai kalimat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, dan diulanginya kalimat tersebut sampai seratus kali, kemudian diselesaikan sampai akhir surat, niscaya Allah menyayanginya di dunia dan akhirat, serta mencegahnya dari segala kesusahan, sekian.
Hendaklah engkau mendekatkan diri wahai murid kepada Tuhanmu, dengan cara membaca Surat ini, yang merupakan induknya al-Quran. Bacalah surat tersebut untuk berbagai kebutuhan, baik kebutuhan dunia maupun akhirat, niscaya engkau akan memperoleh kebutuhan yang engkau kehendaki tersebut
(54), berkat rahasia yang terkândung di dalarnnya. Di dalam surat tersebut terdapat berbagai pengetahuan dan rahasia, juga terdapat kecukupan bagi orang yang hatinya diterangi oleh Allah dalam mengenal wahdatul wujud (kesatuan wujud). Mengenal keberlainan (al-.gairiyyah) serta kesatuan (al-’ainiyyah) yang telah dibicarakan di awal pembahasan.
Sebagian ulama mengatakan, “Ketahuilah bahwa. dalam kitab yang diturunkan kepada manusia sempurna (al-insan al-kamil) ini terdapat pembuka surat yang disebut Ummul al-kitab (induk al-Quran). Seluruh kandungan al-Quran, secara global terdapat dalam surat tersebut, dan sebaiknya, kandungan surat tersebut dijelaskan secara terperinci dalam keseluruhan al-Quran Surat al-Fatihah tersimpul dalam kalimat al-basmalah, dalam kalimat al-basmallah tersimpul dalarn huruf bá, dan ba tersimpul dalam titik-titik inilah yang merupakan umm al-kitab, seluruh kandungan al-Quran adalah seperti huruf ba tersebüt, bahkan seluruh huruf, baik yang terpisah (al-muqatta’at) maupun tersusun (al-maudu’at), seluruh lafadz, kalimat, surat dan kitab, merupakan ungkapan dari perpanjangan huruf ba tersebut, karena tidak ada sesuatu selain huruf tersebut. Maka, ‘barang siapa mengetahui apa yang telah kami katakan, berarti ia akan memahami makna firman Allah ta’ala, “Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan ( dan memendekkan ) bayang – bayang”, ini adalah sebuah ungkapan dari perpanjangan titik wujudiyah dan proses penurunan wujud dengan dzat huruf dan kalimat ketuhanan (55) dan kejadian alam, sekian. Jadi, huruf itu bukanlah hakikat titik, namun tidak pula benar-benar lain dari titik, camkanlah!
Wahai murid, hendaklah engkau melakukan salat enam rakaat sesudah salat Magrib dan sunat sesudahnya, serta sebelum engkau bicara: apa-apa. Dalam sebuah hadis dikatakan, “Barang siapa melakukah salat enam rakaat sesudah magrib dan sebelum bicara apa-apa, niscaya ia diampuni dosa-dosanya selama lima puluh tahun”. Dalam hadis lain disebutkan, “Barang siapa melakukan salat antara Magrib dan Isya, maka salatnya itu termasuk shalat orang-orang yang bertaubat (al-awwabin). Lalu setelah selesai shalat sunat dua rakaat, bacalah: selamat datang wahai malaikat malam, selamat datang wahai dua malaikat pencatat amal yang mulia, tulislah dalam buku catatanku bahwa aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan-Nya, dan aku bersaksi bahwa surga, neraka, syafaat, jembatan dan timbangan itu benar-benar ada, dan aku bersaksi bahwa kiamat itu pasti tiba, tidak ada keragu-raguan di dalamnya, dan aku bersaksi bahwa Allah akan membangkitkan manusia di dalam kubur. Ya Allah! aku menitipkan persaksian ini hingga hari aku akan membutuhkannya, ya Allah! hapuskanlah (56) kesalahanku, ampuni dosaku, beratkan timbangan amal baikku, jaminlah keselamatanku, dan luluskanlah aku, wahai dzat Yang Maha Pengasih.
Lalu, engkau laksanakan salat dua rakaat dengan niat untuk menjaga iman dan sekaligus niat salat awwabin. Dalam salat tersebut hendaknya engkau membaca surat al-ikhlas sebanyak enam kali, senta surat al-falaq dan an-Nas (al-mu’awwazatain) masing-masing sekali. Kemudian setelah salam, hendaklah engkau membaca doa berikut ini, “Ya Allah! Perkokohlah aku dengan iman, dan peliharalah iman tersebut selama hidupku, ketika aku mati, dan setelah aku mati”. Kemudian, setelah itu, engkau salat dua rakaat lagi dengan niat hanya untuk salat awwãbin saja. Lalu engkau salat lagi dua rakaat dengan niat salat awwabin dan istikhãrah (meminta petunjuk), sebagaimana selalu dilakukan oleh hamba Allah yang ahli ibadah pada setiap siang dan malam hari. Hendaklah engkau membaca doa berikut ini, “Ya Allah! aku memohon pilihan kepada-Mu dengan pengetahuan-Mu, aku mohon kekuatan dengan kekuasaan-Mu, dan aku memohon karunia-Mu yang agung, sesungguhnya Engkau Mahakuasa, sedangkan aku tidak punya daya, Engkau Yang Maha Mengetahui, sedangkan aku tidak berilmu, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui segala hal yang gaib. Ya Allah! Jika Engkau mengetahui bahwa semua yang bergerak, menurut hakku dan menurut hak (57) selain aku, serta semua yang bergerak selain aku, menurut hakku, hak keluargaku, anakku, dan menurut hak orang yang berada dalam tanggung jawabku, sejak hari ini hingga nanti pada hari akhir, adalah baik bagiku, dalam agamaku, dalam kehidupanku dan dalam akibat urusanku, maka kehendakilah semua itu, dan mudahkanlah bagiku. Namun, ya Allah! jika Engkau mengetahui bahwa semua itu tidak baik bagiku, dalam agamaku, dalam kehidupanku, dan dalam akibat urusanku, maka palingkanlah semuanya itu dariku, dan palingkanlah pula aku darinya, kehendakilah yang lebih baik bagiku sebagaimana adanya, kemudian kehendakilah agar aku ridda atasnya”. Kemudian, pada setiap selesai salat fardu, hendaklah engkau membaca, “Aku mohon ampun kepada Allah yang Mahaagung, yang tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Mahahidup, Yang Maha berdiri sendiri, dan aku bertaubat kepada-Nya”, sebanyak tiga kali. Kemudian membaca, “Ya Allah, Engkau yang memberi keselamatan sampai selesai”. Kemudian membaca al-Fatihah, dilanjutkan dengan membaca, “Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Kemudian membaca, “Ya Allah, kuserahkan padamu seluruh nafas, pandangan dan lirikan (58) yang dilakukan oleh penduduk langit dan bumi, dari segala sesuatu yang tercipta dalam pengetahuan-Mu, atau sesuatu yang telah ada. Ya Allah! aku persembahkan semua itu kepada-Mu, Allah tiada Tuhan selain Dia, yang hidup dan yang berdiri sendiri sampai akhir ayat kursi”. Selanjutriya membaca, “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah selain Dia, yang menegakkan keadilan. Para. malaikat dan orang orang yang berilmu juga menyatakan yang demikian itu. Tak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Aku bersaksi pula atas apa yang telah Allah nyatakan. Aku menitipkan persaksian in kepada Allah, karena persaksianku itu merupakan. titipan di sisi Allah. Katakanlah: wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan, sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang, dan Engkau masukkan siang ke dalarn malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup, dan Engkau berikan rizki kepada siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas). Ya Allah! yang memberi kemurahan di dunia dan akhirat, kasih sayang dunia akhirat adalah kasih sayangku, Engkau mengasihiku, kasihilah aku dengan kasih sayang-Mu sehingga aku tidak lagi membutuhkan kasih sayang
(59) dari yang lain’.
Lanjutkan dengan membaca, “Maha. suci Allah, Yang Mahaagung, dengan memuji-Nya, dan segala puji bagi Allah” sebanyak tiga puluh tiga kali, yang diakhiri dengan kalimat, “Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam atas segala tindakan”. Kemudian membaca, “Allah Mahabesar”, sebanyak tiga puluh tiga kali, dan diakhiri dengan kalimat, “Tidak ada Tuhan selain Allah sendiri, tidak ada sekutu bagi-Nya, segala kekuasaan dan pujian adalah milik-Nya, Dia Menghidupkan dan Mematikan, di bawah kekuasaan-Nyalah terletak segala kebaikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Ya Allah! tidak ada yang. Sanggup mencegah segala apa yang Engkau berikan; tidak ada yang sanggup memberi apa yang Engkau tolak; tidak ada yang sanggup menolak terhadap apa yang Engkau tentukan; tidaklah memberi manfaat, kekayaan seseorang bagi pemiliknya di sisi-Mu, serta tidak ada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung”. Kemudian engkau membaca, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya membaca salawat atas Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bacalah salawat atasnya, dan mohonkanlah ia keselamatan”. Lalu engkau membaca salawat atas Nabi Muhammad Saw. dengan lafadz, “Ya Allah! berikanlah rahmat kepada junjunan kami Nabi Muhammad SAW, hamba serta utusan-Mu yang ummi, berikan pula rahmat kepada segenap keluarga dan sahabatnya, baik di kala nama-Mu disebut maupun ketika dilupakan (60). Semoga Allah memberi keridhaan dan keselamatan kepada para pemimpin kami, yakni para sahabat Rasulullah semuanya. Cukuplah bagi kami Allah, dan Dia adalah sebaik-baik wakil, tidak ada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung. Saya mohon ampun pada Allah, wahai dzat Yang Maha Lemah Lembut, Yang Maha Memberi kecukupan, Yang Mahamulia, Engkau wahai Allah”. Kemudian engkau membaca, “Tidak ada Tuhan selain Allah” sepuluh kali, dan diakhiri dengan kalimat, “Muhammad adalah utusan Allah”. Kemudian engkau berdoa, bangun malam serta mengerjakan salat tahajud sedikitnya dua rakaat.
Syekh Muhammad al-Gaus — semoga Allah memberi kita rahmat —. berkata dalam kitab al-Jawahir, salat tahajjud itu sedikitnya empat rakaat sedangkan maksimalnya adalah semampunya. Pada tiap-tiap rakaat sesudah al-Fatihah engkau membaca ayat-ayat al-Quran yang mudah. Dalam hadis disebutkan, “Barang siapa sembahyang dengan membaca sepuluh ayat, maka ia tidak digolongkan pada orang-orang yang lupa (terhadap Allah), barang siapa sembahyang dengan membaca seratus ayat, maka ia digolongkan pada orang-orang yang taat, dan barang siapa sembahyang dengan membaca seribu ayat, maka ia digolongkan pada orang-orang yang berkecukupan”. Dalam hadis lain disebutkan, ‘Dua rakaat yang dikerjakan oleh anak Adam pada tengah malam akhir, adalah lebih baik baginya daripada dunia beserta isinya, dan seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku mewajibkan dua rakaat tersebut atas mereka”.
(61) Oleh karenanya, lakukanlah salat tersebut wahai murid, walaupun hanya dua rakaat. Jika engkau melakukannya lebih dari dua rakaat, hendaknya engkau duduk setiap selesai dua rakaat sambil membaca tasbih, memohon pertolongan, memohon ampunan, dan salawat atas Nabi Muhammad SAW. Lalu engkau bemunajat (mengemukakan segala isi hati kepada Allah) sebanyak tujuh puluh kali setelah selesai salat, baik salat yang dua rakaat ataupun lebih. Adapun bacaan munajat tersebut adalah, “Wahai Tuhanku, yang mengetahui segala kejelekan yang telah kuperbuat, sedang aku tidak mengetahuinya, ampunilah dosa dosaku berkat kebenaran kalimat la ilãha illa Allah Muhammadun rasül Allah. Ya Allah, berikanlah rahmat, berkat dan keselamatan kepada.Nabi Muhammad beserta keluarganya, dan berikanlah rahmat kepada semua Nabi dan Rasul dengan kasih sayang-Mu, wahai Allah dzat Yang Maha Pengasih”.
Hendaklah engkau memperbanyak dzikir, baik dengan suara keras maupun pelan, dengan tingkatan dzikir dan tata caranya hingga Subuh, yang telah diajarkan oleh mursyid kepadamu. Hal demikian dilakukan oleh ahli ibadah yang taat kepada Tuhan mereka, dan selalu berdzikir kepada Allah, semoga Allah meridhai mereka. Semoga Allah membukakan hijab antara engkau dan Dia, seperti yang telah dilakukan Allah kepada mereka (62) berkat dzikir dan tunduk kepada-Nya. Hal yang demikian itu tidak sulit bagi Allah, Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah mengatakan, “Jika seorang hamba telah tenggelam dalam berdzikir kepada-Ku, maka Aku jadikan ketiadaannya sebagai dzikir kepada-Ku, dan jika hal itu telah terjadi, maka ia akan mencintai-Ku, dan Aku pun akan mencintainya. Jika ia telah mencintai-Ku dan Aku pun telah mencintainya, maka Aku akan mengangkat penghalang (hijab) antara Aku dengannya, dan Aku akan menenggelamkannya dalam keadaan tersebut, ia tidak akan lupa di saat orang lain lupa. Mereka itu benar-benar pahlawan, dan mereka itu adalah orang-orang yang apabila Aku akan menurunkan siksaan atau bencana kepada penduduk bumi, maka Aku ingat kepada mereka,. sehingga Aku palingkan siksaan atau bencana tersebut dan mereka.”, sekian, dan hanya kepada Allahlah kita mohon petunjuk.
Hendaklah engkau berpuasa tiga hari setiap bulan, dan barang siapa menambahkannya, Allah pun akan menambahkan pula keutamaannya. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW. mengatakan, “Berpuasa pada bulan sabr, dan tiga hari setiap bulan itu dapat menghilangkan kedengkian hati. Yang dimaksud bulan sabr adalah bulan Ramadhan”. Adapun yang dimaksud dengan dengki, — sebagaimana dikatakan oleh guru kami, Burhanuddin (Mulla Ibrahim al – Kurani ) dalam sebagian karangannya — adalah mendendam, marah dan menipu. (63) Dalam hadis lain, Nabi Muhammad SAW. mengatakan, “Berpuasa pada bulan Sabr dan ditambah tiga hari setiap bulannya adalah setara dengan puasa selama setahun”.
Dalam sebuah riwayat: “Puasa setahun berikut buka puasanya”. Jika engkau mampu, berpuasalah enam hari pada bulan syawal, dan sembilan hari pertama pada bulan Zulhijjah. Yang demikian itu telah dilakukan oleh guru kami, Imam Ahmad bin Muhammad al-Qusyasyiyy, — semoga Allah memberi kita rahmat karenanya — hingga beliau tidak pernah meninggalkan puasa tersebut sampai akhir hayatnya. Beliau — semoga Allah menyucikan ruhnya — wafat pada tanggal 19 Zulhijjah tahun 1071 H, beliau tidak pernah meninggalkan puasanya itu, meskipun terasa berat bagi beliau karena lanjut usianya dan lemah badannya, semoga Allah meridhainya.
Sebuah hadis yang diriwayatkan dari Jabir r.a. dikatakan, “Barang siapa berpuasa pada hari-hari ‘asyr (tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan), maka ditulis baginya untuk setiap hari dia puasa, pahala puasa satu tahun selain puasa Arafah, karena barang siapa berpuasa pada hari Arafah, dituliskan baginya pahala puasa dua tahun”. Dan diriwayatkan dan Abu Hurairah r.a., “Tidak ada (64) satu hari pun di dunia yang lebih dicintai oleh Allah ta’ala jika digunakan untuk ibadah, selain hari-hari ‘asyr, karena puasa pada satu hari tersebut setara dengan puasa satu tahun, dan ibadah pada malam harinya setara dengan ibadah pada malam lailatul qadar”. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. dikatakan, “Tidak ada satu han pun yang lebih utama di sisi Allah, dan tidak ada hari, di mana amalan yang dilakukan hari itu lebih dicintai oleh Allah ta’ala, selain hari-hari ‘asyr tersebut”. Maka, perbanyaklah bacaan tahlil, takbir, dan zikir pada hari-hari itu, dan sesungguhnya pahala puasa satu hari pada hari-hari ‘asyr itu setara dengan pahala puasa satu tahun, dan amalan-amalan di dalamnya dilipatgandakan sebanyak tujuh ratus kali lipat. Guru kami, al-Imam tersebut selalu menyuruh sahabat sahabatnya supaya menghidupkan malam han-han ‘asyr dengan membaca al-Quran sepuluh juz setiap malamnya secara benar. Sehingga dengan demikian, pada setiap tiga malam, al-Quran bisa khatam.
Sebagai penutup, berkenaan dengan sanad (silsilah) para pemimpin tarikat Syatariyyah, dan hubungan kami (Abdurrauf) dengannya. Dimulai dan al-faqir al-haqir ‘Abd ar-Ra’üf, yang menerima ijazah dan guru kami yang makrifat kepada Allah, yaitu al-kamil al-mukammil Safiyy ad – Din (65) Ahmad bin Muhammad al-Madaniyy al-An yang lebih terkenal dengan nama al-Qusyasyiyy, ia menerima ijazah dan guru kami Abi al-Mawahib Abd Allah Ahmad bin ‘All al-Qurasyiyy al-’Abbas a anawiyy, ia menenima ijazah dan sultan yang makrifat kepada Allah, guru karni sayyid sibgah Allah, ia menerima ijazah dan pimpinan para ulama, guru kami Wajih ad-Din al-’Alawiyy, ia menenma ijazah dan al Gaus al al-jawämi’ guru kami sayyid Muhammad al-Gaus, ia menerima ijazah dari guru kami pemimpin orang-orang yang saleh, Syekh Haji Huduri Taba Sarah, ia menerima ijazah dari guru kami Syekh Hidayatullah as-Sarmasti, ia menerirna ijazah dan guru kami al-Imam Qadi asy-Syatariyy. Ia menerima ijazah dari Syekh ‘Abd Allah asy Syatariyy, ia menerima ijazah dan sayyid Muhammad ‘Arif, ia menerima ijazah dan guru kami Muhammad ‘Asyiq, ia menerima ijazah dari Syekh Hadaqiliyy al-Mawiriyy an-Nahniyy, ia menerima ijazah dan al-Qutub bin Hasan al – Hirqaniyy, ia menerima ijazah dari Syekh Abi aI-Mudaffar Maulana Tarku at-Tus, (66) ia menerima ijazah dan syekh al-A’rabiyy Yazid al-’Isyqiyy, ia menerima ijazah dari Syekh Mubammad al Magribiyy, ia menenima ijazah dan Sultan yang makrifat, Abi Yazid al Bustamiyy, ia menenima ijazah dari Imam Ja’far as-Sadiq, ia menenma ijazah dari Imam Muhammad al-Baqir, ia menerima ijazah dan Imam Zain al-’Abidin, ia menenima ijazah dari Imam Husain yang mati syahid, ia menerima ijazah dan Imam al-Murtadä ‘All bin Abi Talib, semoga Allah meridhainya, dan sayyidina Ali langsung menerima ijazah dari Nabi Muhammad SAW. Demikianlah silsilah para pemimpin Tarikat Syatariyyah serta hubungan kami di dalamnya.
Mengenai silsilah guru-guru kami dalam tarikat Qadiniyyah — semoga Allah menyucikan ruh mereka —, dimulai dari al-faqir al- ‘Abd ar-Ra’üf, yang menerima ijazah dan guru dan pembimbingnya, Imam al-kämil al-mukammil Safiyy ad-Din Ahmad bin Muhammad al-Madaniyy al-Ansariyy yang lebih terkenal dengan nama al-Qusyasyiyy, ia menerima ijazah dan gurunya, Imam Abi al-Mawahib Ahmad bin ‘Ali as – Sanawiyy, ia menerima ijazah dari sayyid Sibgah Allah,
(67) Ia menerima ijazah dari Syekh al-Mu’tamad Wajih ad-Din a! ‘Alawiyy, ia menerima ijazah dan sayyid Muhammad al-Gaus, ia menerima ijazah dari Imam Mazhar an-Nur Haji Haduri, ia menerima ijazah dari Syekh Hidayatullah as-Sarmasti, ia menenima ijazah dan Syekh Muhammad ‘Ala’ ad-Din, yang dikenal dengan gelar qadi al-qadir, Ia menenrna ijazah dan syekh ‘Abd al-Wahhab al-Qadir, ia menenma ijazah dan syekh ‘Abd ar-Ra’uf aI-Qadiryy, ia menerima ijazah dan Syekh ‘Abd al-Gaffär as-Siddiq, ia menenima ijazah dari syekh Muhammad al-Qadir, ia menerima ijazah dari Syekh ‘Ali al Husaini, ia menerima ijazah dari Syekh Abd Allah al-Qadiriyy, ia menerima ijazah dari Syekh ‘Abd ar-Razzaq al-Qadir, ia menerima ijazah dari orang tuanya, qutb al-aqtab pimpinan para wali, Sayyid Syekh Muhyi ad – Din ‘Abd al-Qadir al-Kailaniyy, semoga Allah menyucikan ruhnya, ia menerima ijazah dari Imam Abi Sa’id al-Mubärak bin ‘All bin al-Husaini bin Bandar al-Bagdadiryy al-Mahramiyy, ia menerima ijazah dari Syekh Abi al-Hasan ‘All bin Ahmad bin Yüsuf al-Hakariyy al-Qurasyiyy, ia menerima ijazah dari Abi al-Farah Muhammad bin ‘Abd Allah
(68) at Tursusiyy, ia menerima ijazah dan Abi al-Fadl ‘Abd al-Wabid bin ‘Abd al- ’Azlz at-Tamimiyy, ia menenima ijazah dari Syekh al-Jalil Abi Bakr asy-Syibliyy, ia menerima ijazah dari Syekh Abu al-Qasim al-Junaidi bin Mubammad al-Bagdadiyy, ia menenima ijazah dari as-sirr as-saqt, ia menerima ijazah dari Ma’ruf al-Karkhiyy, ia menenima ijazah dari Imam ‘All bin Musã ar-Rida, ia menenima ijazah dan Imam Musã al-Kasimiyy, ia menerima ijazah dari Imam Ja’far a ia menenima ijazah dan Imam Muhammad al-Baqir, ia menerima ijazah dan Imam Zainal ‘Abidin, ia menerima ijazah dan Imam Husain yang mati syahid, ia menenima ijazah dan ayahnya, ‘All bin Abi Thalib, semoga Allah memuliakan wajahnya, dan ‘Ali menerima ijazah dari Muhammad, pemimpin para rasul dan penutup para nabi, semoga Allah memberi rahmat dan keselamatan kepadanya, serta kepada keluarga, sahabat dan para pengikutnya, selamanya, amin.
Penulisan risalah ini selesai, yang diberi judul Tanbih al-Mãsyi al Mansüh ila Tariq al-Qusyasyiyy ini, yang ditulis oleh munid terkecilnya, — yang mengharap ampunan Tuhannya, Yang Mahamulia dan Yang Memberi Pertolongan — yaitu ‘Abd ar-Ra’uf ‘Ali al-Jawiyy. Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, dosa kedua orang tuanya, dan dosa guru-guru agamanya, semoga Engkau mengabulkan doa kami, wahai Tuhan seru sekalian alam.