“Janganlah kau tuntut Tuhanmu karena tertundanya keinginanmu, tetapi tuntutlah dirimu sendiri karena engkau telah menunda adabmu kepada Allah.”
Betapa banyak orang menuntut Allah, karena selama ini ia merasa telah berbuat banyak, telah melakukan ibadah, telah berdoa dan berjuang habis-habisan.
Tuntutan demikian karena seseorang merasa telah berbuat, dan merasa perlu ganti rugi dari Allah Ta’ala. Padahal meminta ganti rugi atas amal perbuatan kita, adalah wujud ketidak ikhlasan kita dalam melakukan perbuatan itu.
Manusia yang ikhlas pasti tidak ingin ganti rugi, upah, pahala dan sebagainya. Manusia yang ikhlas hanya menginginkan Allah yang dicinta. Pada saat yang sama jika masih menuntut keinginan agar disegerakan, itu pertanda seseorang tidak memiliki adab dengan Allah Ta’ala.
Sudah sewajarnya jika kita menuntut diri kita sendiri, karena Allah tidak pernah mengkhianati janjiNya, tidak pernah mendzalimi hambaNya, dan semua janjinya tidak pernah meleset.
Kita sendiri yang tidak tahu diri sehingga, kita mulai intervensi soal waktu, tempat dan wujud yang kita inginkan. Padahal itu semua adalah Pekerjaan Allah dan urusanNya.
Orang yang terus menerus menuntut dirinya sendiri untuk Tuhannya, apalagi menuntut adab dirinya agar serasi dengan Allah Ta’ala, adalah kelaziman dan keniscayaan.
Disamping seseorang telah menjalankan ubudiyah atau kehambaan, maka si hamba menuruti perilaku adab di hadapanNya, bahwa salah satu adab prinsipalnya adalah dirinya semata untuk Allah Ta’ala.
Karena itu, Ibnu Athaillah melanjutkan: “Ketika Allah menjadikanmu sangat sibuk dengan upaya menjalankan perintah-perintahNya dan Dia memberikan rezeki, rasa pasrah total atas Karsa-paksaNya, maka sesungguhnya saat itulah betapa agung anugerahNya kepadamu.”
Anugerah paling agung adalah rezeki rasa pasrah total atas takdirNya yang pedih, sementara anda terus menerus menjalankan perintah-perintahNya dengan konsisten, tanpa tergoyahkan.
Wahab ra, mengatakan, “Aku pernah membaca di sebagian Kitab-kitab Allah terdahulu, dimana Allah Ta’ala berfirman”:
“Hai hambaKu, taatlah kepadaKu atas apa yang Aku perintahkan kepadamu, dan jangan ajari Aku bagaimana Aku berbuat baik kepadamu”.
“Aku senantiasa memuliakan orang yang memuliakan Aku, dan menghina orang yang menghina perintahKu. Aku tak pernah memandang hak hamba, sehingga hamba memandang (memperhatikan) hakKu”.
Syeikh Abu Muhammad bin Abdul Aziz al-Mahdawi ra, mengatakan, “Siapa pun yang dalam doanya tidak menyerahkan dan merelakan pilihannya kepada Allah Ta’ala, maka si hamba tadi terkena Istidroj dan tertipu. Berarti ia tergolong orang yang disebut dengan kata-kata, “Laksanakan hajatnya, karena Aku sangat tidak suka mendengarkan suaranya”. Namun jika ia menyerahkan pilihannya pada Allah Ta’ala, hakikatnya ia telah diijabahi walaupun belum diberi. Amal kebaikan itu dinilai di akhirnya…”
Imam Al Ghazali pernah menuliskan kisah seorang Nabi yang tidak ridho pada takdir Allah sbb :
Di Kisahkan bahwa ada seorang nabi yang hidupnya menderita selalu. Dalam penderitaannya itu Nabi ini merasa tidak betah. ia tak ridho menerima penderitaan hidup yang dilimpahkan Allah kepadanya. Dengan kata lain, ia tidak begitu suka, maka ia mengadu kepada Allah tentang segala penderitaan hidup yang dialaminya dengan alasan-alasan tertentu, maka Allah menjawab :
“Mengapa engkau mengadukan Aku? Sesungguhnya Aku tak layak dicela dan tak layak pula menjadi pengaduan. Urusanmu akan dinilai dengan ilmuKu yang ghaib. Mengapa engkau tidak ridho dengan takdir yang Kuberikan? Apakah engkau ingin mengubah dunia seluruhnya ini untukmu? atau engkau bermaksud mengubah catatan di Lauhil Mahfudz? Tidaklah pantas engkau menyuruh Aku mentakdirkanmu, dan tak pantas segala takdir itu karena kehendakmu dan bukan kehendakKu, jika pikiran seperti itu terlintas di hatimu, maka tinggalkan baju kenabianmu! Aku lepaskan kenabianmu dan Aku jerumuskan engkau ke dalam api neraka”.
Demikianlah Allah memberi didikan dan ajaran yang demikian keras kepada nabiNya, kepada pesuruhNya. Bagi orang yang mau berpikir, hendaknya memahami, bagaimana Allah bersikap kepada nabiNya yang tidak ridho akan takdirNya.
Lalu bagaimana dengan manusia biasa? Apalagi terhadap orang atau hamba yang biasa, yang bukan pesuruh dan pilihanNya, yang tak ridho menerima takdir, kalian bisa menyimpulkannya sendiri…
Oleh : H. Derajat